Jakarta (ANTARA GORONTALO) - Perang saudara di Suriah sudah tak bisa dilihat
lagi sebagai konflik domestik semata karena telah menjadi ajang banyak
negara untuk saling membendung dan menanamkan pengaruh.
Awalnya
yang terjadi di Suriah adalah gerakan prodemokrasi yang disemai dari
protes sosial yang menular dari revolusi Tunisia yang mengawali apa yang
kemudian disebut Arab Spring.
Tetapi, setelah lima tahun
perang, yang terjadi di Suriah sekarang tak lagi soal demokratisasi
melawan kediktatoran. Bukan pula semata perang saudara antara
kelompok-kelompok berbeda kepentingan.
Sebaliknya, mengutip Huffington Post, Suriah telah menjadi teater perang terselubung (proxy war) antara Amerika Serikat, Rusia, Iran, Arab Saudi, Qatar, Turki, Uni Eropa, dan bahkan Hizbullah di Lebanon.
Dan
prolog perang terselubung itu setidaknya berawal pada dua hal, yakni
membendung pengaruh Iran dan persaingan membuat jalur distribusi gas ke
Eropa yang dahaga mencari alternatif gas lebih murah dan nyaman
ketimbang gas Rusia.
Jalur pipa gas
Simpul
pertama ditarik dari salah satu pilar kebijakan luar negeri AS dan Uni
Eropa di Timur Tengah, yakni mengasingkan Iran. Kejatuhan Bashar
al-Assad yang berasal dari minoritas Syiah Alawiyah dan menjadi sekutu
utama Iran di Timur Tengah akan menjadi pukulan hebat bagi kampanye Iran
dalam menentang Barat, AS dan Israel.
Sebaliknya, aliansi
strategis Iran-Suriah akan membuat Iran bisa membentuk "Poros Syiah"
(Iran-Irak-Suriah-Hizbullah di Lebanon) yang mengancam kekuatan Sunni
Arab seperti Saudi dan juga Israel.
Poros ini juga membuat Iran
mendapat jalan keluar dari sanksi ekonomi Barat, menjadi alat untuk
melancarkan perang terselubung di Suriah demi menaikkan posisi tawar
dalam masalah nuklir dan menangkal ancaman militer Israel.
Simpul
kedua adalah pertarungan membangun jalur pipa gas antara Qatar dan
Iran. Kedua negara mengusahakan ladang gas bercadangan terbesar di
dunia, persis di tengah Teluk Persia, di Parsi Selatan (Iran) dan Kubah
Utara (Qatar).
Iran mengeluh sanksi internasional telah membuatnya tak bisa mengekstrak gas secepat dilakukan Qatar.
Pada
2015, Iran, Irak dan Suriah menyepakati perjanjian pembangunan jalur
pipa gas dari Teluk Persia ke Laut Tengah untuk mencapai Eropa.
Sebelum
itu, Qatar yang harus mengangkut gas ke Eropa dengan memutar lewat
Selat Hormuz, Laut Merah, Terusan Suez, sebelum mencapai Laut Tengah,
berencana membangun jalur pipa gas serupa melalui Arab Saudi, Yordania,
Suriah, Turki dan daratan Eropa.
Namun Assad memilih bersepakat
dengan Iran, selain demi menghormati Rusia yang sudah menjalin
kesepakatan pasokan energi jangka panjang dengan Suriah.
Eropa
yang tergantung kepada gas Rusia, berusaha mencari pemasok gas dengan
harga lebih murah. Aspirasi itu selaras dengan keinginan Qatar.
Eropa
berkeyakinan rezim Sunni di Suriah akan bisa memuluskan rencana jalur
pipa gas Qatar-Saudi-Yordania-Suriah-Turki sehingga Eropa mendapatkan
gas untuk mengurangi ketergantungan kepada Rusia. Skenario rezim Sunni
di Suriah juga akan membuat Eropa semakin bisa mengisolasi Iran.
Namun
Rusia tak membiarkan hal itu terjadi untuk kemudian melakukan
intervensi langsung di Suriah, sebagian besar demi menutup alternatif
gas untuk Eropa karena jika Eropa mendapatkan pilihan gas yang lebih
murah niscaya memukul ekonomi Rusia.
Lebih dari itu, intervensi
militer di Suriah adalah juga unjuk kekuatan Rusia dalam menggertak
negara-negara bekas satelit Uni Soviet yang kini ramai-ramai meminta
perlindungan NATO, termasuk Ukraina yang kehilangan Semenanjung Krimea.
Saudi, Iran, Hizbullah
Pada
matra lain, petualangan Iran di Suriah membuat Saudi merasa dikepung.
Iran sudah mencatat sukses menyanggga rezim-rezim Syiah di Irak dan
Yaman yang keduanya berbatasan langsung dengan Saudi yang sekitar 15
persen penduduknya Syiah dan aktif menuntut persamaan hak yang memicu
pergolakan di sana.
Poros Syiah Iran-Irak-Suriah, ditambah
Hizbullah di Lebanon dan Yaman, jelas mengepung Saudi dari berbagai
sudut. Saudi hanya bebas dari ancaman aliansi Syiah di sebelah barat di
perbatasan Yordania dan Laut Merah.
Konflik Suriah dan Irak pun
semakin terbakar isu Syiah kontra Sunni, padahal alasan ideologis lebih
sering merupakan selubung untuk perebutan pengaruh antarpenguasa kawasan
yang saling bersaing.
Saudi tak memiliki agresivitas seperti
Iran yang aktif mengirimkan kontingen-kontingen tempurnya ke medan
perang Irak, Suriah dan Yaman, namun Saudi memiliki instrumen sama
mengerikannya dengan senjata, yakni minyak.
Saudi dan juga AS
adalah aktor utama di balik turunnya harga minyak. Harga minyak yang
rendah akan membatasi energi perang Iran yang baru saja terbebas dari
sanksi internasional. Sebaliknya, harga minyak tinggi akan membuat Iran
dan Rusia semakin agresif membiayai petualangan-petualangan politik dan
militernya di luar negeri.
Bagi Iran sendiri, Suriah adalah jalur
kunci menuju Eropa lewat Laut Tengah. Iran ingin membangun jalur
distribusi minyak dan gas ke Eropa dengan membangun jalur pipa energi
melalui Suriah, setelah Irak kini diperintah rezim mayoritas Syiah
pro-Iran.
Iran juga ingin menancapkan pengaruh kuatnya di Suriah
yang berbatasan langsung dengan Lebanon di mana Hizbullah menjadi salah
satu aktor terkuat di kawasan ini dan menjadi sekutu utama Iran dalam
menghadapi Israel.
Iran berkepentingan menyangga Assad karena jika Assad tumbang, maka tamatlah petualangan Iran di Timur Tengah.
Aspirasi Iran itu dalam selaras dengan Rusia yang telah menjadi sekutu tradisional Suriah sejak era Uni Soviet.
Rusia
berkepentingan menghambat jalur pipa gas Qatar-Arab
Saudi-Suriah-Turki-Eropa yang sudah pasti mengancam dominasi gasnya di
Eropa. Membiarkan Eropa mendapatkan alternatif gas yang lebih murah
adalah mimpi buruk bagi Rusia.
Lain halnya dengan Hizbullah di
Lebanon. Kombinasi kaitan emosional sesama Syiah dan pertimbangan
geopolitik serta kawasan membuat Hizbullah menganggap aspirasi
mempertahankan rezim Assad sebagai kepentingan strategis utamanya.
Kemenangan atau kejatuhan Assad akan berarti kemenangan atau kejatuhan
bagi Hizbullah.
Turki dan Israel
Peran Turki dalam
konflik Suriah lain lagi. Koran Inggris The Guardian edisi 2 September
2016 menyebut ofensif Turki ke Suriah belakangan ini semakin menguatkan
pandangan bahwa semua pihak yang berkepentingan di Suriah hanya
berperang demi kepentingannya sendiri, bukan demi rakyat Suriah.
Faktanya, Turki memang lebih mengkhawatirkan Kurdi, ketimbang siapa pun di Suriah, termasuk ISIS dan rezim Assad.
Menurut
Institute for Islamic Strategic Affairs, sejak awal konflik Suriah,
kebijakan luar negeri Turki di Suriah berpilar kepada tiga hal, yakni
(1) melindungi perbatasan dan kedaulatan Turki, (2) mengendalikan
situasi keamanan internal sehingga tak mengancam Turki, dan (3)
menggulingkan Assad dengan mendukung rezim yang menguntungkan Turki di
Suriah.
Dikritik Barat karena tak cukup berbuat dalam menangkal
ISIS, Turki memandang sepanjang ISIS tak menyerang langsung mereka, tak
ada alasan bagi Turki untuk menambah musuh selain rezim Assad yang juga
berusaha digulingkan Uni Emirat Arab, Saudi, Qatar dan kebanyakan negara
Arab Sunni.
Situasi berubah manakala ISIS membuka konfrontasi
langsung dengan Turki lewat serangan bom bunuh diri di tanah Turki.
Turki juga menjadi terlecut setelah AS aktif memperkuat kelompok Kurdi
Suriah yang sangat instrumental dalam memukul ISIS di Suriah. Turki
menjadi kian khawatir karena rangkaian sukses Kurdi di Suriah dan juga
Irak, akan memperkuat aspirasi separatisme warga Kurdi di Turki.
Kemudian,
setelah AS dan Barat menjadi lebih terobsesi menghancurkan ISIS, bukan
lagi fokus menggulingkan Assad yang disebut Turki sebagai sumber masalah
Suriah, Turki kini menempuh jalan lebih pragmatis "berbaikkan" dengan
Assad dan Rusia yang sama-sama melihat Kurdi ancaman utama mereka karena
selain Front Nusra yang disebut Barat teroris namun diam-diam mendapat
simpati Arab Sunni dan Turki, pejuang Kurdi adalah lawan paling tangguh
baik bagi ISIS maupun rezim Assad.
Yang juga menarik dicermati
adalah sikap Israel. Poros Iran-Irak-Suriah yang dilanjutkan ke Lebanon
melalui Hizbullah, adalah ancaman nyata bagi negara Yahudi ini. Jika
poros Syiah itu menguat, Israel semakin terbuka dari ancaman militer
karena Iran akan semakin leluasa memasok dukungan kepada Hizbullah yang
saat ini menjadi satelit Iran yang paling efektif dalam menggertak
Israel.
Kini pendulum perang bergerak ke pihak Assad, berkat
dukungan serangan udara Rusia dan partisipasi aktif militer Iran dan
Hizbullah. Inisiatif gencatan senjata AS dan Rusia pun malah membuat
Assad menjadi percaya diri dengan bersumpah merebut kembali setiap
jengkal wilayah yang jatuh ke pihak lawan.
Bahkan pada 19
September lalu Suriah berani menembakkan rudalnya ke arah pesawat tempur
Israel di perbatasan negara itu di Dataran Tinggi Golan.
Koran
Israel, Jerusalem Post, edisi 20 September 2016, menyebut insiden itu
sebagai bukti naiknya kepercayaan diri pasukan Assad yang bukan mustahil
menyeret Israel dalam konflik Suriah. Lagi pula selama ini Israel,
seperti diyakini para pakar strategis internasional, diam-diam mendukung
kelompok perlawanan Sunni di Suriah. Israel pula, bersama Barat dan AS
serta Arab Saudi, yang disebut-sebut berada di balik kampanye perubahan
rezim Suriah, setelah Assad cenderung lebih suka bersekutu dengan Iran.
Intinya,
perang saudara Suriah tak bisa disederhanakan sebagai konflik domestik,
apalagi disebut sebagai konflik Syiah kontra Sunni. Yang jelas, rakyat
Suriah telah menjadi korban terbesar konflik ini. Sudah sekitar 400.000
nyawa melayang akibat perang saudara Suriah dan jutaan terusir dari
tanah airnya.
Dunia harus menyelamatkan rakyat Suriah. Dan untuk
itu mesti ada terobosan baru nan radikal dari negara-negara yang bebas
kepentingan dari konflik Suriah untuk intensif mendorong masalah Suriah
diselesaikan lewat mekanisme PBB.
Mungkin itu posisi yang bisa dimainkan Indonesia yang bagaimana pun tetap menjadi aktor penting di dunia Islam.
Geopolitik dan perang dunia terselubung di Suriah
Rabu, 21 September 2016 9:11 WIB