Jakarta (ANTARA GORONTALO) - Fraksi Partai Demokrat DPR tetap menginginkan
ambang batas partai politik mengajukan calon presiden ditiadakan karena
kalau dipaksakan maka UU Penyelenggaraan Pemilu akan kehilangan
pengakuannya, baik secara yuridis, politis dan sosiologis.
"Kami Fraksi Partai Demokrat telah meneguhkan cara pandang dan sikap kami terkait presidential threshold yang sejak awal hingga akhir, menganggap presidential threshold tidak relevan untuk dilakukan pengaturan dalam RUU tersebut," kata Sekretaris Fraksi Demokrat DPR RI Didik Mukrianto, di Jakarta, Kamis.
Dia menjelaskan apabila presidential threshold tetap dipaksakan masuk dalam RUU Pemilu maka dapat dipastikan undang-undang tersebut akan kehilangan pengakuannya, baik secara yuridis, politis dan sosiologis.
Selain itu menurut dia, hal itu bisa menabrak norma dalam putusan MK yang mengharuskan Pemilu 2019 dilaksanakan serentak antara Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden.
"Sehingg kalau dipaksakan, secara politis akan membatasi hak konstitusional parpol peserta Pemilu 2019," ujarnya.
Didik menilai presidential treshold secara sosilogis akan membatasi hak konstitusional warga negara yang bisa berpotensi kepada rendahnya partisipasi warga negara dalam Pemilu.
Hal itu menurut dia akan mempengaruhi pertumbuhan dan kualitas demokrasi Indonesia disamping legitimasinya sendiri.
"Karena logika sehat dan untuk kemajuan bangsa yang menjadi tujuan baik yang kita yakini, maka kami tetap berketeguhan sikap menyatakan tidak ada relevansi dan urgensinya lagi untuk melakukan pengaturan Presidential Threshold dalam RUU Penyelenggara Pemilu," ujarnya.
Rapat Paripurna DPR pada Kamis (20/7) diagendakan pengambilan keputusan tingkat II terkait Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu, setelah tidak dicapai kesepakatan dalam pembicaraan tingkat I di dalam Panitia Khusus RUU Pemilu.
Pansus RUU Pemilu menyiapkan lima opsi paket terhadap lima isu krusial dalam RUU Pemilu yang sampai saat ini belum diputuskan.
Kelima opsi paket isu krusial tersebut adalah Paket A, ambang batas presiden 20/25 persen, ambang batas parlemen 4 persen, sistem pemilu terbuka, besaran kursi: 3-10, konversi suara saint lague murni.
Paket A tersebut ada lima fraksi yang mendukung yaitu Fraksi PDI Perjuangan, Fraksi Partai Golkar, Fraksi PPP, Fraksi Partai Hanura, dan Fraksi Partai Nasdem.
Untuk Paket B dengan ambang batas presiden 0 persen, ambang batas parlemen 4 persen, sistem pemilu terbuka, besaran kursi 3-10, konversi suara kuota hare.
Paket B tersebut didukung empat fraksi yaitu Fraksi Partai Gerindra, Fraksi Partai Demokrat, Fraksi PKS, dan Fraksi PAN.
Lalu Paket C dengan ambang batas presiden 10/15 persen, ambang batas parlemen 4 persen, sistem pemilu terbuka, besaran kursi 3-10, konversi suara kuota hare.
Untuk Paket D dengan ambang batas presiden 10/15persen, ambang batas parlemen 5 persen, sistem pemilu terbuka, besaran kursi 3-8, konversi suara saint lague murni, didukung Fraksi PKB.
Paket E, ambang batas presiden 20/25 persen, ambang batas parlemen 3,5 persen, sistem pemilu terbuka, besaran kursi 3-10, konversi suara kuota hare.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2017
"Kami Fraksi Partai Demokrat telah meneguhkan cara pandang dan sikap kami terkait presidential threshold yang sejak awal hingga akhir, menganggap presidential threshold tidak relevan untuk dilakukan pengaturan dalam RUU tersebut," kata Sekretaris Fraksi Demokrat DPR RI Didik Mukrianto, di Jakarta, Kamis.
Dia menjelaskan apabila presidential threshold tetap dipaksakan masuk dalam RUU Pemilu maka dapat dipastikan undang-undang tersebut akan kehilangan pengakuannya, baik secara yuridis, politis dan sosiologis.
Selain itu menurut dia, hal itu bisa menabrak norma dalam putusan MK yang mengharuskan Pemilu 2019 dilaksanakan serentak antara Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden.
"Sehingg kalau dipaksakan, secara politis akan membatasi hak konstitusional parpol peserta Pemilu 2019," ujarnya.
Didik menilai presidential treshold secara sosilogis akan membatasi hak konstitusional warga negara yang bisa berpotensi kepada rendahnya partisipasi warga negara dalam Pemilu.
Hal itu menurut dia akan mempengaruhi pertumbuhan dan kualitas demokrasi Indonesia disamping legitimasinya sendiri.
"Karena logika sehat dan untuk kemajuan bangsa yang menjadi tujuan baik yang kita yakini, maka kami tetap berketeguhan sikap menyatakan tidak ada relevansi dan urgensinya lagi untuk melakukan pengaturan Presidential Threshold dalam RUU Penyelenggara Pemilu," ujarnya.
Rapat Paripurna DPR pada Kamis (20/7) diagendakan pengambilan keputusan tingkat II terkait Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu, setelah tidak dicapai kesepakatan dalam pembicaraan tingkat I di dalam Panitia Khusus RUU Pemilu.
Pansus RUU Pemilu menyiapkan lima opsi paket terhadap lima isu krusial dalam RUU Pemilu yang sampai saat ini belum diputuskan.
Kelima opsi paket isu krusial tersebut adalah Paket A, ambang batas presiden 20/25 persen, ambang batas parlemen 4 persen, sistem pemilu terbuka, besaran kursi: 3-10, konversi suara saint lague murni.
Paket A tersebut ada lima fraksi yang mendukung yaitu Fraksi PDI Perjuangan, Fraksi Partai Golkar, Fraksi PPP, Fraksi Partai Hanura, dan Fraksi Partai Nasdem.
Untuk Paket B dengan ambang batas presiden 0 persen, ambang batas parlemen 4 persen, sistem pemilu terbuka, besaran kursi 3-10, konversi suara kuota hare.
Paket B tersebut didukung empat fraksi yaitu Fraksi Partai Gerindra, Fraksi Partai Demokrat, Fraksi PKS, dan Fraksi PAN.
Lalu Paket C dengan ambang batas presiden 10/15 persen, ambang batas parlemen 4 persen, sistem pemilu terbuka, besaran kursi 3-10, konversi suara kuota hare.
Untuk Paket D dengan ambang batas presiden 10/15persen, ambang batas parlemen 5 persen, sistem pemilu terbuka, besaran kursi 3-8, konversi suara saint lague murni, didukung Fraksi PKB.
Paket E, ambang batas presiden 20/25 persen, ambang batas parlemen 3,5 persen, sistem pemilu terbuka, besaran kursi 3-10, konversi suara kuota hare.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2017