Semarang (ANTARA GORONTALO) - Gerakan Pemuda (GP) Ansor menyatakan
dukungannya terhadap pemerintah, khususnya Kementerian ESDM dalam proses
negosiasi dengan PT Freeport Indonesia yang sampai sekarang belum
mencapai titik temu.
"Dukungan Ansor kepada pemerintah, dalam hal ini Menteri ESDM tidak
akan surut," kata Ketua Umum PP GP Ansor Yaqut Cholil Qoumas,
berdasarkan siaran pers yang diterima Antara di Semarang, Senin.
Pernyataan itu diungkapkannya usai koordinasi Hari Lahir (Harlah)
Ke-83 Ansor di Semarang, seraya mengapresiasi siap pemerintah yang masih
tegas dalam proses negosiasi tersebut.
Menurut dia, sikap pemerintah yang menginginkan perubahan status
kontrak karya (KK) Freeport menjadi izin usaha pertambangan khusus
(IUPK) merupakan bentuk penguasaan negara terhadap sumber daya alam
(SDA).
"Sikap pemerintah yang masih tegas dalam negosiasi, yakni perubahan
kontrak karya menjadi IUPK, serta divestasi saham Freeport sebesar 51
persen, itu seperti yang kami harapkan sejak awal," katanya.
Tujuannya, kata dia, agar pengelolaan SDA lebih berkeadilan dan
menguntungkan Indonesia, sebab selama ini keuntungan yang diberikan
Freeport Indonesia kepada negara masih jauh dari harapan.
"Terutama, terkait kesejahteraan rakyat, sistem pengelolaan, dan
penerimaan negara. Langkah perubahan kontrak karya menjadi IUPK itu agar
pengelolaan lebih berkeadilan dan menguntungkan Indonesia," katanya.
Sebab, kata Yaqut yang juga anggota Komisi VI Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) RI tersebut, peran pemerintah dalam IUPK lebih besar
daripada kontrak karya yang kedua belah pihak setara.
Menilik ke belakang, ia juga mengapresiasi upaya pemerintah dalam
memberantas kecurangan atau mafia dalam bisnis minyak dan gas bumi
(migas).
Ia mengatakan sampai akhir 2016 masih menggunakan sistem PSC (Production Sharing Contract) dengan cost recovery dalam
bisnis migas, namun skema "cost recovery" itu tidak efisien,
menimbulkan kecurangan, penggelembungan biaya, hingga biaya siluman, dan
korupsi.
"Ada potensi kecurangan dalam sistem PSC Cost Recovery itu, seperti data yang dimanipulasi dan biaya cost recovery yang harus dibayarkan negara kepada KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama) lebih besar dari yang diterima negara," katanya.
Kementerian ESDM, kata dia, kemudian mencoba melakukan terobosan dengan mengubah PSC Cost Recovery menjadi Gross Split yang skemanya merupakan hal baru dengan pembagian yang lebih menguntungkan negara.
"Ini merupakan rentetan upaya pemerintah dalam menguasai kekayaan
alam untuk kesejahteraan rakyat, sebagaimana tertuang dalam Pasal 33
Undang-Undang Dasar 1945," tegasnya.
Tentunya, kata Yaqut, hal tersebut berlaku pula dalam proses
negosiasi dengan Freeport yang sudah berpuluh tahun menguasai tambang di
Papua dengan penghasilan besar setiap tahun, namun yang diberikan
kepada negara hanya sekian persen dari keuntungan yang diterima
perusahaan asal Amerika Serikat (AS) itu.
"Begitu juga dengan nilai upah kepada pekerja di Indonesia yang
perbandingannya cukup jauh. Kesenjangan upah yang diterima pekerja di
Freeport tidak manusiawi. Bahkan, menjadi bentuk eksploitasi sumber daya
secara tidak berkeadilan dan tidak berpihak pada penduduk lokal,"
pungkasnya.
GP Ansor dukung pemerintah soal Freeport
Senin, 20 Maret 2017 16:04 WIB