Gorontalo,  (ANTARA GORONTALO) - Perempuan berusia 65 tahun itu duduk pada sebuah tumpukan baju, tikar, dan bantal basah. Nino Kasim, demikian ia menyebut namanya, hanya bisa menyelamatkan barang-barang itu ke atas tanggul yang berada di depan rumahnya.

Ia memandang lepas ke sebuah sungai besar di hadapannya. Sungai Paguyaman yang sedang mengamuk seminggu terakhir dan menghancurkan badan tanggul di lima titik.

Tanggul yang rusak tersebut berada hanya sekitar 100 meter dari tempatnya duduk. Gara-gara kerusakan itu, air dengan cepat merendam rumah warga di Desa Rejonegoro, Kecamatan Paguyaman Kabupaten Boalemo sejak 27 Oktober 2016.

"Saya mengungsi dan bertahan di atas tanggul sejak air naik," ucapnya singkat.

Ia dan warga sekitar tanggul memilih membangun dua tempat perlindungan. Satu menggunakan kayu dan terpal, sementara yang satunya lagi hanya memanfaatkan cabang kayu untuk tiang dan daun pisang sebagai atapnya.

Berdasarkan catatan pemerintah setempat, banjir melanda 16 desa di Boalemo dengan jumlah korban 1.855 Kepala Keluarga (KK) atau 6.354 jiwa dan mengakibatkan empat rumah hanyut.

Desa Rejonegoro merupakan wilayah yang terdampak banjir paling parah di Boalemo, dengan korban banjir 175 KK atau 599 jiwa dan 60 di antaranya adalah balita.

Sementara itu di Kecamatan Bilato Kabupaten Gorontalo, suasana pascabanjir cukup berbeda. Di wilayah ini banyak posko dan dapur umum dibangun, ada ratusan relawan, hingga kemacetan panjang yang terjadi. Bantuan sosial mengalir deras ke Bilato, karena pemerintah setempat menyatakan wilayah ini merupakan yang terdampak banjir paling besar dibanding 10 kecamatan lainnya.

Kecamatan lain yang juga terdampak di Kabupaten Gorontalo adalah Limboto dan Limboto Barat. Bahkan air Sungai Bionga beberapa kali meluap sehingga banjir terjadi berulang.

Pipa PDAM putus dan mengakibatkan krisis air bersih selama 10 hari. Kondisi ini memaksa sebagian korban banjir terpaksa menampung air hujan untuk kebutuhan air bersih.

Bencana tersebut masih berlanjut, ketiga tiga anak ditemukan telah meninggal dunia karena terseret arus sungai hingga ke Danau Limboto.



Penyebab Banjir

Aktivis lingkungan Rahman Dako menyebut ada dua Daerah Aliran Sungai (DAS) besar yang berperan dalam banjir Gorontalo. Kecamatan Bilato dan Paguyaman adalah wilayah yang mendapat terjangan banjir dari luapan DAS Paguyaman. Sedangkan banjir di Kecamatan Limboto dan sekitarnya, merupakan dampak dari DAS Limboto yang bermuara hingga ke Danau Limboto.

Hutan di bagian hulu DAS Paguyaman dan DAS Limboto mengalami kerusakan berat. Tidak heran bila pada kasus bencana kali ini, daerah yang sebelumnya tidak pernah dilanda banjir justru menjadi kawasan yang terdampak paling parah. Sebagian besar kecamatan yang banjir adalah area kedua DAS itu.

Kondisi DAS Paguyaman berkaitan erat dengan Hutan Nantu yang berstatus Suaka Margasatwa (SM) dan Gunung Boliyohuto.

Kerusakan bentang alam kawasan SM Nantu dan DAS Paguyaman telah mengalami perjalanan panjang, dan penyebabnya adalah alih fungsi hutan menjadi perkebunan, tambang, hingga areal Hak Pengelolaan Hutan atau HPH. Pemerintah daerah pada saat itu terlalu longgar memberi izin kepada sejumlah perusahaan yang masuk, katanya.

Dalam laporan kajian SM Nantu yang dilakukan Rahman Dako bersama tim, menyebut pada 1950-an hutan di wilayah itu dibuka untuk pertanian dan transmigrasi.

Tahun 1991, lanjutnya, Pemerintah Pusat melalui Menteri Kehutanan waktu itu memberikan konsesi Hak Pengelolaan Hutan (HPH) kepada Perusahaan Taiwi Unit III (Group Barito Pacific Timber) di wilayah Paguyaman dan sekitarnya seluas 55.000 hektare. Perusahaan membuka akses lebih besar kepada terbukanya jalan masuk ke daerah dekat hutan.

Kemudian pada tahun 1992, perusahaan PT. Naga Manis Plantation masuk dan melakukan pembebasan 15.700 hektar tanah untuk menanam tebu. Saat itu, warga berani menjual lahannya karena iming-iming ganti rugi dan lapangan pekerjaan.

Kehadiran perkebunan tebu dan perusahaan bukannya mensejahterakan, malah memaksa petani untuk mencari tanah baru. Mereka mencari pekerjaan lain di kota atau mencari lahan baru dengan merambah hutan, termasuk di sekitar SM Nantu, katanya.

Ia mengungkapkan selain HPH, pembalakan liar bahkan sempat difasilitasi oleh pemerintah daerah melalui Perusahaan Daerah Gorontalo (PEDAGO) yang sekarang menjadi BUMD).

Bupati Gorontalo saat itu, membuat Surat Keputusan Nomor 611 Tahun 2001 kepada PEDAGO untuk memanfaatkan 10 persen wilayah konsesi perusahaan HPH yang ada di Kabupaten Gorontalo saat itu. SK ini memicu pada cukong illegal logging untuk merambah hutan.

SK ini juga membolehkan setiap Kepala Keluarga (KK) untuk mengambil kayu sebanyaK 10 kubik di Kabupaten Gorontalo, dengan alasan untuk kebutuhan keluarga. Namun hal ini dimanfaatkan oleh para cukong kayu dan dibantu oleh PD PEDAGO, yang kemudian menjualnya ke PT. Korean Shon Choi (KSC) Jaya.

Saat itu Jaringan Advokasi dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (Japesda) Gorontalo getol melawan kebijakan Bupati Gorontalo, dan sempat berurusan dengan pengadilan.

Pada tahun 2010, perusahaan sawit mulai masuk ke Gorontalo. Perusahaan yang berada di sekitar kawasan SM Nantu adalah PT Agro Artha Surya, PT Agro Palma Nusantara dan PT Umekah Makmur. Total luas kebun sawit adalah 66.457,90 hektare.

Faktor lainnya yang menyumbang kerusakan hutan adalah tambang. Terdapat 10 Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang terdapat di sekitar SM Nantu. Ini belum termasuk tambang tanpa ijin yang tidak tercatat di Dinas Kehutanan total mencapai 128.218.99 hektare.


Mari beralih ke persoalan DAS Limboto.

Dari luas kawasan penyangga DAS ini 86.861 hektare, luas tutupan hutan yang tersisa tinggal 10 persen. Yang 90 persen sudah beralih menjadi berbagai fungsi menjadi lahan pertanian, perkebunan sawit, Hutan Tanaman Industri, tambang galian C, dan pemukiman.

Perubahan kawasan penyangga tersebut menjadi alasan terbesar rendahnya daya dukung lingkungan di Kabupaten Gorontalo, sehingga banjir bandang akan terjadi saat curah hujan tinggi.

Dinas Kehutanan, Energi dan Sumberdaya Mineral Provinsi Gorontalo melaporkan bahwa ada enam Izin Usaha Pertambangan di bagian hulu Danau Limboto kepada PT. Gunung Mulia Mineral, PT. Citra Bumi Mineralindo, PT. Bina Daya Hati Mineral, PT. Bumi Mineralindo Ekazona, PT. Multi Mineral Exploration, PT. Pertambangan Bumi Indonesia.

Catatan JAPESDA pada tahun 2006 menunjukkan sejak puluhan tahun upaya rehabilitasi yang dilakukan pemerintah gagal, karena laju perambahan lebih tinggi dibanding upaya penanaman atau pencegahan.

Pemerintah telah mengeluarkan dana milyaran bahkan triliun rupiah selama puluhan tahun untuk melakukan penanaman ribuan pohon kayu tetapi tidak pernah sanggup melakukan pengawasan dan perawatan sehingga menjadi ekosistem hutan kembali.



Solusi

Rahman Dako yang telah melakukan survei dan penelitian lingkungan di Gorontalo, menilai daerah itu benar-benar telah menjadi korban bencana ekologi yang sangat akut. Kondisi ini membutuhkan waktu yang lama untuk memperbaikinya.

Ia berharap pemerintah mengkaji kembali izin perusahaan yang melakukan praktek tidak ramah lingkungan, bahkan bila perlu mencabutnya.

Ia menjelaskan, upaya restorasi dan penanaman kembali hutan-hutan di Gorontalo akan sangat membantu memperbaiki keadaan meskipun tak mudah dlakukan. Gerakan penanaman kembali yang dipelopori oleh pemerintah, LSM dan kelompok masyarakat perlu didorong dan dipertahankan kelangsungannya.

Ia menilai kampanye melalui penyebaran informasi serta pendidikan lingkungan di sekolah-sekolah perlu ditingkatkan. "Kampanye juga harus didukung data yang valid, sehingga masyarakat tahu kondisi yang sebenarnya terjadi dan tahu dukungan apa yang bisa mereka lakukan," ujarnya.

Untuk kawasan penyangga Danau Limboto, saat ini pemerintah Provinsi Gorontalo meracik kembali regulasi untuk melindungi bagian-bagian penting yang berperan dalam pemulihan danau kritis itu.

Sejumlah lembaga yang konsen pada lingkungan juga menyuarakan kepada pemerintah, agar memperbesar anggaran perbaikan dan pemulihan di kawasan hulu daripada sibuk menggelontorkan dana untuk kerusakan di hilir.

Bagaimana mungkin alam akan ramah pada manusia, bila kerusakan alam selalu dianggap biasa. Banjir kali ini adalah pelajaran.

Pewarta: Debby Hariyanti Mano

Editor : Hence Paat


COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2016