Jakarta (ANTARA GORONTALO) - Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional (Depinas)
Sentra Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI) Ade Komarudin
menilai sistem pemilu termasuk pemilihan kepala daerah dievaluasi.
"Banyak nggak baiknya sistem sekarang dibanding yang dulu, itu tentu
banyak perdebatan dan diskusi panjang. Tapi sebaiknya memang selalu
terus dilakukan evaluasi," kata Ketum Depinas SOKSI Ade Komarudin (Akom)
usai diskusi dalam rangka memperingati Hari Lahir Pancasila dengan tema
"Pancasila Pasca-Reformasi; siapa yang paling bertanggung jawab" di
Mendawai 13, Jakarta, Kamis.
Diskusi yg dilanjutkan buka bersama dan taraweh bersama menghadirkan juga pembicara Fachri Ali.
Lebih lanjut Akom menuturkan sebagai contoh saat ini sistem pilkada
menghasilkan masalah yaitu banyak kepala daerah terjerat kasus karena
biaya politik yang begitu besar.
"Kita semua tahu bahwa ada 285 kasus korupsi, 2,8 persennya
melibatkan gubernur dan 10,2 persen melibatkan wali kota atau bupati
menjadi tersangka dan ini memprihatinkan," katanya.
Akom menilai ini semua karena sistem politik dan kepemiluan di
Indonesia terkena dampak liberalisme. "Ini dampak dari sistem
liberalisme politik," tegasnya.
Maka dari itu, lanjut Akom pemilu atau pilkada tidak boleh sampai mengganggu keutuhan persatuan dan kesatuan Indonesia.
"Jangan hanya karena pilkada kita hampir terkoyak sebagai bangsa besar," katanya.
Saat ditanya apakah itu artinya pilkada di Indonesia sudah lari dari
nilai-nilai Pancasila, Akom mengatakan yang perlu dilakukan adalah
meningkatkan komitmen memperbaiki sistem yang sudah ada.
"Tak usah berganti-ganti atau malah mundur ke belakang, diperbaiki
saja. Jalan keluarnya perlu kita pikirkan negeri ini sudah selesai tapi
nyaris terkoyak hanya karena pilkada. Apakah mau seperti masa lalu ? Kan
tidak juga," jelasnya.
Mengenai calon dalam pilkada, ia mengatakan perlu fit and proper dan dilihat dari dukungan rakyatnya.
"Kriterianya harus ditentukan visi, akhlak dan lainnya oleh DPRD.
Tapi jangan sampai begitu partai pusat sampai daerah memberikan dukungan
untuk lawan kotak kosong, sebenarnya tidak apa lawan kotak kosong
asalkan tidak direkayasa," kata ketua Dewan Penasehat Pusat Studi Hukum
dan Pembangunan (PSHP) ini.
Sayangnya tambahnya sekarang banyak orang disulap dari buruk menjadi
baik sehingga ketika memimpin masyarakat sengsara dibuatnya.
"Banyak kepala daerah disulap, terpiih secara popularitas karena
permakan konsultan politik, kita tidak bisa dibiarkan terus begitu,
harus dievaluasi," harapnya.
Sementara di tempat yang sama secara tegas mantan Wakil Ketua MPR
Hajrianto Tohari menyebutkan sistem politik, pilkada, pileg, dan pilpres
sekarang tidak sejalan dengan Pancasila.
"Kalau dari perspektif sistem yang diintrodusir Pancasila adalah
musyawarah mufakat, artinya sistem politik atau pillkada sekarang
termasuk liberal, tidak paralel dengan musyawarah mufakat," katanya.
Menurutnya pilkada, pileg dan pilpres sekarang condong ke individualisme dan tidak sejalan dengan semangat Pancasila.
"Sistem one man one vote itu kan individualisme tidak paralel
dengan musyawarah mufakat. Karena individual maka mempermudah masuknya
campur tangan pemodal, memang sekarang tidak bisa dihindari karena
sistem saat ini personal," jelasnya.
Pengamat politik Fachry Ali menyebutkan membangun parpol adalah
sesuatu yang paing berat. Apalagi saat ini semua didasari pembiayaan
partai sehingga ideologi juga kadang terabaikan.
"Partai sekarang berat menjalankan kegiatan, karena berbiaya besar," katanya.
Ade Komarudin usulkan sistem pemilu dievaluasi
Kamis, 1 Juni 2017 23:27 WIB