Sebanyak 10 orang narapidana yang bebas melalui program asimilasi di wilayah Sulawesi Tengah kembali berulah melakukan tindak pidana pencurian dan terlibat narkoba.
“Dari 847 napi yang dapat asimilasi, 10 orang mengulang tindak pidana, sembilan pidana umum seperti pencurian dan satu narkoba,” kata Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Sulawesi Tengah Lilik Sujandi kepada wartawan di Lapas Petobo Kota Palu, Minggu siang.
Sementara yang lain, kata Lilik, sudah melaksanakan aktivitas normal atau melakukan pekerjaan di tengah masyarakat.
“Dari data yang kita peroleh, sebagian besar kembali pada pekerjaan sebelumnya. Artinya ada beberapa narapidana asimilasi yang diterima kembali pada pekerjaan semula,” ujarnya.
Kemudian, katanya ada juga napi asimilasi yang masih mencari pekerjaan, seperti pekerjaan informal.
“Yang jelas dari laporan pembimbing kemasyarakatan banyak dari tempat-tempat pekerjaan yang menerima kembali kehadiran warga binaan itu,” ujarnya.
Kakanwil Kemenkumham Sulteng ini katakan, napi asimilasi yang kembali berulah diduga karena desakan ekonomi, sementara ada kebutuhan yang harus dipenuhi.
“Motifnya macam-macam, bisa karena narkoba atau karena pemakai atau motif ekonomi sementara mungkin butuh makan,” katanya.
Mengantisipasi tindakan napi yang berulah setelah bebas, Lilik kembali ingatkan petugas untuk lebih lagi melatih napi selama dibina agar memiliki ketrampilan.
“Sehingga ketika bebas tidak lagi melakukan kejahatan, dan saya telah instruksikan kepada petugas untuk mulai merekam life skill saat berada dalam pembinaan, sehingga masyarakat juga bisa mengetahui skill mereka dan bisa diterima di tengah-tengah masyarakat,” katanya.
Ia mengatakan, napi yang dikembali di tengah masyarakat juga memiliki tanggungjawab, baik kepada keluarga dan masyarakat.
“Kalau mereka kembali kepada keluarga ya harus bertanggungjawab. Misalnya, suami harus menghidupkan keluarganya, anak juga harus demikian,” katanya.
“Nah tugas kami untuk membimbing kepada masyarakat, juga mendekatkan asimilasi ini dengan peran sosial ekonomi, sehingga tidak saja mengawasi tentang resiko mereka untuk mengulang tidak pidana tetapi sisi lain ada mitigasi untuk menyiapkan mereka pada prikehidupannya,” ujarnya.
Lilik katakan, persoalan napi bukan hanya persoalan hari ini saja, dan bukan hanya persoalan warga binaan semata, tetapi ada respek dari masyarakat dan pemerintah setempat.
“Kalau tidak memberi ruang kehiduapan yang layak tentu mereka bisa kembali lagi, apalagi situasi saat ini resiko yang cukup tinggi,” tegasnya.
Olehnya, kata dia, masalah ini tidak hanya dipundak Kemenkumham saja, namun membutuhkan dukungan dari pemerintah daerah, masyarakat dan pelaku-pelaku ekonomi.
“Asimilasi adalah membangun melawan stigma, agar orang tidak anggap bekas napi dan sebagainya yang tidak bisa dipercaya,” katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2020
“Dari 847 napi yang dapat asimilasi, 10 orang mengulang tindak pidana, sembilan pidana umum seperti pencurian dan satu narkoba,” kata Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Sulawesi Tengah Lilik Sujandi kepada wartawan di Lapas Petobo Kota Palu, Minggu siang.
Sementara yang lain, kata Lilik, sudah melaksanakan aktivitas normal atau melakukan pekerjaan di tengah masyarakat.
“Dari data yang kita peroleh, sebagian besar kembali pada pekerjaan sebelumnya. Artinya ada beberapa narapidana asimilasi yang diterima kembali pada pekerjaan semula,” ujarnya.
Kemudian, katanya ada juga napi asimilasi yang masih mencari pekerjaan, seperti pekerjaan informal.
“Yang jelas dari laporan pembimbing kemasyarakatan banyak dari tempat-tempat pekerjaan yang menerima kembali kehadiran warga binaan itu,” ujarnya.
Kakanwil Kemenkumham Sulteng ini katakan, napi asimilasi yang kembali berulah diduga karena desakan ekonomi, sementara ada kebutuhan yang harus dipenuhi.
“Motifnya macam-macam, bisa karena narkoba atau karena pemakai atau motif ekonomi sementara mungkin butuh makan,” katanya.
Mengantisipasi tindakan napi yang berulah setelah bebas, Lilik kembali ingatkan petugas untuk lebih lagi melatih napi selama dibina agar memiliki ketrampilan.
“Sehingga ketika bebas tidak lagi melakukan kejahatan, dan saya telah instruksikan kepada petugas untuk mulai merekam life skill saat berada dalam pembinaan, sehingga masyarakat juga bisa mengetahui skill mereka dan bisa diterima di tengah-tengah masyarakat,” katanya.
Ia mengatakan, napi yang dikembali di tengah masyarakat juga memiliki tanggungjawab, baik kepada keluarga dan masyarakat.
“Kalau mereka kembali kepada keluarga ya harus bertanggungjawab. Misalnya, suami harus menghidupkan keluarganya, anak juga harus demikian,” katanya.
“Nah tugas kami untuk membimbing kepada masyarakat, juga mendekatkan asimilasi ini dengan peran sosial ekonomi, sehingga tidak saja mengawasi tentang resiko mereka untuk mengulang tidak pidana tetapi sisi lain ada mitigasi untuk menyiapkan mereka pada prikehidupannya,” ujarnya.
Lilik katakan, persoalan napi bukan hanya persoalan hari ini saja, dan bukan hanya persoalan warga binaan semata, tetapi ada respek dari masyarakat dan pemerintah setempat.
“Kalau tidak memberi ruang kehiduapan yang layak tentu mereka bisa kembali lagi, apalagi situasi saat ini resiko yang cukup tinggi,” tegasnya.
Olehnya, kata dia, masalah ini tidak hanya dipundak Kemenkumham saja, namun membutuhkan dukungan dari pemerintah daerah, masyarakat dan pelaku-pelaku ekonomi.
“Asimilasi adalah membangun melawan stigma, agar orang tidak anggap bekas napi dan sebagainya yang tidak bisa dipercaya,” katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2020