Ketua Pelaksana Harian Jejaring Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (AMPL) Laisa Wahanudin menuturkan sebanyak 39 persen siswi yang mengalami menstruasi mengalami perundungan sehingga menjalani proses belajar mengajar tidak optimal di sekolah.
"Banyak adek (anak perempuan) kita yang bolos sekolah karena di sekolahnya tidak terdapat fasilitas yang cukup terutama saat dapat 'tamu bulanan' (menstruasi) karena sekolah tidak ada jamban dan sarana air bersih yang mencukupi," ujar Ketua Pelaksana Harian Jejaring AMPL Laisa Wahanudin dalam Festival Anak Muda: Aksi Remaja Untuk Peduli Menstruasi untuk memperingati Hari Kebersihan Menstruasi Sedunia, Jakarta, Selasa.
Laisa menjelaskan karena kurangnya pengetahuan, ketika darah menstruasi seorang siswi "tembus" pada rok, anak-anak perempuan seringkali mengalami perudungan (bullying). Hal ini mengakibatkan masalah psikis, misalnya siswi jadi malu dan tidak mau ke sekolah sehingga melepas kesempatannya belajar secara penuh dan bermain di sekolah.
Fakta itu berdasarkan hasil studi Manajemen Kebersihan Menstruasi (MKM) yang dilakukan Yayasan Plan Internasional Indonesia pada 2018 di sembilan sekolah dasar dan sekolah menengah pertama di Provinsi DKI Jakarta, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat
Laisa menuturkan hal mengenai menstruasi masih dianggap sesuatu yang tabu untuk diinformasikan secara luas oleh sebagian besar masyarakat. Padahal anak-anak terutama anak perempuan seharusnya mendapatkan rujukan dan informasi yang benar dan memadai dari orang di sekitar terutama orang tua untuk siap secara fisik dan psikis dalam menghadapi menstruasi sehingga tidak merasa bingung dan takut ketika mengalami menstruasi pertama kali.
Dia menuturkan anak-anak yang bersekolah di sekolah agama, sedikitnya mendapatkan pelajaran tentang menstruasi walaupun hanya sedikit dan belum komprehensif, tapi sekolah pendidikan umum banyak sekali tidak menyediakan kualitas informasi yang lengkap.
Terkait studi itu, Silvia Devina dari WASH dan Early Childhood Development Advisor, Plan International Indonesia, mengatakan, 88 persen siswi mengalami keluhan fisik seperti sakit perut, pusing, sakit pinggang, lemas saat mengalami menstruasi.
Dengan keluhan fisik itu, 37 persen anak perempuan menjadi tidak konsentrasi belajar, 12 persen tidak ikut pelajaran olah raga, tujuh persen istirahat di unit kesehatan sekolah atau tempat lain, 11 persen pulang lebih awal, lima persen tidak masuk sekolah.
Silvia menuturkan 56 persen siswi mengalami keluhan psikis seperti emosional, sensitif, malas, dan terganggunya nafsu makan. Mereka juga mengalami kondisi di mana ditertawakan, dibicarakan, disebut genit, dikatakan tembus menstruasinya, dan orang sekitar mereka menunjukkan sikap jijik.
Siswi yang menstruasi juga mengurangi aktivitas mereka misalnya, pekerjaan di dalam dan di luar rumah, menghindar dari teman laki-laki, aktivitas keagamaan, pertanian atau perkebunan.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2019
"Banyak adek (anak perempuan) kita yang bolos sekolah karena di sekolahnya tidak terdapat fasilitas yang cukup terutama saat dapat 'tamu bulanan' (menstruasi) karena sekolah tidak ada jamban dan sarana air bersih yang mencukupi," ujar Ketua Pelaksana Harian Jejaring AMPL Laisa Wahanudin dalam Festival Anak Muda: Aksi Remaja Untuk Peduli Menstruasi untuk memperingati Hari Kebersihan Menstruasi Sedunia, Jakarta, Selasa.
Laisa menjelaskan karena kurangnya pengetahuan, ketika darah menstruasi seorang siswi "tembus" pada rok, anak-anak perempuan seringkali mengalami perudungan (bullying). Hal ini mengakibatkan masalah psikis, misalnya siswi jadi malu dan tidak mau ke sekolah sehingga melepas kesempatannya belajar secara penuh dan bermain di sekolah.
Fakta itu berdasarkan hasil studi Manajemen Kebersihan Menstruasi (MKM) yang dilakukan Yayasan Plan Internasional Indonesia pada 2018 di sembilan sekolah dasar dan sekolah menengah pertama di Provinsi DKI Jakarta, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat
Laisa menuturkan hal mengenai menstruasi masih dianggap sesuatu yang tabu untuk diinformasikan secara luas oleh sebagian besar masyarakat. Padahal anak-anak terutama anak perempuan seharusnya mendapatkan rujukan dan informasi yang benar dan memadai dari orang di sekitar terutama orang tua untuk siap secara fisik dan psikis dalam menghadapi menstruasi sehingga tidak merasa bingung dan takut ketika mengalami menstruasi pertama kali.
Dia menuturkan anak-anak yang bersekolah di sekolah agama, sedikitnya mendapatkan pelajaran tentang menstruasi walaupun hanya sedikit dan belum komprehensif, tapi sekolah pendidikan umum banyak sekali tidak menyediakan kualitas informasi yang lengkap.
Terkait studi itu, Silvia Devina dari WASH dan Early Childhood Development Advisor, Plan International Indonesia, mengatakan, 88 persen siswi mengalami keluhan fisik seperti sakit perut, pusing, sakit pinggang, lemas saat mengalami menstruasi.
Dengan keluhan fisik itu, 37 persen anak perempuan menjadi tidak konsentrasi belajar, 12 persen tidak ikut pelajaran olah raga, tujuh persen istirahat di unit kesehatan sekolah atau tempat lain, 11 persen pulang lebih awal, lima persen tidak masuk sekolah.
Silvia menuturkan 56 persen siswi mengalami keluhan psikis seperti emosional, sensitif, malas, dan terganggunya nafsu makan. Mereka juga mengalami kondisi di mana ditertawakan, dibicarakan, disebut genit, dikatakan tembus menstruasinya, dan orang sekitar mereka menunjukkan sikap jijik.
Siswi yang menstruasi juga mengurangi aktivitas mereka misalnya, pekerjaan di dalam dan di luar rumah, menghindar dari teman laki-laki, aktivitas keagamaan, pertanian atau perkebunan.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2019