Pakar Komunikasi Digital dari Universitasi Indonesia (UI) Firman Kurniawan menyebutkan bahwa literasi finansial dan literasi digital perlu diseimbangkan dan digaungkan lebih banyak kepada masyarakat sebagai bentuk pencegahan praktik judi online di Indonesia.
Menurut Firman apabila literasi finansial atau keuangan diberikan maka nantinya masyarakat bisa lebih melek bagaimana mengelola keuangan dan tidak terjebak menghabiskan uangnya pada hal-hal mubazir seperti judi online.
"Literasi keuangan juga penting selain literasi digital, karena kalau dilihat latar belakang para pelaku judi online ini mereka memiliki keinginan mendapatkan sesuatu dengan cara cepat. Usahanya terkesan tidak rumit hanya deposit puluhan ribu rupiah dan dijanjikan keuntungan berlipat-lipat. Padahal kalau mungkin mereka ini mendapatkan literasi finansial dana itu bisa ditaruh di perangkat investasi-investasi yang lebih jelas," kata Firman saat dihubungi ANTARA, Jumat.
Menurut Firman langkah literasi digital perlu terus digaungkan karena dengan rutin memberikan pemahaman mengenai kegiatan produktif yang dapat dilakukan di ruang digital maka masyarakat bisa mengetahui bahwa judi online merupakan kegiatan yang tidak produktif dan hanya memberikan dampak buruk tidak hanya bagi diri sendiri tapi juga orang lain.
Lalu literasi keuangan perlu juga ditingkatkan dengan demikian masyarakat bisa mengenal jenis-jenis aset dan investasi yang bisa dilakukan di Indonesia dan cara mengelolanya sehingga nantinya masyarakat tidak lagi melakukan judi online yang hasilnya hanya spekulatif dan memang lebih banyak memberi dampak negatif dibanding positifnya.
Tidak hanya memperkuat literasi finansial, Firman berpendapat bahwa pemerintah perlu lebih terintegrasi menyuarakan bahaya dan konsekuensi hukum bagi para pelaku judi online.
Menurutnya strategi sosialisasi bahaya judi online saat ini terkesan masih sporadis oleh satu lembaga pemerintah dengan lembaga lainnya. Hal ini harus diperbaiki dengan cara membuat komunikasi publik menjadi lebih terarah dan menyasar seluruh lapisan masyarakat.
Ia mengusulkan salah satu topik yang bisa diangkat untuk memberantas judi online ialah dengan gencar menyebarkan informasi mengenai penegakan hukum dan konsekuensi yang telah diterima oleh para pelaku judi online.
"Karena masyarakat itu perlu bukti gitu loh ya, sampaikan bahwa ada berapa banyak keluarga yang hancur atau perceraian yang terjadi karena judi online. Atau bagaimana hubungan pinjaman online dan judi online yang merugikan. Nah ini perlu lebih sistematis komunikasinya. Tapi sampaikan dengan bahasa yang sederhana mengingat banyak dari kalangan menengah ke bawah yang melakukan judi online," katanya.
Berdasarkan data Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), hingga Juli 2024 pemain judi online di Indonesia berjumlah hingga 4 juta orang.
Hal yang perlu disayangkan ialah dari jumlah tersebut, data demografi pemain judi online usia di bawah 10 tahun mencapai sebanyak 2 persen atau sekitar 80 ribu anak.
Kementerian Kominfo yang menangani bidang pencegahan di dalam Satuan Tugas Pemberantasan Perjudian Daring sebenarnya sudah melakukan banyak upaya di antaranya memutuskan 2,7 juta akses situs website ke konten judi daring hingga 30 Juli 2024, menutup akses internet ke Kamboja dan Davao, Filipina, hingga menggaungkan literasi digital khususnya ke kalangan pelajar dan keluarga.
Terbaru Kementerian Kominfo mengeluarkan kebijakan menutup akses layanan tiga Virtual Private Network (VPN) gratis yang disinyalir banyak digunakan secara sengaja untuk mengakses judi online serta meminta operator seluler untuk membatasi transfer pulsa maksimal Rp1 juta untuk setiap pengguna harian.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Literasi finansial dan digital perlu diseimbangkan cegah judi online
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2024
Menurut Firman apabila literasi finansial atau keuangan diberikan maka nantinya masyarakat bisa lebih melek bagaimana mengelola keuangan dan tidak terjebak menghabiskan uangnya pada hal-hal mubazir seperti judi online.
"Literasi keuangan juga penting selain literasi digital, karena kalau dilihat latar belakang para pelaku judi online ini mereka memiliki keinginan mendapatkan sesuatu dengan cara cepat. Usahanya terkesan tidak rumit hanya deposit puluhan ribu rupiah dan dijanjikan keuntungan berlipat-lipat. Padahal kalau mungkin mereka ini mendapatkan literasi finansial dana itu bisa ditaruh di perangkat investasi-investasi yang lebih jelas," kata Firman saat dihubungi ANTARA, Jumat.
Menurut Firman langkah literasi digital perlu terus digaungkan karena dengan rutin memberikan pemahaman mengenai kegiatan produktif yang dapat dilakukan di ruang digital maka masyarakat bisa mengetahui bahwa judi online merupakan kegiatan yang tidak produktif dan hanya memberikan dampak buruk tidak hanya bagi diri sendiri tapi juga orang lain.
Lalu literasi keuangan perlu juga ditingkatkan dengan demikian masyarakat bisa mengenal jenis-jenis aset dan investasi yang bisa dilakukan di Indonesia dan cara mengelolanya sehingga nantinya masyarakat tidak lagi melakukan judi online yang hasilnya hanya spekulatif dan memang lebih banyak memberi dampak negatif dibanding positifnya.
Tidak hanya memperkuat literasi finansial, Firman berpendapat bahwa pemerintah perlu lebih terintegrasi menyuarakan bahaya dan konsekuensi hukum bagi para pelaku judi online.
Menurutnya strategi sosialisasi bahaya judi online saat ini terkesan masih sporadis oleh satu lembaga pemerintah dengan lembaga lainnya. Hal ini harus diperbaiki dengan cara membuat komunikasi publik menjadi lebih terarah dan menyasar seluruh lapisan masyarakat.
Ia mengusulkan salah satu topik yang bisa diangkat untuk memberantas judi online ialah dengan gencar menyebarkan informasi mengenai penegakan hukum dan konsekuensi yang telah diterima oleh para pelaku judi online.
"Karena masyarakat itu perlu bukti gitu loh ya, sampaikan bahwa ada berapa banyak keluarga yang hancur atau perceraian yang terjadi karena judi online. Atau bagaimana hubungan pinjaman online dan judi online yang merugikan. Nah ini perlu lebih sistematis komunikasinya. Tapi sampaikan dengan bahasa yang sederhana mengingat banyak dari kalangan menengah ke bawah yang melakukan judi online," katanya.
Berdasarkan data Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), hingga Juli 2024 pemain judi online di Indonesia berjumlah hingga 4 juta orang.
Hal yang perlu disayangkan ialah dari jumlah tersebut, data demografi pemain judi online usia di bawah 10 tahun mencapai sebanyak 2 persen atau sekitar 80 ribu anak.
Kementerian Kominfo yang menangani bidang pencegahan di dalam Satuan Tugas Pemberantasan Perjudian Daring sebenarnya sudah melakukan banyak upaya di antaranya memutuskan 2,7 juta akses situs website ke konten judi daring hingga 30 Juli 2024, menutup akses internet ke Kamboja dan Davao, Filipina, hingga menggaungkan literasi digital khususnya ke kalangan pelajar dan keluarga.
Terbaru Kementerian Kominfo mengeluarkan kebijakan menutup akses layanan tiga Virtual Private Network (VPN) gratis yang disinyalir banyak digunakan secara sengaja untuk mengakses judi online serta meminta operator seluler untuk membatasi transfer pulsa maksimal Rp1 juta untuk setiap pengguna harian.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Literasi finansial dan digital perlu diseimbangkan cegah judi online
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2024