Jakarta (ANTARA GORONTALO) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghormati
putusan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang menunda
kelanjutan sidang kasus korupsi pengadaan pekerjaan KTP elektronik
(KTP-e) karena saksi Miryam S Haryani sakit.
"Kami hormati apa pun putusan yang dilakukan oleh para pihak," kata
Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan di gedung KPK, Jakarta, Senin.
Terkait pernyataan Miryam yang menyatakan terjadi penekanan yang
dilakukan penyidik saat pemeriksaan, Basaria menyatakan bahwa sepanjang
KPK berdiri belum pernah dilakukan penekanan-penekanan apalagi terhadap
saksi.
"Kami ingin mengatakan sepanjang KPK itu didirikan karena semua itu
terekam di dalam pelaksanaan penyidikan tersebut, semua kita bisa
lihat, belum pernah penekanan-penekanan dilakukan apalagi terhadap
saksi," tuturnya.
Ia pun menegaskan bahwa KPK ingin menyatakan kepada seluruh
masyarakat tidak ada suatu pemaksaan apa pun di dalam pemberian
kesaksian di setiap penanganan kasus yang dilakukan oleh KPK.
Namun, Basaria tidak mau menjelaskan lebih lanjut apakah saksi
Miryam itu memang mendapat tekanan dari penyidik saat dilakukan
pemeriksaan.
"Harusnya kalau hal itu saya tidak bisa jawab, harusnya ditanya
kepada yang bersangkutan apakah dia mendapat tekanan atau apakah memang
pada saat memberikan kesaksian yang bersangkutan dia bohong kami tidak
tahu," ucap Basaria.
Namun, pada intinya, kata dia, penyidik KPK tidak pernah melakukan
penekanan-penekanan terhadap saksi di dalam penanganan kasus.
"Semua pemeriksaan itu ada rekamannya. Kami miliki dan kami simpan
sampai dengan saat ini. Kalau memang dibutuhkan kami akan munculkan,"
kata Basaria.
Majelis hakim pengadilan Tindak Pidana Korupsi menunda kelanjutan
sidang kasus tindak pidana korupsi pengadaan pekerjaan KTP elektronik
(KTP-E) karena anggota Komisi II DPR RI 2009-2014 dari Fraksi Partai
Hanura Miryam S Haryani yang seharusnya menjadi saksi tidak dapat hadir
karena sakit.
"Kami terima surat dari RS Fatmawati yang menerangkan Miryam perlu
istirahat karena sakit selama dua hari, dengan menerima surat ini
berarti saya kira mudah kita pahami bahwa konteks kita untuk
menghadirkan keterangan verbal lisan jadi kehilangan. Majelis
berpendapat persidangan kita tangguhkan untuk dilanjutkan pada sidang
berikutnya hari Kamis (30/3)," kata ketua majelis hakim Tipikor Jhon
Halasan Butarbutar di pengadilan Tipikor Jakarta, Senin.
Padahal, jaksa penuntut umum KPK sudah menghadirkan tiga orang
saksi dari penyidik KPK yaitu Novel Baswedan, Ambarita Damanik dan M
Irwan Santoso.
Ketiganya dihadirkan karena dalam sidang pada 22 Maret 2017 lalu,
Miryam mengaku ditekan oleh penyidik KPK saat diperiksa di tahap
penyidikan.
Dalam persidangan pada Kamis (23/3) diketahui, Miryam S Haryani
mengaku diancam saat diperiksa penyidik terkait proyek kasus KTP
Elektronik (KTP-E) itu.
"Waktu diperiksa penyidik, saya dipaksa, saya diancam," kata Miryam saat memberikan keterangan.
"Diancam seperti apa?," tanya Ketua Majelis Hakim John Halasan.
"BAP isinya tidak benar semua karena saya diancam sama penyidik
tiga orang, diancam pakai kata-kata. Jadi waktu itu dipanggil tiga orang
penyidik," jawab Miryam sambil menangis.
"Siapa saja?," tanya Hakim John.
"Satu namanya Pak Novel, Pak Damanik, satunya saya lupa," jawab Miryam.
"Ditekannya seperti apa?," tanya Hakim John.
"Baru duduk sudah ngomong ibu tahun 2010 mestinya saya sudah
tangkap, kata Pak Novel begitu. Saya takut. Saya ditekan, tertekan
sekali waktu saya diperiksa ," jawab Miryam.
"Bagaimana dengan keterangan saudara di sini?," tanya Hakim John.
"Sekarang tidak benar karena waktu itu situasi dalam tertekan, saya
diancam. Saya mau cabut BAP karena tidak benar, kenyataannya saya
diancam, saya ditekan," jawab Miryam.
Dalam dakwaan disebut bahwa Miryam S Haryani menerima uang 23
ribu dolar AS terkait proyek sebesar Rp5,9 triliun tersebut.
Terdakwa dalam kasus ini adalah Direktur Jenderal Kependudukan dan
Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Irman
dan Pejabat Pembuat Komitmen pada Dukcapil Kemendagri Sugiharto.
Atas perbuatannya, Irman dan Sugiharto didakwa berdasarkan pasal 2
ayat (1) atas pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah
dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55
ayat (1) ke-1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan
perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau
korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling
banyak Rp1 miliar.
Puluhan pihak disebut menikmati aliran dana pengadan KTP Elektronik
(KTP) tahun anggaran 2011-2012 dari total anggaran sebesar Rp5,95
triliun.
KPK hormati penundaan sidang KTP-E karena saksi sakit
Senin, 27 Maret 2017 17:34 WIB