Manado, (Antara) - Asosiasi Petani Cengkih Indonesia (APCI) Sulawesi Utara (Sulut) memperkirakan harga komoditas cengkih akan menguat atau naik pada tahun 2018.

"Setelah turun pada akhir tahun ini, awal tahun depan pergerakan harga cengkih diprediksi akan menguat kembali," kata Wakil Ketua Asosiasi Petani Cengkih Indonesia (APCI) Sulut Paulus Sembel di Manado, Selasa.

Dia mengatakan basanya akan rebound pada triwulan pertama setiap awal tahun 2018.

Paulus mengatakan penurunan harga pada bulan Desember 2017 merupakan siklus tahunan yang sering terjadi.

"Ini sudah biasa, memang saat Desember banyak orang yang jual cengkih jadi harganya turun," ujarnya.

Harga pembelian cengkih di tingkat petani di Sulut terkoreksi Rp1.000 per kilogram (kg) menjadi Rp104.000 per kg.

Kepala Bidang Perdagangan Dalam Negeri Disperindag Provinsi Sulut Hanny Wajong mengatakan, pergerakan harga komoditas pertanian tersebut dipandang wajar. Pasalnya banyak petani yang menjual pada moment Natal.

"Fluktuasi harga cengkih masih wajar. Hanya turun sedikit dari Rp105.000 per kg menjadi Rp104.000 per kg, karena jumlah supply lebih banyak dari demand," jelas Wajong.

Menurut dia, penurunan harga tersebut tidak perlu dikuatirkan petani. Sebab dia memprediksi hal itu hanya terjadi ketika banyak masyarakat ramai-ramai menjual cengkih untuk memenuhi kebutuhan Natal.

"Memang begitu jika banyak yang menjual otomatis harga akan turun," ujarnya.

Karena itu, kata dia, kedepannya petani perlu menjaga kualitas hasil panen, agar pasaran cengkih tetap bertaha di posisi yang menguntungkan petani.

"Kalau kualitasnya baik maka harga tawar dari pembeli juga akan naik. Ini mesti dipertahankan petani," tuturnya.

Berbeda dengan cengkih, harga komoditas pertanian lainnya di Sulut tidak mengalami perubahan. Diantaranya kopra tetap dipasarkan Rp10400 per kg. Vanili Rp3.000.000 per kg, pala biji Rp70.000 per kg, serta pala fuli Rp115.000 per kg.

Kepala Bidang Distribusi badan pusat Statistik (BPS) Sulut Marthedy M Tenggehi mengatakan, nilai tukar petani Tanaman Perkebunan Rakyat (NTPR) di November 2017 menunjukan kenaikan 0,30 persen, dari 88,90 di Oktober menjadi 89,17 di November.

"Membaiknya harga kelapa, baik kelapa muda maupun kelapa tua di tingkat petani menjadi penyebab naiknya nilai NTPR," ujarnya.

Sementara Nilai Tukar Usaha Pertanian (NTUP) Tanaman Perkebunan Rakyat juga mengalami kenaikan 0,53 persen, dari 98,83 pada Oktober menjadi 99,36 di  November.

Sedangkan secara keseluruhan Nilai Tukar Petani (NTP) di Sulut pada November 2017 turun 0,03 persen dari nilai 94,27 pada Oktober turun menjadi 94,24 di  November.

Secara umum, menurunnya nilai NTP disebabkan oleh kenaikan harga komoditi yang dihasilkan petani belum  bisa mengimbangi kenaikan harga barang konsumsi rumah tangga.

Nilai NTP selama tahun kalender 2017 mengalami perbaikan 0,32 persen, tetapi secara YoY (tahun ke tahun) masih mengalami penurunan 0,22 persen. 

Pewarta:

Editor : Hence Paat


COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2017