Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto optimistis kasus Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin yang sudah bergulir sejak lama bisa tuntas tahun ini dengan berbagai upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah daerah.

"Saya yakin Yasmin selesai, mudah-mudahan Natal tahun ini ada kabar baik untuk kita semua," kata Bima dalam seminar bertajuk "Mendorong dan Memperkuat Kebijakan Toleransi dan Anti Diskriminatif di Indonesia" yang diselenggarakan SETARA Institute, di Jakarta Pusat, Selasa.

Bima mengatakan, kasus GKI Yasmin sebagai isu lama yang belum selesai, tidak lagi menjadi isu lokal tapi juga sudah menjadi isu nasional.

Bahkan GKI Yasmin juga menjadi salah satu indikator yang menyebabkan Kota Bogor dinilai sebagai kota intoleran berdasarkan hasil riset SETARA Institute.

"Saya akui (GKI Yasmin) ini kerikil dalam sepatu yang buat saya tidak enak berjalan kalau belum selesai," katanya.

Bima menyebutkan dalam penyelesaian kasus GKI Yasmin semua pihak sepakat untuk mencari solusi tidak lagi membahas persoalan masa lalu.

Pemerintah Kota Bogor telah membentuk tim tujuh yang menjembatani komunikasi antara semua pihak. Di dalam tim tersebut juga terdapat Sinode dan majelis jamaat.

"Tim tujuh ini intens melakukan komunikasi fokus pada penyelesaian," katanya.

Hasil riset SETARA Institute tahun 2015 mencatat Kota Bogor sebagai kota intoleran karena adanya peristiwa yang terus berulang, yakni kasus GKI Yasmin.

Bima menyebutkan hasil riset yang disampaikan oleh SETARA Institute ini tidak hanya menukup, tapi juga menusuk dan menghujat Pemerintah Daerah Kota Bogor.

"Tapi ini membuat kami berbenah," katanya.

SETARA Institute menggelar diskusi bertajuk "Mendorong dan Memperkuat Kebijakan Toleransi dan Anti Diskriminatif di Indonesia" merupakan kelanjutan dari hasil penelitian tentang dampak produk hukum daerah yang diskriminatif terhadap akses pelayanan publik di Yogyakarta dan Jawa Barat

Penelitian ini mengkaji 24 produk hukum daerah diskriminatif di Yogyakarta dan 91 produk hukum daerah di Jawa Barat.

Ketua Badan Pengurus SETARA Institute, Hendardi mengatakan, hasil riset ini bertujuan untuk memperkuat kebijakan peraturan daerah anti diskirminastif di Indonesia.

"Seminar tidak akan membicarakan spesifik kondisi Jabar dan Yogjakarta, tapi ingin memotret bagaimana pemerintahan Jokowi nanti bisa merancang produk hukum yang holistik, bukan hanya berdampak pada layanan publik tapi jadi instrumen toleransi," kata Herdardi.

Pewarta: Laily Rahmawaty

Editor : Hence Paat


COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2019