Palu (ANTARA GORONTALO) - Aktor senior Roy Marten mengatakan pasar film dalam
negeri saat ini masih dikuasai "kapitalis" sehingga menyebabkan
industri perfilman tidak sehat.
"Bagaimana industri kita bisa sehat kalau tokonya (bioskop) dikuasai kapitalis," kata Roy di Palu, Sabtu, dalam Dialog Perfilman Nasional yang diselenggarakan Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi) Sulawesi Tengah.
Selain Roy, juga hadir sebagai pembicara Aspar Paturusi (aktor senior dan Ketua Dewan Pertimbangan Organisasi Parfi), Aditya Gumay (penulis naskah dan skenario) serta Krisna Mukti dari Komisi X DPR RI.
Roy memetakan potret perfilman Indonesia dalam tiga kategori yakni produksi, pemasaran dan industri. Indonesia kata dia, kalah dari aspek pemasaran karena akses pasar masih dikuasai modal asing.
Menurut Roy, bioskop saat ini semakin berkurang dan hanya dikuasai oleh kelompok pemilik modal asing yang besar dengan lebih mengendepankan keuntungan belaka.
Dia mengatakan film dalam negeri yang masuk ke bioskop hanya sekitar 20 persen, sehingga dominan film di bioskop juga dikuasai produk asing.
"Kalau film asing 200 sampai 400 sekali putar, film kita paling hanya sekitar 80," katanya.
Kondisi tersebut kata dia mengakibatkan Undang-Undang 33/2009 tentang Perfilman tidak berdaya.
Pasal 32 Undang-Undang 33/2009 menyebutkan pelaku usaha pertunjukan film wajib mempertunjukkan film Indonesia sekurang-kurangnya 60 persen dari seluruh jam pertunjukan film yang dimilikinya selama enam bulan berturut-turut.
Menurut Roy, industri film di Indonesia saat ini juga belum "bankable" (dibiayai perbankan) jika dibanding di negara-negara luar terutama negara-negara produsen film Hollywood dan Bollywood.
"Satu-satunya industri yang tidak 'bankable' adalah industri film," katanya.
Tidak heran kata dia, jika bank belum melirik modal usaha untuk industri film tersebut.
Sementara itu Anggota Komisi X Krisna Mukti mengatakan secara umum film di Indonesia sudah bangkit sehingga perlu dijaga agar tidak kembali surut.
Pemerintah kata dia, juga sudah mengatur melalui undang-undang perfilman namun masih ada beberapa titik lemahnya terutama dari sisi modal asing dan ideologi film yang diproduksi.
Dia mengatakan dengan dibukanya daftar negatif investasi oleh pemerintah akan menjadi masalah bagi pemodal asing terutama jika mereka juga mempekerjakan tenaga kerja asing di dalam negeri.
Demikian halnya dengan potensi masuknya ideologi asing melalui film yang diproduksi juga menjadi masalah karena bisa memberi pengaruh besar terhadap ideologi bangsa.
"Ini yang belum diakomodir dalam undang-undang perfilman kita," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2016
"Bagaimana industri kita bisa sehat kalau tokonya (bioskop) dikuasai kapitalis," kata Roy di Palu, Sabtu, dalam Dialog Perfilman Nasional yang diselenggarakan Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi) Sulawesi Tengah.
Selain Roy, juga hadir sebagai pembicara Aspar Paturusi (aktor senior dan Ketua Dewan Pertimbangan Organisasi Parfi), Aditya Gumay (penulis naskah dan skenario) serta Krisna Mukti dari Komisi X DPR RI.
Roy memetakan potret perfilman Indonesia dalam tiga kategori yakni produksi, pemasaran dan industri. Indonesia kata dia, kalah dari aspek pemasaran karena akses pasar masih dikuasai modal asing.
Menurut Roy, bioskop saat ini semakin berkurang dan hanya dikuasai oleh kelompok pemilik modal asing yang besar dengan lebih mengendepankan keuntungan belaka.
Dia mengatakan film dalam negeri yang masuk ke bioskop hanya sekitar 20 persen, sehingga dominan film di bioskop juga dikuasai produk asing.
"Kalau film asing 200 sampai 400 sekali putar, film kita paling hanya sekitar 80," katanya.
Kondisi tersebut kata dia mengakibatkan Undang-Undang 33/2009 tentang Perfilman tidak berdaya.
Pasal 32 Undang-Undang 33/2009 menyebutkan pelaku usaha pertunjukan film wajib mempertunjukkan film Indonesia sekurang-kurangnya 60 persen dari seluruh jam pertunjukan film yang dimilikinya selama enam bulan berturut-turut.
Menurut Roy, industri film di Indonesia saat ini juga belum "bankable" (dibiayai perbankan) jika dibanding di negara-negara luar terutama negara-negara produsen film Hollywood dan Bollywood.
"Satu-satunya industri yang tidak 'bankable' adalah industri film," katanya.
Tidak heran kata dia, jika bank belum melirik modal usaha untuk industri film tersebut.
Sementara itu Anggota Komisi X Krisna Mukti mengatakan secara umum film di Indonesia sudah bangkit sehingga perlu dijaga agar tidak kembali surut.
Pemerintah kata dia, juga sudah mengatur melalui undang-undang perfilman namun masih ada beberapa titik lemahnya terutama dari sisi modal asing dan ideologi film yang diproduksi.
Dia mengatakan dengan dibukanya daftar negatif investasi oleh pemerintah akan menjadi masalah bagi pemodal asing terutama jika mereka juga mempekerjakan tenaga kerja asing di dalam negeri.
Demikian halnya dengan potensi masuknya ideologi asing melalui film yang diproduksi juga menjadi masalah karena bisa memberi pengaruh besar terhadap ideologi bangsa.
"Ini yang belum diakomodir dalam undang-undang perfilman kita," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2016