China menjadi magnet dalam perkembangan energi terbarukan dunia seiring dengan kesadaran meninggalkan energi fosil yang meluas secara global.
Dalam peta geopolitik dunia saat ini, energi memegang peranan penting. Negara pemilik kekayaan dan pengguna energi terbarukan niscaya menjadi kekuatan baru.
Dalam kunjungan luar negerinya untuk pertama kali sebagai Presiden RI, Prabowo Subianto mengunjungi China dengan membawa berbagai misi kerja sama, di antaranya untuk pengembangan kerja sama energi, pangan, ekonomi biru, dan kesejahteraan rakyat.
Presiden ke-8 RI itu ingin mempererat kerja sama dengan China yang selama ini sudah terjalin baik. Meyakinkan para pebisnis utama China, Prabowo menekankan bahwa Indonesia selalu memegang prinsip "seribu teman terlalu sedikit, satu musuh terlalu banyak".
China tercatat sebagai salah satu negara dengan perkembangan energi terbarukan yang progresif di dunia. Hal tersebut menjadi peluang bagi Indonesia untuk memperkokoh "jembatan hijau" kerja sama energi yang sejalan dengan orientasi kebijakan nasional pada pembangunan berkelanjutan dan pencapaian emisi nol karbon 2060.
Badan Energi Terbarukan (International Renewable Agency/Irena) pada awal tahun ini memublikasikan riset bahwa China menjadi penyumbang terbesar dalam penambahan kapasitas energi terbarukan di Asia, dengan porsi hingga 91 persen. Kapasitas energi terbarukan China disebut meningkat 63 persen menjadi 297,6 GW.
Kontribusi itu jelas signifikan karena Asia juga memegang peranan penting hingga 69 persen atau 326 GW dalam pengembangan energi terbarukan di dunia.
China bahkan disebut "kekuatan energi terbarukan dunia" oleh Badan Energi Internasional (International EnergyAgency/IEA) dengan perkiraan kontribusi 60 persen dari kapasitas energi terbarukan baru yang beroperasi secara global pada 2028.
Beberapa penyebab pesatnya perkembangan energi terbarukan China adalah rantai pasok yang sudah terbangun secara komprehensif di negeri Tirai Bambu itu disertai dukungan industri, seperti untuk pembangkit tenaga surya (fotovoltaik) dan juga baterai litium yang banyak digunakan untuk produksi kendaraan listrik.
Selain itu, China juga mampu merancang dan menerapkan teknologi yang mumpuni untuk mempercepat energi terbarukan. Sejumlah peneliti di lembaga multinasional bidang energi menyebut kelebihan China adalah komitmen tegas disertai pelaksanaan yang konsisten dalam pengembangan energi terbarukan.
Pesatnya rantai pasok energi terbarukan dan teknologi di China telah menyebabkan efisiensi produksi dan peningkatan daya saing, yang didukung oleh infrastruktur industri dan lingkungan kebijakan yang maju.
Dukungan rantai pasok dan teknologi
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengatakan Indonesia mengantongi dua kerja sama strategis di bidang mineral saat kunjungan Presiden Prabowo ke China pada 8-10 November 2024.
Arah kerja sama itu adalah pengembangan kerja sama mineral hijau yang diharapkan menarik investasi energi bersih, dan selanjutnya adalah pengembangan dan pemanfaatan sumber daya mineral yang sangat dibutuhkan oleh industri modern, menurut keterangan Kementerian ESDM.
Kerja sama mineral hijau dengan China ditujukan untuk mendorong pengembangan industri mineral hijau mulai penambangan sampai hilirisasinya di Indonesia.
Menurut lembaga kajian Institute for Essential Services Reform (IESR), Indonesia dapat menggalang kerja sama dengan China pada bidang manufaktur dan rantai pasok teknologi energi bersih, serta dekarbonisasi industri, termasuk pengolahan mineral rendah karbon
Mineral hijau mengacu pada produk mineral yang diperlukan untuk pengembangan industri hijau dan rendah karbon, serta eksplorasi, pengembangan, dan pemanfaatan sumber daya mineral yang ramah lingkungan dan berkelanjutan di semua tahapan.
Belajar dari China, sumber atau komoditas penting energi terbarukan yang dimiliki Indonesia perlu didukung dengan keberadaan rantai pasok yang memadai. Dalam hal ini, dukungan terhadap permintaan pun perlu menjadi perhatian pemerintah.
Sumber atau komoditas energi terbarukan yang dikembangkan di Indonesia juga perlu disesuaikan dengan tingginya permintaan global. Menurut data Irena, hingga awal 2024, penambahan energi surya atau solar photovoltaic (PV) adalah yang paling dominan dengan kontribusi 345 GW dalam energi terbarukan dunia. Berikutnya adalah energi angin dengan sumbangan 116 GW dan energi air dengan sumbangan 7 GW.
Indonesia juga dapat menginisiasi kerja sama dengan China untuk dukungan pendanaan dalam pengembangan energi terbarukan. Terdapat peluang relokasi investasi pebisnis China ke Indonesia setelah kebijakan Presiden terpilih AS yang tampaknya mengarah pada menguatnya proteksionisme.
Tentu peluang ini perlu ditangkap Indonesia. Pemerintah tentu tidak ingin ironi pada 2019 terulang kembali ketika perusahaan-perusahaan di China lebih memilih tujuan relokasi investasi ke Vietnam ketimbang Indonesia. Masalah stabilitas politik, perizinan, upah, dan sumber daya manusia perlu menjadi perhatian Pemerintah agar Indonesia menjadi destinasi utama relokasi bisnis di China.
Lembaga kajian Center of Economic and Law Studies (Celios) mengharapkan Indonesia dapat menerima peluang perpindahan sektor energi terbarukan seperti panel surya, mikro-hidro, dan tenaga angin dari China untuk akselerasi energi terbarukan di Indonesia.
Indonesia juga berharap melalui kerja sama dengan China dapat mempercepat upaya dalam menargetkan sedikitnya 60 persen menggunakan pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT) dari total pembangkit untuk 10 tahun ke depan.
Untuk menyambut peluang itu, pemerintahan Prabowo perlu membuat iklim investasi yang mendukung derasnya investasi energi terbarukan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan perbaikan kerangka kebijakan dan regulasi, memperbaiki proses perizinan, dan insentif untuk operasional agar mendukung masuknya investasi.
Regulasi penting seperti Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (EBT) dan Rancangan Undang-Undang Perubahan Iklim juga perlu segera disahkan agar investor tak lagi wait and see.
Stimulasi dari terciptanya rantai pasok energi terbarukan, teknologi energi bersih, dan dekarbonisasi industri diharapkan menjadi pemantik pertumbuhan ekonomi yang tinggi sejalan dengan target pengurangan emisi.
Data Irena pada awal 2024 juga menyimpulkan salah satu “pekerjaan rumah” bagi-bagi negara di dunia dalam mengembangkan energi terbarukan, yakni inklusivitas.
Oleh karena itu, Indonesia perlu menjangkar arah baru pengembangan energi terbarukan pada kebijakan transisi energi yang berkeadilan, adil, inklusif, dan merata, dengan mengutamakan dampaknya pada masyarakat lokal, lingkungan, dan ekonomi nasional. Kerja sama energi terbarukan ini diharapkan semakin menopang "jembatan hijau" kemitraan Indonesia-China.
Editor: Achmad Zaenal M
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: “Jembatan hijau” kemitraan energi terbarukan Indonesia-China
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2024