"Kopi bukan hanya soal kepala, melainkan juga soal hati," ucap El yang diperankan aktris Julie Estelle dalam film Filosofi Kopi.

Nikmatnya kopi tiwus dari tangan seorang petani bernama Seno yang merawat kopinya dengan penuh cinta adalah pesan terbaik dalam film ini.

Di Pinogu, para petani memperlakukan kopi seperti halnya Pak Seno. Kopi tidak dipaksa untuk tumbuh, apalagi berbuah.

Pinogu adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Bone Bolango, yang paling terisolasi di Provinsi Gorontalo. Letaknya berada di kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. Di wilayah ini, tidak hanya terhampar kebun kopi, tetapi juga ada hutan kopi bernama Sinondo`o yang tak bertuan.

Hutan tersebut didominasi kopi jenis liberika. Tanaman yang kini tinggi pohonnya mencapai 10 meter itu dibawa oleh Belanda ke Pinogu pada tahun 1875. Namun, pengembangan liberika saat itu gagal karena mendapat penolakan dari pemerintah Kerajaan Suwawa.

Pada tahun 1970, pemerintah daerah kemudian berupaya membudidayakan robusta di wilayah itu sampai saat ini.

Kini, lahan kebun robusta di Pinogu mencapai 225 hektare, tersebar di lima desa, yakni Pinogu induk, Pinogu Permai, Tilonggibila, Bangiyo, dan Dataran Hijau.

Mencapai Pinogu butuh keteguhan hati. Bisa berjalan kaki melalui sejumlah punggung bukit dan menyeberangi sungai selama 10--12 jam, atau menggunakan jasa ojek dengan ongkos lima ratus ribu rupiah.

Naik ojek bukan berarti perjalanan menuju Pinogu akan mulus, melainkan karena jalan berbatu dan berlumpur menanti untuk ditempuh dalam waktu kurang lebih enam jam.

Ada jalan lain menuju kecamatan dengan luas 36 ribu hektare ini, yaitu naik helikopter.

"Sulitnya medan dan mahalnya biaya transportasi, hanya alasan nomor dua mengapa kami tidak tertarik menggunakan pupuk dan pestisida. Alasan utamanya karena daerah ini memang sudah subur. Kopi kami tumbuh apa adanya," ungkap Ketua Asosiasi Kelompok Usaha Tani Kopi Pinogu, Nurdin Maini.

Daun yang gugur, kata Nurdin, dibiarkan terurai oleh mikroorganisme tanah. Serasah ini menjadi pupuk utama bagi tanaman kopi. Bahkan, sebelum pemerintah menggulirkan bantuan bibit, petani di wilayah ini hanya mengambil bibit kopi yang tumbuh dari sisa biji dimakan burung maupun kelelawar.

Pohon naungan kopi paling banyak adalah tanaman durian, langsat, dadap, dan maculata.

Perawatan yang dilakukan petani setempat tidak memakan ongkos dan cara yang rumit. Cukup dengan menyingkirkan tunas baru agar buah kopi mendapatkan nutrisi yang relatif cukup.

Meski telah mempraktikkan cara menanam kopi secara alami dalam rentang waktu yang relatif lama, masyarakat Pinogu tidak pernah mengenal kata organik.

Hingga akhirnya sejumlah peniliti dan mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) menyelenggarakan kuliah kerja nyata (KKN) pada tahun 2013 di Pinogu.

"Itu pertama kali kami dengar dari mereka bahwa kopi kami ini organik. Katanya organik itu berarti prosesnya alami, tidak berbahaya untuk kesehatan dan biasanya harga jual lebih mahal," tutur Nurdin.

Panen kopi dilakukan dua kali dalam setahun. Biji kopi yang sudah merah dipisahkan dari biji hijau, kemudian langsung direndam. Dengan merendam, biji yang cacat akan mengapung, sementara biji berkualitas tenggelam.

Biji terpilih kemudian dimasukkan dalam mesin pengupas, lalu hasilnya dihamparkan pada lantai jemur. Setelah kering, direndam sekali lagi untuk menyortir biji yang mengapung. Selanjutnya, kopi dikeringkan hingga kadar air mencapai 11--12 persen.

Menariknya lagi, sebagian biji kopi pinogu masih disangrai secara tradisional menggunakan wajan tanah dan tungku, demi mempertahankan cita rasanya.

"Kami akan menciptakan tromol khusus dari tanah liat untuk menyangrai biji kopi. Tujuannya agar cita rasanya terjaga serta waktu sangrai lebih cepat daripada dengan cara manual," kata Sekda Kabupaten Bone Bolango Ishak Ntoma.

Tromol tersebut, kata dia, juga sebagai "jalan psikis" untuk mengubah mental masyarakat yang masih menambang agar mau beralih ke kopi.

Petani biasanya menjual kopi dalam bentuk biji ke pasar-pasar tradisional, sementara bubuk kopi yang telah dikemas dalam wadah berbahan aluminium dipasok ke distributor.

Bila diseduh, aroma lembut kopi ini segera menyeruak. Rasanya ringan, tidak terlalu pahit ataupun asam, sehingga aman bagi penderita sakit lambung.

"Beberapa kali saya minum kopi dalam sehari, lambung saya nyaman-nyaman saja. Padahal, biasanya perut langsung berontak kalau lebih dari secangkir," kata Kiky Argi (25), penikmat Kopi Pinogu.

Namun, kopi sehat dan enak saja takcukup. Petani Pinogu tentu saja ingin kaya dari komoditas ini.

Kopi adalah harapan terbesar mereka untuk hidup layak, selain cokelat, beras, kemiri, dan sapi.

"Sebenarnya berdagang kopi sangat menjanjikan. Hanya saja menurut saya perputaran uang pada komoditas ini sangat lambat. Kami harus menunggu kopi yang sudah dikemas itu laku dulu di toko, baru terima uang dari distributornya," ungkap Ismail Maramis (54), pemilik lahan kopi.

Upaya untuk membentuk kelompok tani dan bersatu memasarkan hasil panen, menurut dia, belum membuahkan hasil yang memuaskan. Padahal, kopi menjadi alasan sebagian warga Pinogu beralih dari aktivitas penambangan emas di kawasan tersebut.

Kendati demikian, Ismail mengaku akan terus menanam dan merawat kopi miliknya karena yakin suatu saat nasib baik akan berpihak pada petani.

"Sesempurna apa pun kopi, kopi tetap kopi, punya sisi pahit yang takmungkin disembunyikan," kata pemeran Seno, masih dalam film Filosofi Kopi.

Pewarta: Debby Hariyanti Mano

Editor : Hence Paat


COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2015