Saat seorang dokter berada di ruang praktiknya, menerima beragam pasien dengan bermacam-macam diagnosa dan pemberian tindakan baik pemeriksaan dan pengobatan, mengapa dokter itu tetap tegap berdiri tak kunjung sakit, seperti ketakutan yang melanda terkait wabah Corona saat ini ?

Hal itu menarik dibahas, bukan pada tataran percaya diri berlebihan (takabur, red), namun lebih kepada upaya mencerahkan pendapat-pendapat yang keliru berkembang di ruang publik.

"Insya Allah, saya tetap sehat sebab kalau sakit, siapa yang akan menggantikan sebagai dokter ?," celetuk dokter spesialis penyakit dalam, Dr A.R Mohammad, Sp.PD FINASIM, salah satu dokter senior di rumah sakit umum daerah MM.Dunda, Limboto, Kabupaten Gorontalo, di Gorontalo, Rabu.

"Hari ini sangat terik, rasanya lebih nyaman jika membahas tentang Corona di ruang berpendingin," ungkapnya lagi sambil bergurau.

Mantan ketua IDI Provinsi Gorontalo, periode 2014-2017, yang juga aktif bertugas di beberapa rumah sakit di Provinsi Gorontalo itu, sedikit santai dengan mimik serius, ia yang akrab disapa dengan nama kecilnya Tonny (dokter Tonny, red) memulai pembicaraannya dengan topik bahasan yang sementara heboh di ruang publik, tentang virus corona baru atau ditandai dengan nama COVID-19.

"Ini bukan virus "terbang-terbang", seperti halnya burung yang bisa terbang ke sana kemari atau debu yang bisa terbang mengikuti arah angin," ucapnya.

Ia mengatakan, masyarakat perlu diberi pencerahan bahwa kuman dari virus tersebut, tidak sebebas burung yang terbang ke sana atau kemari.

Corona mengandung kuman yang hidup pada orang yang terinfeksi, termasuk akan mudah menjangkiti orang sehat yang terkena cipratan bersin orang sakit atau bergejala.

Bisa saja terhirup langsung dari yang sakit ke sehat, maupun menempel di benda-benda seperti meja, telapak tangan, serta benda-benda lainnya, kemudian kita memegang wajah, virus akan mudah masuk melalui lubang hidung, mata dan telinga.

Pada dasarnya kata dia, tidak berarti memandang memudahkan namun memang perlu menganggapnya mudah atau sederhana (simpel).

"Bahkan sangat simpel sekali, sebab intinya adalah dengan memutus rantai penularan," tambahnya.

Pertama yang perlu dilakukan untuk orang yang dicurigai sakit, adalah menganjurkannya segera berobat ke fasilitas kesehatan yang tersedia.

Sementara orang sehat, agar tidak mendekati orang sakit. Jika semua orang menerapkan hal itu, maka akan sangat mudah memutus rantai penyebaran COVID-19.

Dari pandangan medis, memilih meliburkan sekolah dan perkantoran maupun menunda aktivitas di luar rumah selama masa 14 hari, memang perlu dilakukan untuk memutus rantai sebaran dengan tidak melakukan kontak dengan siapapun, apalagi di daerah itu diketahui ada masyarakatnya yang baru melakukan aktivitas bepergian di daerah atau negara terinfeksi.

Namun perlu disadari jika mengisolasi tidak akan menjadi optimal 100 persen, jika orang yang melakukannya tidak memahami apa itu isolasi diri, apalagi jika gerakan berdiam di rumah dalam masa 14 hari, tidak dipatuhi dengan baik.

Ada beberapa hal yang akan mungkin terjadi, yaitu ada diantara masyarakat tidak patuh untuk tetap keluar rumah, dan jika yang bersangkutan sudah terinfeksi dan belum ada tanda-tanda sakit, maka dialah yang akan menjadi penyebar virus.

Jika kita tidak patuh untuk tidak keluar rumah, maka sangat rentan akan terkena infeksi dari orang lain di luar rumah.

Akan sangat memungkinkan, ada diantaranya yang terinfeksi, setelah melakukan kontak dengan orang sakit setelah hari ke 15 dan seterusnya. 

Intinya, jika ingin efektif maksimal maka gerakan berada di dalam rumah, mengisolasi diri selama 14 hari harus dilakukan atau berlaku bagi semua orang, secara bersama-sama.

Misalnya, sekolah atau kantor diliburkan namun ada anggota keluarga yang masih bepergian bahkan kontak dengan orang-orang yang tidak disadari pun telah melakukan kontak dengan orang lain, khususnya saling bersentuhan dengan orang yang baru melakukan perjalanan dari daerah atau negara terinfeksi.

"Saya harus menyampaikan ini berulang, agar timbul pemahaman yang kuat kepada masyarakat tentang libur atau permintaan untuk beraktivitas di rumah selama 14 hari atau memungkinkan hingga 18 hari adalah dengan tidak melakukan kontak dan
memastikan di hari ke 15 setelah berdiam di dalam rumah, tidak terjadi apa-apa dan tetap sehat," ujarnya.

Mari kita berhitung, anggaplah hari ini kita mulai menutup aktivitas-aktivitas ke luar rumah dan beralih belajar maupun bekerja di dalam rumah hingga 14 hari ke depan.

"Kita mulai hari ini, berarti selama dua minggu ke depan kita tidak ke luar rumah," jelasnya.

Tidak optimal sudah pasti tentu tidak terlalu optimal, apalagi jika hanya mematok 14 hari dengan anggapan semua orang mulai hari ini bergejala sama, baik yang sehat maupun sakit, namun selama 14 hari tersebut, ada anggota keluarga yang memilih bepergian di tempat-tempat umum yang tidak terdeteksi adanya orang bergejala COVID-19.

Sebut saja, di sela-sela 14 hari tersebut, ada aktivitas baru yang dilakukan orang dari luar daerah ini atau dari daerah terinfeksi, maka patokan 14 hari tersebut sudah pasti memerlukan tambahan waktu.

"Jika ini dilakukan, artinya kita akan kesulitan melakukan aktivitas beragam di luar rumah, sampai batas waktu yang sudah pasti sangat sulit ditentukan," kata pria yang juga pernah menjabat ketua PAPDI Provinsi Gorontalo, periode 2005-2008.

Maka dia memandang, tidak melakukan aktivitas di luar rumah, termasuk meliburkan anak sekolah bahkan pekerja kantor, sangat penting namun belum maksimal jika masing-masing individual belum memahami untuk menjadi pribadi pemutus rantai penyebaran infeksi COVID-19, sebab salah satu jalan keluar utama mengatasi penyebaran virus ini adalah memang dengan memutus rantai penyebaran.

Hindari kontak langsung, terapkan pola hidup bersih dan sehat (PHBS) maka akan sangat simpel memutus rantai penyebaran infeksi COVID-19.

TBC dan Corona

Banyak orang atau rata-rata masyarakat Indonesia bahkan dunia akan merasa ngeri, ketika orang membicarakan tentang wabah penyakit.

Pada hakekatnya, semua penyakit akan sangat berbahaya jika dibiarkan tidak dikenali, tidak dicegah, tidak ditindaki atau bahkan tidak dikendalikan, ujar dr. A.R Mohammad, Sp.PD FINASIM.

Selain wabah Corona atau COVID-19 yang resistensi atau ketahanan kumannya sangat kuat, sebab jika tidak melalui perlakuan-perlakuan medis seperti meningkatkan daya tahan tubuh dan menghindari kontak langsung dengan pembawa virus atau orang sakit bergejala, penyakit yang juga berbahaya dan sangat tidak kita sadari bahkan lebih cepat membunuh adalah, Tuberkulosis (TBC).

Bahkan di poliklinik rawat jalan rumah sakit tempatnya bertugas kata Mohammad, setiap hari selalu melayani pemeriksaan dan pengobatan orang dengan TBC.

Ia mengutip sebuah penyampaian Dr. Erlina Burhan Sp.P(k) PhD, yang menyebut, ada 98.000 orang dengan TBC meninggal/tahun, namun masyarakat masih bersikap biasa saja, padahal jika dihitung, Erlina menyebut, ada 11 orang meninggal setiap jam akibat penyakit saluran pernafasan tersebut.

"Maka dari itu, saya ingin kebijakan menangkal soal virus corona sama dengan menangkal penyakit TBC, supaya masyarakat semakin peduli terhadap penyakit ini," ujar Mohammad, masih mengutip penyampaian Dr. Erlina Burhan Sp.P(k) PhD.

Kuman TBC dapat menempel di alat makan dan minum dan bertahan hidup dalam jangka waktu tertentu, jika tidak dilakukan desinfeksi. 

Maka jangan kaget jika orang dengan TBC wajib menyiapkan peralatannya sendiri, serta tidak berinteraksi langsung dengan orang lain, bahkan anggota keluarga terdekatnya.

Jika di Indonesia, dalam setiap 30 detik ada satu orang tertular Tuberkulosis atau TBC dan rata-rata 12 orang meninggal setiap satu jam, maka kita perlu bersepakat untuk mulai mengisolasikan TBC seperti Covid-19.

Pihak medis kata A.R Mohammad, terbilang intensif mengampanyekan tindakan pencegahan, pengobatan dan perawatan kepada penderita TBC.

Tantangannya, sejauh mana penderita atau masyarakat mau terbuka menyadari bahayanya penyakit ini, agar mau menjalani masa pengobatan selama 6 bulan hingga dinyatakan sembuh.

Tantangan ini perlu disadari bersama, disuarakan agar tidak semakin banyak orang tertular TBC, sebab sama halnya dengan COVID-19, orang dengan Tuberkulosis pun tidak akan langsung menyadari jika terserang virus tersebut.

"Kita perlu saling mencerahkan dan menyadari untuk bersama-sama menjadi pribadi pemutus rantai penyebaran Tuberkulosis, khususnya COVID-19, melalui PHBS," ungkap dokter yang terbilang populer di kalangan masyarakat Kabupaten Gorontalo dan Gorontalo Utara tersebut.***

 

Pewarta: Susanti Sako

Editor : Hence Paat


COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2020