Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memastikan seluruh kegiatan penyidikan selama ini untuk tersangka mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi (NHD) sesuai dengan mekanisme dan aturan hukum yang berlaku.
"Kami tidak akan berpolemik dengan isu yang tidak jelas," ucap Plt. Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya di Jakarta, Minggu.
Berdasarkan informasi yang diterima lembaganya, tersangka Nurhadi sampai dengan saat ini tetap berada di Rutan KPK.
"Tidak pernah penyidik KPK membawa yang bersangkutan untuk pemeriksaan di luar Gedung Merah Putih KPK sebagaimana yang disampaikan Neta S. Pane (Ketua Presidium Indonesia Police Watch/IPW)," kata Ali.
KPK, kata dia, tetap berkomitmen untuk sungguh-sungguh menyelesaikan perkara dengan tersangka Nurhadi dan kawan-kawan tersebut sampai tuntas.
Hal itu, lanjut dia, termasuk pula pengembangannya sejauh dari fakta-fakta keterangan saksi dan alat bukti.
Ia menyebutkan ada dua alat bukti permulaan yang cukup, termasuk pula untuk menetapkan yang bersangkutan (Nurhadi) sebagai tersangka tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Nurhadi bersama menantunya atau swasta Rezky Herbiyono (RHE) dan Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) Hiendra Soenjoto (HSO) telah ditetapkan sebagai tersangka kasus suap dan gratifikasi terkait dengan perkara di MA pada tahun 2011—2016 pada tanggal 16 Desember 2019.
Ketiganya kemudian dimasukkan dalam status daftar pencarian orang (DPO) sejak Februari 2020.
Nurhadi dan Rezky ditangkap tim KPK di Jakarta, Senin (1/6), sementara tersangka Hiendra masih menjadi buronan.
Nurhadi dan Rezky ditetapkan sebagai tersangka penerima suap dan gratifikasi senilai Rp46 miliar terkait dengan pengurusan sejumlah perkara di MA, sedangkan Hiendra ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap.
Adapun penerimaan suap tersebut terkait dengan pengurusan perkara perdata PT MIT vs PT KBN (Persero) kurang lebih sebesar Rp14 miliar, perkara perdata sengketa saham di PT MIT kurang lebih sebesar Rp33,1 miliar, dan gratifikasi terkait dengan perkara di pengadilan kurang lebih Rp12,9 miliar. Dengan demikian, akumulasi yang diduga diterima kurang lebih sebesar Rp46 miliar.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2020
"Kami tidak akan berpolemik dengan isu yang tidak jelas," ucap Plt. Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya di Jakarta, Minggu.
Berdasarkan informasi yang diterima lembaganya, tersangka Nurhadi sampai dengan saat ini tetap berada di Rutan KPK.
"Tidak pernah penyidik KPK membawa yang bersangkutan untuk pemeriksaan di luar Gedung Merah Putih KPK sebagaimana yang disampaikan Neta S. Pane (Ketua Presidium Indonesia Police Watch/IPW)," kata Ali.
KPK, kata dia, tetap berkomitmen untuk sungguh-sungguh menyelesaikan perkara dengan tersangka Nurhadi dan kawan-kawan tersebut sampai tuntas.
Hal itu, lanjut dia, termasuk pula pengembangannya sejauh dari fakta-fakta keterangan saksi dan alat bukti.
Ia menyebutkan ada dua alat bukti permulaan yang cukup, termasuk pula untuk menetapkan yang bersangkutan (Nurhadi) sebagai tersangka tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Nurhadi bersama menantunya atau swasta Rezky Herbiyono (RHE) dan Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) Hiendra Soenjoto (HSO) telah ditetapkan sebagai tersangka kasus suap dan gratifikasi terkait dengan perkara di MA pada tahun 2011—2016 pada tanggal 16 Desember 2019.
Ketiganya kemudian dimasukkan dalam status daftar pencarian orang (DPO) sejak Februari 2020.
Nurhadi dan Rezky ditangkap tim KPK di Jakarta, Senin (1/6), sementara tersangka Hiendra masih menjadi buronan.
Nurhadi dan Rezky ditetapkan sebagai tersangka penerima suap dan gratifikasi senilai Rp46 miliar terkait dengan pengurusan sejumlah perkara di MA, sedangkan Hiendra ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap.
Adapun penerimaan suap tersebut terkait dengan pengurusan perkara perdata PT MIT vs PT KBN (Persero) kurang lebih sebesar Rp14 miliar, perkara perdata sengketa saham di PT MIT kurang lebih sebesar Rp33,1 miliar, dan gratifikasi terkait dengan perkara di pengadilan kurang lebih Rp12,9 miliar. Dengan demikian, akumulasi yang diduga diterima kurang lebih sebesar Rp46 miliar.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2020