Jakarta, (ANTARA GORONTALO) - Pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Ari Dwipayana menilai pemecatan terhadap Nusron Wahid, Agus Gumiwang, dan Poempida Hidayatullah membuktikan demokratisasi di internal Partai Golkar belum berjalan.
"Terlebih, DPP Partai Golkar kemudian berupaya membatalkan pelantikan Nusron dan Agus sebagai caleg terpilih," kata Ari, dalam pendapat tertulisnya, di Jakarta.
Di Golkar, sikap kader yang beroposisi terhadap elite pengendali partai, direspons dengan ancaman pergantian antarwaktu atau bahkan dengan pemecatan, katanya
Menurut Ari, sikap Golkar ini terkait dengan faksionalisasi di internal Partai Golkar sebelum Pilpres. Faksionalisasi di Partai Golkar sering terjadi tapi seringkali tidak berakhir dengan jalan pragmatis.
Pola strategi pragmatisme politik dalam menyelesaikan konflik antarfaksi justru membuat Golkar tetap kuat dalam lima belas tahun terakhir.
Gaya ARB (Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie) yang cenderung menggunakan model "stick", katanya,l bisa jadi merupakan pertaruhan akhir politik faksinya di internal.
"Apalagi posisi politiknya semakin melemah sejalan dengan melemahnya kapasitas politik Koalisi Merah Putih," ujarnya.
Lalu bagaimana seharusnya KPU merespons permintaan Golkar agar tidak melantik Nusron dan Agus Gumiwang? Menurut Ari, secara normatif sikap KPU harus menunggu putusan atas gugatan Nusron.
"Artinya, KPU harus berjalan imparsial sesuai dengan koridor aturan main yang berlaku," tuturnya.
Secara politik, lanjut Ari, PAW mungkin senjata yang dimiliki oleh pengendali partai itu, namun Nusron bisa mempersoalkan itu baik secara hukum maupun politik.
"Basis dukungan politik dalam bentuk vote yang diperoleh dalam pemilu 2014 adalah modal politik yang dimiliki Nusron," ujarnya.
Ia berpendapat konfigurasi di internal Golkar akan mulai bergeser setelah keputusan MK yang menguatkan keputusan KPU atau menolak secara keseluruhan gugatan Koalisi Merah Putih.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2014
"Terlebih, DPP Partai Golkar kemudian berupaya membatalkan pelantikan Nusron dan Agus sebagai caleg terpilih," kata Ari, dalam pendapat tertulisnya, di Jakarta.
Di Golkar, sikap kader yang beroposisi terhadap elite pengendali partai, direspons dengan ancaman pergantian antarwaktu atau bahkan dengan pemecatan, katanya
Menurut Ari, sikap Golkar ini terkait dengan faksionalisasi di internal Partai Golkar sebelum Pilpres. Faksionalisasi di Partai Golkar sering terjadi tapi seringkali tidak berakhir dengan jalan pragmatis.
Pola strategi pragmatisme politik dalam menyelesaikan konflik antarfaksi justru membuat Golkar tetap kuat dalam lima belas tahun terakhir.
Gaya ARB (Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie) yang cenderung menggunakan model "stick", katanya,l bisa jadi merupakan pertaruhan akhir politik faksinya di internal.
"Apalagi posisi politiknya semakin melemah sejalan dengan melemahnya kapasitas politik Koalisi Merah Putih," ujarnya.
Lalu bagaimana seharusnya KPU merespons permintaan Golkar agar tidak melantik Nusron dan Agus Gumiwang? Menurut Ari, secara normatif sikap KPU harus menunggu putusan atas gugatan Nusron.
"Artinya, KPU harus berjalan imparsial sesuai dengan koridor aturan main yang berlaku," tuturnya.
Secara politik, lanjut Ari, PAW mungkin senjata yang dimiliki oleh pengendali partai itu, namun Nusron bisa mempersoalkan itu baik secara hukum maupun politik.
"Basis dukungan politik dalam bentuk vote yang diperoleh dalam pemilu 2014 adalah modal politik yang dimiliki Nusron," ujarnya.
Ia berpendapat konfigurasi di internal Golkar akan mulai bergeser setelah keputusan MK yang menguatkan keputusan KPU atau menolak secara keseluruhan gugatan Koalisi Merah Putih.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2014