Jakarta, (ANTARA GORONTALO) - Yayasan Kesehatan Perempuan menggugat ketentuan batas umur pernikahan perempuan yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi.

Pemohon yang diwakili Ketua Dewan Pengurus Yayasan Kesehatan Perempuan, Zumrotin, minta MK menyatakan frasa "16 tahun" yang berada dalam norma hukum "pihak wanita sudah mencapai 16 tahun" bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

"Merubah materi muatan Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan sepanjang mengenai frasa '16 tahun' yang berada dalam norma hukum 'pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun" menjadi frasa '18 tahun' sehingga bunyinya menjadi, 'Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 18 tahun," kata Kuasa Hukum Pemohon, Tubagus Haryo Karbyanto, saat membacakan permohonannya di Jakarta, Kamis.

Menurut Karbyanto, pemohon merasa dirugikan atau berpotensi dirugikan hak-hak konstitusionalnya dengan ketentuan yang ada, karena menimbulkan kontradiksi dengan segala pengaturan yang ada dalam rangka melindungi hak-hak anak, khususnya hak-hak anak perempuan dalam konstitusi.

Dia mengatakan perkawinan anak dan dengan kehamilan dini di bawah umur 18 tahun berisiko tinggi karena si ibu masih dalam masa pertumbuhan sehingga terjadi perebutan gizi antara si ibu dengan janin.

Karbyanto mengatakan bahwa banyaknya perkawinan anak berbanding lurus dengan tingginya angka perceraian sehingga justru menjauhkan dari tujuan perkawinan yang dimaksud dalam UU Perkawinan.

Dia juga mengungkapkan bahwa perkawinan anak mengakibatkan putus sekolah sementara si anak harus menghidupi keluarga dan di usia 16 tahun anak belum mampu berperan sebagai orang tua yang harus bertanggung jawab untuk mendidik anak. Secara psikologis anak juga masih ingin bermain bersama teman sebayanya.

Karbyanto juga mengatakan bahwa pembenaran perkawinan anak khususnya pada perempuan secara tegas dan jelas dalam Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan menunjukkan adanya ancaman terhadap pemenuhan dan perlindungan hak-hak asasi anak.

"Pelanggaran atas hak anak tidak hanya didasarkan pada pengabaian hak tumbuh dan kembang anak dalam hal gizi dan sejenisnya namun juga meliputi praktik perkawinan anak," jelasnya.

Sidang panel pengujian UU Perkawaninan ini diketuai Ahmad Fadlil Sumadi didampingi Anwar Usman dan Maria Farida sebagai anggota panel.

Menanggapi permohonan ini, Anwar Usman menganjurkan pemohon untuk menyertakan hasil penelitian yang menyebutkan adanya dampak negatif adanya perkawinan anak.

"Perlu dicantumkan hasil penelitian yang menyebut dampak negatif perkawinan dini, agar bisa menyakinkan hakim," kata Anwar.

Anwar juga minta dijelaskan mengenai kerugian konstitusional pemohon atas ketentuan dalam UU Perkawinan ini.

Sedangkan Maria Farida mengritik permohonan ini yang menyebut bertentangan dengan konstitusi karena UUD 1945 tidak secara pasti menyebut umur perkawinan.

"Seharusnya pemohon dapat memformulasi adanya ketidakpastian hukum frasa 16 tahun dengan UU lainnya. Dengan adanya ketidakpastian hukum ini menyebabkan adanyan pertentangan dengan konstitusi," kata Maria.

Menurut dia, formulasi ini sangat diperlukan karena mahkamah tidak bisa menguji UU dengan UU lainnya. Untuk itu pemohon diberi kesempatan 14 hari untuk memperbaiki permohonannya.

Pewarta:

Editor : Hence Paat


COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2014