Gorontalo,  (ANTARA GORONTALO) - Beberapa tahun terakhir, petani di Desa Padengo, Kecamatan Dengilo, Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo mengalami kekurangan air untuk lahan pertanian.

Debit air empat anak sungai yakni Dengilo, Utika Kiri, Dila Lo Biawao dan Utika Kanan yang bermuara ke Sungai Bumbulan tak lagi bisa mengairi 275 hektare sawah di desa yang berbatasan dengan hutan tersebut.

"Musim kemarau panjang tahun 2015 memaksa sebagian besar petani sawah beralih penjadi petani ladang. Mereka menanam jagung, sambil menunggu pasokan air kembali normal dan pekerjaan Bendungan Karangetan selesai," kata Kepala Desa Padengo, Ismail Samarang (46).

Menurutnya 80 persen warga desa yang berjumlah 1.114 jiwa atau 254 Kepala Keluarga (KK) itu bekerja sebagai petani. Sebagian besar adalah petani lahan basah, namun berkurangnya debit air memaksa warga untuk beralih ke komoditas yang cocok untuk lahan kering.

"Rampungnya pekerjaan Bendungan Karangetan sangat dinanti warga, karena itu satu-satunya sumber air yang bisa kami harapkan," lanjutnya. Ismail mengungkapkan minimnya debit air karena adanya perambahan hutan di bagian hulu sungai.

Sebetulnya warga desa ini telah mencegah upaya pembabatan hutan sejak tahun 2007, namun hingga kini belum membuahkan hasil karena diduga ada keterlibatan oknum polisi dan TNI yang turut membeli lahan di tengah hutan. "Untuk kasus ini, kami sudah menyurat ke Bupati dan dinas terkait, serta melampirkan semua nama yang mengalihfungsikan hutan menjadi kebun agar segera diproses," jelasnya.

Kasus perambahan hutan tidak hanya merugikan desa tersebut. Desa Makarti Jaya di Kecamatan Taluditi juga beberapa kali harus mengalami banjir bandang, yang merupakan akumulasi dari kerusakan sebagian areal hutan. Bencana tersebut membuat warga berupaya menjaga hutannya dari berbagai penyebab yang mengancam lingkungan.

Desa ini juga memilih untuk menolak perusahaan sawit masuk, karena adanya risiko terancamnya kelestarian lingkungan dan konflik yang muncul.

"Desa kami menolak sawit, sebagai gantinya kami memilih kakao untuk budi daya agar kami dan warga lainnya tidak merambah hutan," ungkap Nasro`i, dari Kelompok Tani Mandiri Desa Makarti Jaya. Bahkan, warga Makarti telah memulai melaksanakan teknik budi daya kakao yang lestari atau ramah lingkungan.

Selain ramah lingkungan, teknik tersebut juga menghasilkan biji kakao berkualitas dan tersertifikasi internasional. Kelompok tani itu mendirikan lokasi pembelajaran kakao lestari dalam sebuah demplot.

"Tujuan kami, demplot-demplot ini akan menjadi sentra belajar bagi petani kakao lainya di Pohuwato khususnya, bahkan dari kabupaten lain di Provinsi Gorontalo," katanya.

Desa lainnya yang juga tengah berjuang adalah Lembah Permai di Kecamatan Wonggarasi. Desa ini berbatasan langsung dengan kawasan hutan lindung dan hutan produksi. Sejak tahun 2009, hutan produksi yang berada di sekitar Desa Lembah Permai telah ditinggalkan oleh perusahaan pengelola hutan (HPH).

Kepala Desa Lembah Permai, Buang Hasang mengatakan kondisi hutan tersebut mulai rusak, pohon-pohon besar sudah tidak ada lagi. Di kawasan hutan lindung, kondisinya kurang lebih sama.

Daerah kawasan sumber mata air yang ada di hutan lindung juga mengalami kerusakan, sehingga menyebabkan berkurangnya debit air yang mengaliri sungai yang digunakan untuk kebutuhan air masyarakat.

Masalah lain yang dihadapi, kata dia, adalah perburuan satwa. Meski kualitas hutan yang ada di sekitar Desa Lembah Permai berkurang, namun hidup satwa liar seperti Anoa dan Babi Rusa yang terancam punah dan dilindungi. Lembah Permai menjadi pintu masuk para pemburu untuk kegiatan berburu satwa. Sebagian besar pemburu satwa diketahui adalah orang yang berasal dari luar desa.



Membangun Kesepakatan

Selain tiga desa tersebut, ada tiga desa lain yang berbatasan dengan hutan yakni Desa Karya Baru dan Desa Karangetan di Kecamatan Dengilo, serta Desa Puncak Jaya di Kecamatan Taluditi dan mengalami masalah serupa.

Keenam warga desa tersebut, kemudian menempuh jalan musyawarah serta bersepakat untuk menjaga kelestarian alam desa dan hutannya. Setiap masalah lingkungan dan perekenomian warga desa dibahas mulai dari tingkat terendah, kemudian bersama-sama mencari jalan keluarnya.

Tanggal 7 Oktober 2016 adalah hari bersejarah bagi warga di enam desa itu. Pada hari itu mereka menunjukkan komitmen dan menuangkannya dalam sebuah kesepahaman yang disebut Kesepakatan Pelestarian Alam Desa (KPAD).

Dokumen KPAD berisi tentang profil dan sejarah desa, masalah yang dihadapi, aturan yang disepakati, sanksi yang diberikan bagi yang melanggar hingga solusi yang dirumuskan bersama secara musyawarah. Dokumen ini kemudian ditandatangani para perangkat desa, camat, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) hingga Bupati.

Burung Indonesia, sebuah perhimpunan yang fokus pada restorasi ekosistem, menjadi inisiator dalam penandatanganan KPAD tersebut. Manajer Progam Gorontalo Burung Indonesia Amsurya Warman Amsa mengatakan KPAD merupakan kesepahaman, komitmen dan kesepakatan antara masyarakat dengan masyarakat desa dan masyarakat desa dengan pemerintah, untuk mendukung pengelolaan sumber daya alam desa dan pengelolaan hutan secara lestari berkelanjutan.

"Kegiatan pengelolaan hutan melalui restorasi ekosistem, tidak bisa terjadi tanpa dukungan dari pemerintah daerah dan masyarakat. KPAD menjadi salah satu pendekatan untuk mengurangi konflik pengelolaan sumberdaya alam desa di dalam dan di luar kawasan hutan," jelasnya.

Sejak akhir tahun 2013, perhimpunan ini melaksanakan program Pengelolaan Bentang Alam Berkelanjutan dan Restorasi Ekosistem di Gorontalo, dengan dukungan dari Kementrian Lingkungan Hidup Jerman (BMU) melalui bank pembangunan Jerman (KfW).

Salah satu dukungan Burung Indonesia untuk memberi solusi bagi warga desa adalah memfasilitasi usaha kakao berkelanjutan yang memiliki nilai tambah kepada petani kakao, untuk menjaga komitmen pada pelestarian alam.

Amsurya mengatakan ada tiga bentuk kesepakatan yang tertuang dalam KPAD yakni kesepakatan pemecahan masalah dengan membuat peraturan yang perlu ditegakkan di desa dalam bentuk Peraturan Desa dan regulasi lainnya. Kesepakatan berikutnya adalah tentang solusi atas masalah dengan membuat program swadaya di desa.

Kesepakatan terakhir yakni pemecahan masalah dengan meminta dukungan dari pihak luar desa, seperti dukungan kebijakan, teknis, program pembangunan serta pendanaan baik dari pemerintah maupun organisasi non pemerintah.

"Untuk kesepakatan ketiga ini dituangkan dalam bentuk rencana usulan Program Pembangunan Desa, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes), Rencana Kerja Pembangunan Pembangunan Desa (RKPDes) dan Anggaran Pendapatan Belanja Desa (APBDes), Proposal Kegiatan Khusus," tambahnya.

Bupati Pohuwato Syarif Mbuinga mengatakan KPAD merupakan bukti bahwa keterlibatan masyarakat merupakan faktor utama dalam menjaga lingkungan. Dengan ditandatanganinya KPAD, ia berharap terjalin kerja sama yang terintegrasi antara program dari SKPD dengan pihak lainnya seperti Burung Indonesia.

"Saya telah merestui Burung Indonesia melalui PT Habitat Burung Indonesia untuk mengelola hutan di Pohuwato. Pengelolaan ini melalui izin konsesi restorasi ekosistem selama 60 tahun," ujarnya.

Kegiatan restorasi ekosistem ini diharapkan dapat bersinergi bersama program pemerintah daerah sehingga hutan Pohuwato dapat memberikan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat terutama yang tinggal dekat dengan kawasan hutan.

Bagi warga, kesepakatan ini bukan hanya sebuah dokumen, namun awal dari sebuah proses panjang yang akan ditempuh untuk menyelamatkan hutan sebagai sumber keberlanjutan hidup.

Pewarta: Debby Hariyanti Mano

Editor : Hence Paat


COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2016