Gorontalo, (ANTARA GORONTALO) - Maleo (Macrocephalon maleo) adalah burung langka yang hanya terdapat di Pulau Sulawesi. Burung ini menjadi maskot dalam bentuk patung di beberapa wilayah seperti Kabupaten Pohuwato di Gorontalo, Kota Kotamobagu di Sulawesi Utara, Kabupaten Sigi dan Kabupaten Banggai di Sulawesi Tengah.

Maleo menjadi simbol kemandirian dan kesetiaan, meskipun tak semua orang Sulawesi pernah melihat wujud burung itu bahkan gambarnya sekalipun. Punggung Maleo berwarna hitam, dengan dada hingga perut berwarna oranye muda, serta kaki abu-abu. Ciri khasnya memiliki jambul warna hitam yang keras di bagian kepala.

Jurnal Kutilang Indonesia menyebut maleo jantan dan betina serupa, tapi biasanya betina berukuran lebih kecil dan berwarna lebih kelam dibanding burung jantan. Mereka memiliki tipe perkawinan monogami. Selalu bersama pasangan sepanjang tahun, tetapi tidak mengerami telur sendiri melainkan dengan membuat lubang dalam pasir.

Lubang dengan kedalaman sekitar satu meter dan lebar tiga meter ini untuk meletakkan telur. Telur biasanya diletakkan 20-60 sentimeter dari permukaan pasir. Masa pengeraman 60-80 hari, dengan suhu 32-39 derajat celcius.

Maleo tidak mengerami sendiri telurnya, melainkan secara alami dengan bantuan sinar matahari dan panas bumi. Setelah menetas anak maleo harus berjuang sendiri mencapai pemukaan tanah. Anakan tumbuh dengan cepat dan mandiri, kemudian menjadi individu dewasa yang siap kawin pada umur 20-24 bulan. Telur maleo sangat rentan mengalami predasi sarang oleh manusia, biawak dan babi.

Maleo terdaftar sebagai Endangered species atau genting/terancam dalam Daftar Merah International Union for Conservation of Nature (IUCN Red List). Burung ini dilindungi di Indonesia dengan Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1999, serta terdaftar dalam Appendix 1 pada daftar CITES (Convention on International Trade of Endangered Species of Wild Fauna and Flora).

Meskipun ikon Sulawesi, Maleo tidak dapat ditemui di seluruh tempat di pulau tersebut. Dalam laporan Wildlife Conservation Society (WCS) ladang peneluran maleo hanya ditemukan di daerah yang memiliki sejarah geologi, yakni berhubungan dengan lempeng pasifik atau Australasia. Sampai saat ini, belum ada kejelasan mengenai asal usul maleo.

Terdapat dua teori yang bertentangan mengenai asal-usul maleo. Teori pertama mengatakan bahwa nenek moyangnya berasal dari Australia.Sementara teori kedua mengatakan bahwa nenek moyang maleo berasal dari Asia Tenggara sebelum tiba di Australia. Namun, persamaan jelas dari kedua teori ini adalah nenek moyang maleo telah terisolasi di Australia untuk waktu yang lama.

Saat terisolasi di Australia, nenek moyang maleo berevolusi menjadi burung yang tidak lagi mengerami sendiri telurnya tetapi menggunakan bantuan alam di sekitarnya untuk penetasan. Selanjutnya dari Australia menyebar ke Nugini dan pulau-pulau di sekitarnya.

Di Provinsi Gorontalo, habitat maleo ada di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW) di Kabupaten Bone Bolango dan Cagar Alam Panua di Kabupaten Pohuwato. Dalam dua kawasan ini, pemerintah melakukan upaya pelestarian maleo bersama lembaga lainnya demi mempertahankan hewan tersebut dari kepunahan.

Maleo di TNBNW
Program Manager WCS di Sulawesi Iwan Hunowu mengatakan penurunan populasi maleo sangat cepat diakibatkan oleh pengambilan telur dan perusakan habitat. WCS mengidentifikasi sebanyak 134 lokasi peneluran (nesting ground), atau sekitar 287,115 hektare di dalam kawasan TNBNW dan sekitarnya. Hampir dua per tiga dari lokasi tersebut masih dikunjungi oleh maleo.

WCS Indonesia Program (WCS-IP) memulai program perlindungan ladang peneluran di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone sejak tahun 2001. Program tersebut dilakukan di Stasiun Tambun dan Muara Pusian, Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara dan di Stasiun Hungayono di Kabupaten Bone Bolango Provinsi Gorontalo.

Hungayono memiliki sumber-sumber air panas, sehingga ideal bagi habitat maleo. Ladang peneluran dijaga agar bebas dari tumbuhan pengganggu yang invasif, juga dari gangguan hewan dan para pengumpul telur.

WCS mendirikan tiga bangunan penetasan (hatcheries), yang letaknya tak jauh dari aliran Sungai Bone. Bangunan tersebut berfungsi untuk meletakkan telur-telur yang digali dari ladang peneluran setelah maleo dewasa pergi. Telur-telur ini secara hati-hati dimasukkan ke dalam hatchery dan menunggu sekitar 90 hari pengeraman.

"Dengan cara ini, telur-telur ini terlindungi dari para pemburu telur dan predator alami. Anak maleo langsung dilepas setelah menetas dan secara alami keluar dari lubang penetasan," ujar Iwan.

Sepanjang tahun 2015, WCS melepas 1.505 anak maleo ke ala. Dari jumlah tersebut, Hungayono menyumbang angka terbanyak dalam pelepasan anak maleo ke alam dengan jumlah 678 ekor. Kemudian Tambun 529 ekor dan Muara Pusian 298 ekor.

Sedangkan pada tahun 2016, jumlah anak maleo yang dilepaskan 939 ekor, yang terdiri dari 489 ekor di Hungayono, 234 ekor di Tambun, dan 214 ekor di Muara Pusian. Ia menambahkan, sejak tahun 2001 sampai dengan Desember 2016 pihaknya telah berhasil melepaskan 11.453 anak maleo ke alam.

Kendati upaya perlindungan dan pelestarian dilakukan, namun maleo tak luput dari ancaman kerusakan habitatnya diantaranya pembangunan Waduk Bone Hulu yang rencananya akan dibangun di Kecamatan Suwawa Timur, Kabupaten Bone Bolango.

Warga menolak pembangunan waduk karena akan menggusur empat desa di kecamatan itu. Pro kontra pembangunan waduk reda, ketika ada wacana lokasi waduk akan bergeser ke Hungayono, tempat maleo bertelur. Pada Oktober 2016 lalu, Gubernur Gorontalo Rusli Habibie mengungkapkan pihaknya tidak akan gegabah menentukan lokasi waduk.

"Akan ada studi khusus untuk itu, jika memang akan menenggelamkan habitat maleo maka harus cari tempat lain. Waduk ini genangannya bisa sampai 4,5 kilometer," katanya.

Sampai saat ini, belum ada kepastian mengenai lokasi atau koordinat pembangunan waduk tersebut.

Maleo di Panua
Cagar Alam Panua merupakan habitat maleo lainnya di Gorontalo. Cagar alam ini terletak di Kabupaten Pohuwato, dengan luas yang mengalami penyusutan dari 45.575 hektar tahun 1992 menjadi 36.575 hektare pada tahun 2010.

Panua terdiri dari vegetasi hutan hujan dataran rendah dan pegunungan di bagian Utara, serta ekosistem mangrove dan hutan pantai di bagian pesisir Selatan. Di pesisir tersebut maleo dewasa datang untuk bertelur.

Seperti halnya di Hungayono, pelestarian maleo di Panua oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) juga dilakukan dengan pengamatan induk maleo, pengumpulan telur, pencatatan kondisi lubang peneluran, relokasi telur ke dalam bangunan penetasan hingga melepas kembali ke alam.

Kepala Resort Cagar Alam Panua dan Cagar Alam Tanjung Panjang, Tatang Abdulah mengatakan pihaknya membangun fasilitas penetasan telur dengan inkubator bertenaga surya. Setelah menetas, anak maleo dipindahkan ke kandang penyapihan untuk menyiapkan kondisi fisiknya. Pemberian pakan alami berupa rayap, telur serangga, rayap dan siput air tawar diberikan pada saat masa penyapihan.

"Inkubator ini untuk meningkatkan presentase keberhasilan penetasan, karena faktor utama yang berpengaruh adalah kondisi cuaca," ungkapnya.

Ia menjelaskan, relokasi telur dan penyapihan anak maleo sebelum dilepasliarkan bertujuan untuk menaikkan tingkat harapan hidup satwa tersebut. Upaya tersebut merupakan salah satu cara konservasi yang dilakukan, selain pencegahan perusakan habitat alami dan perburuan liar.

Menurut Tatang, populasi maleo di lokasi ini cenderung menurun karena terjadi pengambilan telur di alam dan banyaknya predator alami yang memakan telur maleo.

Pada tahun 2015, jumlah telur yang direlokasi 173 butir dan berhasil menetas 152 butir, sedangkan tahun 2016 yang direlokasi 152 butir dan menetas 82 butir. Dari angka tersebut, anak maleo yang disapih tahun 2015 sebanyak 151 ekor tahun 2016 sebanyak 77 ekor.

Tatang mengungkapkan ancaman terhadap habitat maleo cukup besar di cagar alam ini. Misalnya jalur terbang maleo dari habitat utama menuju lokasi peneluran dipisahkan oleh Jalan Trans Sulawesi, sehingga kurang aman bagi hewan tersebut.

Selain itu perambahan hutan, penambangan, pembalakan liar juga masih kerap terjadi. Ancaman lainnya adalah adanya rencana pembangunan infrastruktur yang akan melintasi kawasan CA Panua.

Keduanya adalah pembangunan Jalan Rel Kereta Api Lintas Sulawesi yang telah disurvei pada tahun 2016, serta jaringan Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) 150 KV interkoneksi Manado, Gorontalo, Sulawesi Tengah dan Makassar yang disurvei sejak tahun 2012 hingga 2016.

Dengan berbagai ancaman tersebut, sepatutnya habitat maleo mendapat perlindungan penuh agar satwa dilindungi tersebut tak berakhir hanya sebagai patung-patung di setiap pojok kota di Sulawesi.

Pewarta: Debby Hariyanti Mano

Editor : Hence Paat


COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2017