Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati akhirnya buka suara soal kelanjutan rencana pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen. Setelah dihujani pertanyaan oleh Komisi XI DPR RI pada pekan lalu, Sri Mulyani mengatakan kebijakan tarif PPN menyesuaikan mandat undang-undang. Artinya, kebijakan ini bakal diterapkan pada 1 Januari 2025 sebagaimana diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2021.
Pro-kontra terhadap kebijakan ini langsung jadi perdebatan, dan kembali masif usai pernyataan Bendahara Negara di rapat DPR itu. Banyak yang minta Pemerintah membatalkan rencana tersebut. Argumentasi utama umumnya menyoal daya beli masyarakat yang sedang lesu, namun Menkeu menegaskan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) harus dijaga kesehatannya.
Pertimbangan PPN 12 persen
Pada rapat itu, Sri Mulyani menjelaskan dengan tegas bahwa kebijakan perpajakan disusun dengan mempertimbangkan kondisi di berbagai sektor.
Dalam konteks kenaikan tarif PPN, wacana disusun pada tahun 2021 ketika dunia habis digempur COVID-19. Kebutuhan sektor kesehatan hingga perlindungan sosial membutuhkan anggaran yang luar biasa besar secara tiba-tiba, menyebabkan defisit APBN yang signifikan. Serangan pandemi ini mendorong urgensi menyiapkan kas negara dengan dana yang cukup memadai untuk menghadapi krisis.
Salah satu cara yang dipilih Pemerintah kala itu adalah menaikkan PPN. Ide ini tak mengherankan bila mempertimbangkan kontribusi PPN terhadap penerimaan negara.
Berdasarkan catatan Lembaga Penyelidikan Ekonomi & Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia (UI), penerimaan PPN tetap andal di tengah pelemahan ekonomi akibat pandemi, mengingat cakupannya yang luas di berbagai sektor ekonomi. PPN juga secara konsisten menjadi kontributor utama penerimaan, bersama pajak penghasilan (PPh), sejak 2010.
Alhasil, masuk akal bila menaikkan tarif PPN menjadi jalur cepat yang dipilih Pemerintah untuk mengukuhkan instrumen keuangan negara.
Akan tetapi, kondisi ekonomi bergerak dinamis. Di antara banyak aspek yang mengalami pergeseran, kemampuan belanja masyarakat menjadi salah satunya.
Pada sisi ketenagakerjaan, peralihan dari industri padat karya ke padat modal menyebabkan peningkatan jumlah pekerja informal akibat menurunnya penyerapan tenaga kerja. Data terakhir menunjukkan porsi pekerja informal mencapai 57,95 persen, lebih dominan dari pekerja formal yang sebanyak 42,05 persen.
Sementara, bekerja di sektor informal berpotensi mengurangi kemampuan belanja. Pendapatan yang tidak stabil membuat konsumen menahan belanja karena mengutamakan pemenuhan kebutuhan dasar. Risikonya, penjualan barang sekunder bisa jadi terhambat.
Kondisi itu tercermin pada hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Porsi belanja kelas menengah untuk makanan meningkat pada 2024 dibandingkan 2019, sedangkan pengeluaran untuk hiburan dan kendaraan menurun. Padahal, kelas menengah merupakan salah satu penopang serapan PPN dari sektor-sektor sekunder itu.
Yang juga menjadi persoalan, jumlah kelas menengah mengalami penurunan hampir 10 juta orang pada periode waktu tersebut. Bila kondisi ini terus berlanjut, makin banyak orang yang bakal lebih mengutamakan pengeluaran makanan, yang berarti jual beli di sektor sekunder pun akan makin tertekan.
Tinjauan lain yang juga perlu menjadi perhatian yaitu dari sisi pelaku usaha. Seperti yang disorot oleh Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, penyesuaian tarif PPN bisa berdampak terhadap omzet pengusaha. Mereka mungkin akan meresponsnya dengan melakukan penyesuaian kapasitas produksi hingga penurunan jumlah tenaga kerja. Artinya, muncul risiko pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor.
Menjadi pengangguran berarti kehilangan pendapatan, yang berimbas pada kemampuan belanja melemah. Proses ini terjadi seperti sebuah siklus.
Evaluasi kebijakan
Ada beberapa catatan yang perlu dipertimbangkan Pemerintah terkait kebijakan PPN 12 persen.
Merujuk pada studi yang dilakukan oleh Qibthiyyah (2018) berjudul "The Relationship of VAT Rate and Revenues in the Case of Informality", ada hubungan berbentuk U-terbalik antara tarif PPN dan penerimaan pajak. Artinya, menaikkan tarif PPN hingga titik tertentu akan meningkatkan penerimaan, tetapi jika tarif terlalu tinggi, penerimaan justru menurun karena aktivitas ekonomi bisa terganggu. Ini sesuai dengan Teori Kurva Laffer.
Bila tujuan Pemerintah menaikkan tarif PPN adalah meningkatkan kinerja penerimaan, temuan studi itu bisa menjadi bahan pertimbangan.
Di sisi lain, studi itu juga menyoroti bahwa informalitas lapangan kerja menjadi tantangan Pemerintah dalam menyerap PPN. Pekerjaan informal umumnya melibatkan aktivitas ekonomi di luar sistem pajak formal sehingga transaksi tidak tercatat. Makin banyaknya aktivitas yang lolos dari PPN, maka kian sedikit penerimaan PPN yang bisa terserap.
LPEM UI pun menyoroti kenaikan PPN berpotensi meningkatkan penghindaran pajak, terutama di sektor yang pengawasannya minim. Maka dari itu, baik LPEM UI maupun Qibthiyyah mengusulkan mengurangi informalitas dan meningkatkan kapasitas administrasi melalui reformasi pajak menjadi cara yang lebih efektif untuk menguatkan fiskal negara.
Usulan lain juga datang dari Bhima. Menurutnya, perluasan objek pajak lebih efisien untuk meningkatkan rasio pajak, alih-alih melakukan penyesuaian tarif. Berdasarkan perhitungannya, Pemerintah punya potensi penerimaan Rp86 triliun per tahun dari pajak kekayaan (wealth tax). Pajak anomali keuntungan komoditas (windfall profit tax) dan penerapan pajak karbon pun juga bisa menjadi alternatif untuk kebijakan perpajakan.
Meski banyak tantangan, manfaat dari kenaikan tarif PPN juga tak bisa diabaikan. LPEM UI merinci manfaat dari peningkatan tarif PPN termasuk mengurangi ketergantungan negara terhadap pinjaman, kesempatan menurunkan beban utang, serta menyelaraskan kinerja pajak Indonesia dengan negara lain, mengingat tarif PPN Indonesia masih di bawah rata-rata tarif PPN global yang sebesar 15 persen.
Bila nantinya PPN 12 persen tetap diimplementasikan, Pemerintah perlu menyusun kebijakan yang dapat mengimbangi efek kenaikan tarif agar stabilitas ekonomi tetap terjaga. Pemerintah pun harus memastikan masyarakat mendapat timbal balik yang sepadan dengan yang mereka bayar.
Sebagai contoh, Pemerintah bisa menambah insentif, seperti subsidi kredit usaha atau pengurangan pajak. Cara ini, menurut Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede, dapat membantu pelaku usaha menyesuaikan diri dengan peningkatan beban pajak sehingga bisa mendukung daya saing UMKM dan mencegah penurunan produktivitas akibat biaya tambahan.
Ihwal informalitas lapangan kerja, Pemerintah perlu menggeser porsi pekerja informal dan formal. Dukungan terhadap serapan pekerjaan formal dan keberpihakan terhadap upah layak bisa membuat masyarakat memiliki modal yang memadai untuk berbelanja. Hasil Susenas menunjukkan bahwa menjaga tingkat kelas ekonomi masyarakat krusial untuk menjaga kesehatan perputaran ekonomi.
Selain itu, ketika tarif pajak naik, maka Pemerintah mempunyai anggaran yang lebih banyak untuk mendanai layanan penting, seperti kesehatan, pendidikan, hingga infrastruktur. Kebijakan di tiga sektor prioritas ini perlu dipastikan kualitas penerapannya agar masyarakat benar-benar merasakan manfaatnya.
Artinya, ketika Pemerintah meningkatkan tarif pajak, hal ini juga harus dibarengi dengan peningkatan taraf hidup masyarakat.
Oleh karena itu, evaluasi penting dari diskursus kebijakan PPN 12 persen itu bukan tentang mana yang lebih didahulukan, melainkan menemukan cara bagaimana kesehatan APBN dapat tetap dijaga sekaligus kesejahteraan rakyat Indonesia tetap terlindungi.
Editor: Achmad Zaenal M
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: PPN 12 persen: Antara menjaga kesehatan APBN dan daya beli masyarakat
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2024