Ketua Komisi III DPR RI Herman Herry mengatakan kebijakan asimilasi harus diawasi dengan ketat untuk meminimalkan kemungkinan narapidana asimilasi itu melakukan pengulangan saat sudah kembali ke masyarakat.
"Kriteria narapidana yang akan dikeluarkan lewat kebijakan percepatan asimilasi harus diawasi dengan ketat. Hal ini harus dilakukan secara serius untuk meminimalkan kemungkinan narapidana asimilasi itu melakukan pengulangan saat sudah kembali ke masyarakat," kata Herman dalam pernyataan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin.
Ia menambahkan Komisi III DPR RI menunggu gebrakan dan inovasi dari Direktur Jenderal Pemasyarakatan yang baru, Inspektur Jenderal Polisi Reinhard Saut Poltak Silitonga.
“Sebagai Dirjen Lapas pertama yang memiliki latar belakang sebagai penegak hukum, Komisi III tentunya memiliki ekspektasi besar terhadap kinerja Anda ke depan. Kami akan menunggu gebrakan dan inovasi dari Saudara,” ucap Herman dalam pernyataan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin.
Hal itu disampaikan oleh Herman pada rapat dengar pendapat antara Komisi III DPR dengan Dirjen Pemasyarakatan, Irjen Pol Reynhard Saut Poltak Silitonga, Senin (11/5).
Politikus asal Nusa Tenggara Timur itu meminta jajaran Direktorat Jenderal Pemasyarakatan betul-betul mengevaluasi kriteria narapidana yang dikeluarkan lewat program asimilasi ini dan meningkatkan pengawasan terhadap mereka.
"Petugas Balai Pemasyarakatan juga harus betul-betul melakukan pengawasan dengan ketat. Bila kekurangan personel untuk melakukan pengawasan ini, Bapas harus meminta bantuan dan bekerjasama dengan petugas lapas atau penegak hukum lainnya, begitu juga dengan jajaran forkopimda," ujar dia.
Sebagaimana diketahui, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sudah mengeluarkan 39.273 narapidana dan anak melalui pemberian asimilasi dan integrasi.
Sebanyak 93 orang (0,23 persen) di antara mereka yang dikeluarkan itu ternyata kembali tertangkap melakukan tindak pidana.
Adapun kebijakan asimilasi dan integrasi akibat pandemi COVID-19 itu adalah upaya menurunkan tingkat overcrowding atau kelebihan muatan penghuni pada lapas dan rutan di seluruh Indonesia.
Data pada akhir 2019 menunjukkan bahwa jumlah tahanan dan narapidana pada lapas serta rutan di Indonesia mencapai 259.062 orang. Padahal, kapasitas maksimal hanya di angka 130.446 alias mengalami overcrowding sebesar 99 persen.
Kebijakan percepatan asimilasi dan integrasi COVID-19 menurunkan tingkat overcrowding itu ke angka 75 persen di tahun 2020.
Menurut Herman, persoalan overcrowding itu adalah permasalahan klasik yang harus segera dicarikan solusinya oleh Dirjen PAS yang baru.
Namun, ia sadar bahwa penanganan persoalan overcrowding itu tak akan bisa diatasi oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemkumham RI apabila pemerintah dan DPR RI belum membenahi persoalan di hulu.
"Sebanyak apa pun lapas dan rutan yang kita miliki, tetap saja ujung-ujungnya akan mengalami overcrowding bila permasalahan di hulu yang berupa masuknya tahanan dan narapidana yang setengahnya merupakan kasus narkotika," demikian Herman.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2020
"Kriteria narapidana yang akan dikeluarkan lewat kebijakan percepatan asimilasi harus diawasi dengan ketat. Hal ini harus dilakukan secara serius untuk meminimalkan kemungkinan narapidana asimilasi itu melakukan pengulangan saat sudah kembali ke masyarakat," kata Herman dalam pernyataan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin.
Ia menambahkan Komisi III DPR RI menunggu gebrakan dan inovasi dari Direktur Jenderal Pemasyarakatan yang baru, Inspektur Jenderal Polisi Reinhard Saut Poltak Silitonga.
“Sebagai Dirjen Lapas pertama yang memiliki latar belakang sebagai penegak hukum, Komisi III tentunya memiliki ekspektasi besar terhadap kinerja Anda ke depan. Kami akan menunggu gebrakan dan inovasi dari Saudara,” ucap Herman dalam pernyataan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin.
Hal itu disampaikan oleh Herman pada rapat dengar pendapat antara Komisi III DPR dengan Dirjen Pemasyarakatan, Irjen Pol Reynhard Saut Poltak Silitonga, Senin (11/5).
Politikus asal Nusa Tenggara Timur itu meminta jajaran Direktorat Jenderal Pemasyarakatan betul-betul mengevaluasi kriteria narapidana yang dikeluarkan lewat program asimilasi ini dan meningkatkan pengawasan terhadap mereka.
"Petugas Balai Pemasyarakatan juga harus betul-betul melakukan pengawasan dengan ketat. Bila kekurangan personel untuk melakukan pengawasan ini, Bapas harus meminta bantuan dan bekerjasama dengan petugas lapas atau penegak hukum lainnya, begitu juga dengan jajaran forkopimda," ujar dia.
Sebagaimana diketahui, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sudah mengeluarkan 39.273 narapidana dan anak melalui pemberian asimilasi dan integrasi.
Sebanyak 93 orang (0,23 persen) di antara mereka yang dikeluarkan itu ternyata kembali tertangkap melakukan tindak pidana.
Adapun kebijakan asimilasi dan integrasi akibat pandemi COVID-19 itu adalah upaya menurunkan tingkat overcrowding atau kelebihan muatan penghuni pada lapas dan rutan di seluruh Indonesia.
Data pada akhir 2019 menunjukkan bahwa jumlah tahanan dan narapidana pada lapas serta rutan di Indonesia mencapai 259.062 orang. Padahal, kapasitas maksimal hanya di angka 130.446 alias mengalami overcrowding sebesar 99 persen.
Kebijakan percepatan asimilasi dan integrasi COVID-19 menurunkan tingkat overcrowding itu ke angka 75 persen di tahun 2020.
Menurut Herman, persoalan overcrowding itu adalah permasalahan klasik yang harus segera dicarikan solusinya oleh Dirjen PAS yang baru.
Namun, ia sadar bahwa penanganan persoalan overcrowding itu tak akan bisa diatasi oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemkumham RI apabila pemerintah dan DPR RI belum membenahi persoalan di hulu.
"Sebanyak apa pun lapas dan rutan yang kita miliki, tetap saja ujung-ujungnya akan mengalami overcrowding bila permasalahan di hulu yang berupa masuknya tahanan dan narapidana yang setengahnya merupakan kasus narkotika," demikian Herman.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2020