Gorontalo, (ANTARA GORONTALO) - Gorontalo salah satu provinsi di Pulau Sulawesi yang memiliki potensi produksi beras cukup banyak yang sebagian besar penduduknya sebagai petani sawah.

Dengan memiliki luas areal sawah padi di lima kabupaten dan satu kota sekitar 45.027 hektare, tentunya ada harapan stok produksi beras cukup untuk memenuhi permintaan warga, termasuk tambahan pasokan beras melalui Bulog di daerah itu. Daerah tersebut dianggap sebagai lumbung beras untuk Pulau Sulawesi.

Hanya saja, selang sebulan terakhir ini, harga beras yang dijual di sejumlah pasar tradisional dan pusat perbelanjaan lainnya tiba-tiba melambung tinggi.

Hal itulah yang menjadi pertanyaan sejumlah warga, termasuk para pedagang pengecer, kenapa harga beras tiba-tiba tinggi?

Menurut sejumlah pedagang beras ketika ditemui di Pasar Sental Kota Gorontalo, hampir setiap hari harga beras untuk berbagai jenis mengalami kenaikan yang relatif sangat signifikan.

Mahdi Mohamad, pedagang bahan kebutuhan pokok di Pasar Sentral Kota Gorontalo, mengatakan bahwa harga beras untuk jenis yenti dijual seharga Rp510 ribu hingga Rp520 ribu per koli atau ukuran 50 liter, superwin Rp510 ribu--Rp515 ribu per koli, pandan wangi dijual oleh pedagang seharga Rp565 ribu--Rp570 ribu per koli, padahal harga normal hanya sekitar Rp440 ribu--Rp450 ribu per koli.

Beras jenis cemelati dijual seharga Rp495 ribu--Rp505 ribu per koli, membramo Rp490 ribu--Rp495 ribu per koli, serta jenis ciheran Rp505 ribu--Rp515 ribu per koli.

Dengan kondisi tersebut, pedagang harus menjual eceran beras per liternya sekitar Rp9.000,00--Rp10 ribu.

Pada bulan Februari hingga Maret 2015, kata dia, harga komoditas beras ini mengalami penaikan berulang kali. Terhitung sampai saat ini sudah tiga kali naik.

Manan Latif, pedagang beras lainnya, mengatakan bahwa kenaikan beras yang sudah terjadi beberapa kali tersebut, salah satu pemicunya adalah stok yang relatif sangat kurang.

Saat ini, kata dia, pedagang lokal Gorontalo malah banyak mendatangkan beras dari Sulawesi Tengah, seperti Poso, Palu, dan Dungala. Sementara itu, untuk produksi lokal Gorontalo sendiri, petani maupun pedagang lebih memilih untuk menjual ke luar daerah.

Salah satu warga berharap pemerintah daerah segera menangani persoalan tersebut dengan tingginya harga beras jelas berdampak juga pada tingkat kebutuhan rumah tangga lainnya.

"Kami salah satu warga kurang mampu yang sulit mendapatkan raskin (beras untuk masyarakat miskin, red.) murah. Oleh karena itu, kami lebih memilih beras di pasar," ujar Ibu Ratny.



Belum Panen



Dinas Koperasi Perindustrian Perdagangan (Diskoperindag) Kabupaten Gorontalo Utara memastikan kenaikan harga beras di wilayah tersebut disebabkan petani belum memasuki masa panen.

"Stok beras di berbagai gudang rata-rata kosong akibat sebagian besar petani belum memasuki masa panen," ujar Kepala Diskoperindag Gorontalo Utara Muchtar Adam.

Pihaknya saat ini menurunkan tim terpadu melibatkan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) serta kepolisian untuk memantau harga beras tersebut.

Berdasarkan peninjauan di Pasar Kamis Moluo, Kecamatan Kwandang, penaikan harga beras di daerah ini karena adanya kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) belum lama.

Selain itu, lanjut dia, keterlambatan masa panen juga menyebabkan stok beras di daerah ini berkurang.

"Sudah menjadi hukum ekonomi pasar, bila stok barang berkurang, kenaikan harga tak terhindarkan," ujar Muchtar.

Ia menegaskan bahwa tingginya harga beras di daerah ini akibat stok yang berkurang. Pasalnya, pihaknya belum menemukan indikasi penimbunan beras oleh pihak-pihak tertentu.

Pantauan di pasar tradisional Moluo, harga beras bervariasi antara Rp512 ribu dan Rp525 ribu per koli sesuai dengan kualitas beras.

Sementara itu, Gubernur Gorontalo Rusli Habibie menilai kenaikan harga beras di daerah tersebut tidak masuk akal, mengingat stok beras dalam keadaan surplus dan pedagang tidak kekurangan pasokan.

"Harga beras terus naik, sementara di beberapa daerah sekarang mulai masuk musim panen. Kenaikan ini menurut saya tidak rasional. Ada permainan dari oknum tertentu yang menyebabkan harga di pasaran terus naik," katanya.

Ia mengaku telah mengecek pasokan beras di tingkat pedagang dan stok beras di gudang Bulog, serta meminta informasi dari sejumlah petani saat melakukan panen raya.

Hasilnya, kata dia, semua pihak tersebut menyatakan tidak ada masalah dengan pasokan beras.

Data dari Dinas Pertanian, Tanaman Pangan, dan Hortikultura Provinsi Gorontalo menyebutkan total produksi padi se-Provinsi Gorontalo pada tahun 2014 mencapai 314.703 ton atau setara dengan 176.936 ton beras.

Di sisi lain, total konsumsi warga pada tahun yang sama hanya sebesar 93.947 ton.

Terlebih lagi, hingga April 2015 ada empat daerah yang akan melaksanakan panen raya, yakni Kabupaten Bone Bolango, Kota Gorontalo, sebagian wilayah Kabupaten Gorontalo, dan Kabupaten Boalemo.

"Menurut saya, ini juga disebabkan oleh pemberitaan kenaikan harga di berbagai daerah. Akhirnya para spekulan dan oknum pedagang menaikkan harga secara sepihak," katanya.

Ia menambahkan bahwa respons masyarakat terhadap beras Bulog di Gorontalo lebih rendah daripada daerah lain karena menurunnya kepercayaan masyarakat.

"Mungkin di daerah lain berasnya ada yang berkutu dan kuning. Namun, di Gorontalo sepanjang pengamatan kami sangat layak dikonsumsi," katanya.

Selain intensif menggelar operasi pasar, Gubernur berharap masyarakat bisa menyikapi mahalnya harga beras dengan mengurangi konsumsi nasi serta menggantinya dengan sumber karbohidrat lainnya.

Pemerintah Provinsi Gorontalo akan melakukan kembali kegiatan operasi pasar secara besar-besaran dengan harga jual Rp5.000,00 per kilogram.

"Saya minta dinas terkait pelajari aturannya. Kalau memungkinkan, harga beras dari Bulog sebesar Rp7.400,00 akan disubsidi pemprov menjadi Rp5.000,00. Operasi pasar nanti akan melibatkan bupati dan wali kota di setiap daerah," kata Gubernur.

Gubernur juga menyayangkan operasi pasar yang pertama dilakukan Diskoperindag dan Bulog kurang mendapatkan perhatian dari masyarakat.

Ada paradigma di tengah masyarakat bahwa beras Bulog itu kualitasnya jelek.

"Padahal, itu beras ciheran yang dibeli dari petani dan dijual kembali dengan harga subsidi. Dua hari ini saya makan beras Bulog. Saya minta istri saya untuk masak, kualitasnya bagus kok," katanya.

Dengan berbagai program dilakukan pemerintah daerah, diharapkan dalam waktu dekat harga beras bisa ditekan serta tidak lagi menjadi persoalan ketika daerah yang dianggap lumbung beras, tetapi harganya relatif sangat mahal.

Pewarta: Hence Paat

Editor : Hence Paat


COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2015