Jakarta (Antaranews Gorontalo) - Iskandar Slameth dan Ronald Regang pernah menjadi "tentara" anak saat konflik etnis-politik di Maluku pada 1999, saat itu keduanya berada dalam kubu yang berbeda.
Saat itu Iskandar baru berusia 13 tahun saat menjadi jihadis mini, sementara Ronald Regang baru berusia 10 tahun saat menjadi fighters (pejuang), tetapi keduanya beserta anak-anak yang lain terpaksa berdiri di garis depan dalam konflik berdarah tersebut.
"Waktu itu rasanya saya hanya ingin jihad saja, tetapi setelah lima tahun kami semua merasa lelah dengan konflik tersebut dan menginginkan kedamaian," ujar Iskandar.
Penandatanganan piagam Malino pada 2002 menjadi penanda konflik itu berakhir, namun rasa dendam dan benci antara dua kubu tersebut belum juga padam.
Beragam upaya untuk memulihkan masyarakat dari ketegangan tersebut pun dilakukan. Salah satunya kegiatan Young Ambassador for Peace pada 2006.
"Kami yang selama ini hidup bersekat-sekat dipertemukan dalam acara tersebut, di situ ada 40 orang anak muda, 20 pemuda muslim dan 20 pemuda kristiani. Awalnya di sana kami sempat mau gontok-gontokan. Lalu kami dipersatukan dengan seni," kata Iskandar mengenang belasan tahun yang lalu.
Dari situ keduanya kini pun berkolaborasi dengan kemampuan yang mereka miliki, Ronald sangat suka menari sementara Iskandar suka menulis puisi. Lewat kesenian mereka mencoba menyuarakan kembali teman-tema persatuan dan perdamaian.
Setelah itu, mereka berdua menjadi duta perdamaian di Maluku. Mereka berdua akhirnya menyebarkan pesan damai melalui berbagai kegiatan seni seperti musik, tari dan sastra.
Keduanya kini kerap tampil bersamaan, pada acara Kongres Kebudayaan Indonesia di Kementerian Pendidikan dan Budaya di Jakarta keduanya tampil berkolaborasi, mereka ingin menyuarakan bahwa Maluku sekarang adalah tempat yang damai.
"Kami memperkenalkan kembali Maluku sebagai tempat yang damai, yang penuh dengan budaya. Kami ingin orang-orang di luar menikmati keindahan Maluku," kata Iskandar.
Senada dengan Iskandar, Ronald juga ingin orang-orang untuk tidak melihat Maluku sebagai daerah konflik. Melalui karyanya, dia ingin tak ada lagi konflik seperti yang pernah dirasakan oleh masyarakt Maluku.
"Jangan memuja kerusuhan atas nama agama, suku, ras atau golngan mana pun. Jika kerusuhan terjadi bukan hanya satu orang yang akan menanggung beban, tetapi seluruh generasi akan menerima kehancuran," kata dia.
Asisten Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerja Sama Antariman dan Antarperadaban Pendeta Jacky Manuputty pernah menjadi provokator perdamaian di Maluku, dia mengatakan apa yang dilakukan Ronald dan Iskandar adalah bentuk penggunaan kesenian dan kebudayaan untuk rekonsiliasi pascakonflik.
Sejak lama Maluku memiliki falsafah "pela gandong" yang selama ini merekatkan masyarakat Maluku. Jacky mengatakan "pela" adalah pakta persaudaraan berdasarkan peristiwa tersebut, sedangkan "gandong" adalah saudara dalam kandungan.
Dengan adanya "pela gandong", meski berbeda agama masyarakat keharmonisan masyarakat tetap terjaga. Hal itu dapat dilihat dalam pemembangun rumah ibadah, jika saudara muslim sedang membangun masjid, maka saudara kristiani akan membantu, begitu juga sebaliknya.
Namun pada 1999 budaya luhur "pela gandong" yang dijunjung oleh masyarakat Maluku mengalami keretakan, konflik menyeruak, yang terbesit adalah kebencian kepada saudara mereka yang berbeda keyakinan.
Menurut Jacky ada beberapa hal yang membuat "pela gandong" menjadi rapuh, di antaranya adalah adanya penyeragaman nasional, termask penyeragaman sistem pengelolaan pemerintahan adat.
Kemudian kemajuan peradaban menyebabkan semakin terbukanya Maluku, populasi masyarakatnya bertambah termasuk migran.Kandungan budaya lokal dari pela gandong tidak bisa menampung kemajemukan yang berkembang.
Produk-produk budaya lokal yang melemah tersebut tidak segera direvitalisasi, akhirnya budaya tersebut hanya hidup di dalam lagu, syair dan pantun.
"Dia hanya hidup di tataran mental masyarakat tetapi tidak dikelola dalam relasi sehari-hari. Oleh sebab itu ketika ada konflik, lewat lagu syair dan pantun, masyarakat dapat menyatu," kata dia.
Saat itu sepertinya masyarakat Maluku telah melupakan "pela gandong", namun menurut Jacky sebenarnya banyak masyarakat yang merindukan perdamaian. Oleh sebab itu ada masyarakat yang tetap melakukan pertemuan dengan saudaranya di tempat-tempat "tersembunyi".
"Ternyata pela gandong masih ada, dia tidak hilang. Dia hanya dibawa ke lorong yang gelap. Mereka muslim dan kristiani bertemu di tempat tersembunyi. Para pemuda bertemu di suatu tempat, mereka hanya berbicara dengan bahasa yang mereka pahami saja. Ada juga yang bertemu di tengah laut, mereka juga saling berbagi hasil tangkapan," kata Jacky.
Hal tersebut menunjukkan kerinduan masyarakat untuk saling bersama, budaya menjadi alat untuk menghapus sekat-sekat tersebut.
Pengalaman konflik tersebut mengajarkan bahwa adat istiadat sebagai warisan dari nenek moyang bisa menjadi salah satu jalan ke luar dari konflik dan potensi konflik yang ada.
Sebuah buku "Carita Orang Basudara: Kisah-kisah Perdamaian dari Maluku" (2014) karya Abidin Wakano menyebutkan bahwa, frasa "kita orang basudara “ adalah sebuah frasa kaya makna.
Frasa itu bukan sekedar penunjuk teknis tentang keterhubungan seseorang dengan saudara sedarahnya. Lebih dari itu, ia mengandung makna cinta kasih, solidaritas, perasaan sehidup-semati, kesediaan untuk saling tolong dan lainnya, di antara mereka.
Semangat kebersamaan dan persaudaraan sudah mengakar di dalam masyarakat Maluku. Apalagi, masyarakat mereka pun mengenal istilah pela gandong yang dilihat sebagai salah satu cara atau jalan keluar untuk menyelesaikan konflik.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2018
Saat itu Iskandar baru berusia 13 tahun saat menjadi jihadis mini, sementara Ronald Regang baru berusia 10 tahun saat menjadi fighters (pejuang), tetapi keduanya beserta anak-anak yang lain terpaksa berdiri di garis depan dalam konflik berdarah tersebut.
"Waktu itu rasanya saya hanya ingin jihad saja, tetapi setelah lima tahun kami semua merasa lelah dengan konflik tersebut dan menginginkan kedamaian," ujar Iskandar.
Penandatanganan piagam Malino pada 2002 menjadi penanda konflik itu berakhir, namun rasa dendam dan benci antara dua kubu tersebut belum juga padam.
Beragam upaya untuk memulihkan masyarakat dari ketegangan tersebut pun dilakukan. Salah satunya kegiatan Young Ambassador for Peace pada 2006.
"Kami yang selama ini hidup bersekat-sekat dipertemukan dalam acara tersebut, di situ ada 40 orang anak muda, 20 pemuda muslim dan 20 pemuda kristiani. Awalnya di sana kami sempat mau gontok-gontokan. Lalu kami dipersatukan dengan seni," kata Iskandar mengenang belasan tahun yang lalu.
Dari situ keduanya kini pun berkolaborasi dengan kemampuan yang mereka miliki, Ronald sangat suka menari sementara Iskandar suka menulis puisi. Lewat kesenian mereka mencoba menyuarakan kembali teman-tema persatuan dan perdamaian.
Setelah itu, mereka berdua menjadi duta perdamaian di Maluku. Mereka berdua akhirnya menyebarkan pesan damai melalui berbagai kegiatan seni seperti musik, tari dan sastra.
Keduanya kini kerap tampil bersamaan, pada acara Kongres Kebudayaan Indonesia di Kementerian Pendidikan dan Budaya di Jakarta keduanya tampil berkolaborasi, mereka ingin menyuarakan bahwa Maluku sekarang adalah tempat yang damai.
"Kami memperkenalkan kembali Maluku sebagai tempat yang damai, yang penuh dengan budaya. Kami ingin orang-orang di luar menikmati keindahan Maluku," kata Iskandar.
Senada dengan Iskandar, Ronald juga ingin orang-orang untuk tidak melihat Maluku sebagai daerah konflik. Melalui karyanya, dia ingin tak ada lagi konflik seperti yang pernah dirasakan oleh masyarakt Maluku.
"Jangan memuja kerusuhan atas nama agama, suku, ras atau golngan mana pun. Jika kerusuhan terjadi bukan hanya satu orang yang akan menanggung beban, tetapi seluruh generasi akan menerima kehancuran," kata dia.
Asisten Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerja Sama Antariman dan Antarperadaban Pendeta Jacky Manuputty pernah menjadi provokator perdamaian di Maluku, dia mengatakan apa yang dilakukan Ronald dan Iskandar adalah bentuk penggunaan kesenian dan kebudayaan untuk rekonsiliasi pascakonflik.
Sejak lama Maluku memiliki falsafah "pela gandong" yang selama ini merekatkan masyarakat Maluku. Jacky mengatakan "pela" adalah pakta persaudaraan berdasarkan peristiwa tersebut, sedangkan "gandong" adalah saudara dalam kandungan.
Dengan adanya "pela gandong", meski berbeda agama masyarakat keharmonisan masyarakat tetap terjaga. Hal itu dapat dilihat dalam pemembangun rumah ibadah, jika saudara muslim sedang membangun masjid, maka saudara kristiani akan membantu, begitu juga sebaliknya.
Namun pada 1999 budaya luhur "pela gandong" yang dijunjung oleh masyarakat Maluku mengalami keretakan, konflik menyeruak, yang terbesit adalah kebencian kepada saudara mereka yang berbeda keyakinan.
Menurut Jacky ada beberapa hal yang membuat "pela gandong" menjadi rapuh, di antaranya adalah adanya penyeragaman nasional, termask penyeragaman sistem pengelolaan pemerintahan adat.
Kemudian kemajuan peradaban menyebabkan semakin terbukanya Maluku, populasi masyarakatnya bertambah termasuk migran.Kandungan budaya lokal dari pela gandong tidak bisa menampung kemajemukan yang berkembang.
Produk-produk budaya lokal yang melemah tersebut tidak segera direvitalisasi, akhirnya budaya tersebut hanya hidup di dalam lagu, syair dan pantun.
"Dia hanya hidup di tataran mental masyarakat tetapi tidak dikelola dalam relasi sehari-hari. Oleh sebab itu ketika ada konflik, lewat lagu syair dan pantun, masyarakat dapat menyatu," kata dia.
Saat itu sepertinya masyarakat Maluku telah melupakan "pela gandong", namun menurut Jacky sebenarnya banyak masyarakat yang merindukan perdamaian. Oleh sebab itu ada masyarakat yang tetap melakukan pertemuan dengan saudaranya di tempat-tempat "tersembunyi".
"Ternyata pela gandong masih ada, dia tidak hilang. Dia hanya dibawa ke lorong yang gelap. Mereka muslim dan kristiani bertemu di tempat tersembunyi. Para pemuda bertemu di suatu tempat, mereka hanya berbicara dengan bahasa yang mereka pahami saja. Ada juga yang bertemu di tengah laut, mereka juga saling berbagi hasil tangkapan," kata Jacky.
Hal tersebut menunjukkan kerinduan masyarakat untuk saling bersama, budaya menjadi alat untuk menghapus sekat-sekat tersebut.
Pengalaman konflik tersebut mengajarkan bahwa adat istiadat sebagai warisan dari nenek moyang bisa menjadi salah satu jalan ke luar dari konflik dan potensi konflik yang ada.
Sebuah buku "Carita Orang Basudara: Kisah-kisah Perdamaian dari Maluku" (2014) karya Abidin Wakano menyebutkan bahwa, frasa "kita orang basudara “ adalah sebuah frasa kaya makna.
Frasa itu bukan sekedar penunjuk teknis tentang keterhubungan seseorang dengan saudara sedarahnya. Lebih dari itu, ia mengandung makna cinta kasih, solidaritas, perasaan sehidup-semati, kesediaan untuk saling tolong dan lainnya, di antara mereka.
Semangat kebersamaan dan persaudaraan sudah mengakar di dalam masyarakat Maluku. Apalagi, masyarakat mereka pun mengenal istilah pela gandong yang dilihat sebagai salah satu cara atau jalan keluar untuk menyelesaikan konflik.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2018