Jakarta (ANTARA GORONTALO) - Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama (PBNU) Adnan Anwar mensinyalir radikalisme sudah
menjalar ke kalangan selebriti dan profesional.
"Ini berbahaya dan bisa dibilang mengerikan. Dari data-data yang ada, mereka sudah menyasar beberapa pihak yang punya banyak simpatisan atau penggemar seperti artis," kata Adnan di Jakarta, Rabu.
Menurut Adnan, gerakan pengusung radikalisme juga membidik kalangan menengah seperti pegawai negeri, aparat TNI, Polri, bahkan petugas Lembaga Pemasyarakat.
"Ini fakta yang tidak bisa dibantah, sehingga harus ada gerakan nyata untuk melawan mereka. Saya khawatir bila
dibiarkan seperti ini, artinya pemerintah tidak menyiapkan instrumen hukum yang pasti, kehidupan berbangsa dan bernegara di Republik Indonesia ini bakal terancam," kata dia.
PBNU sendiri tidak pernah berhenti untuk membendung dan melawan gerakan radikalisme, namun diakui Adnan apa yang dilakukan PBNU tidak cukup bila tak didukung pemerintah dan berbagai organisasi kemasyarakatan lain.
"Masalah ini sangat krusial, karena dipicu kondisi bangsa Indonesia yang belum stabil," katanya.
Adnan mengakui mobilisasi propaganda di kalangan menengah saat ini sangat kuat, termasuk melalui media sosial, sehingga agak sulit untuk membendung pergerakan mereka.
"Ada profesor, doktor, insinyur, bahkan jurnalis. Merekalah yang justru paling berbahaya. Kalau martir-martirnya mudah diatasi," kata dia.
Adnan berharap pemerintah segera membuat instrumen hukum pasti terkait gerakan radikalisme itu, apalagi ada kelompok yang ingin meruntuhkan NKRI dan mendirikan negara baru.
"Bayangkan, saat ini ada organisasi yang jelas-jelas ingin mendirikan negara sendiri masih bisa bebas menggelar kegiatannya," kata dia.
Sementara itu, mantan aktivis Jamaah Islamiyah (JI) Abdurrahman Ayub meminta pemerintah menerapkan cara-cara pemberantasan radikalisme dan terorisme seperti cara-cara yang digunakan pada zaman Orde Baru.
"Di zaman Orde Baru, pelaku terorisme, seperti saya waktu itu, tidak bisa hidup dan tidur nyenyak di Indonesia. Alhasil kami harus hijrah ke negara lain, seperti Malaysia, Pakistan, dan Afganistan. Bagaimana kami tidak pergi, saat itu, RT atau RW bisa menjadi intel sehingga tidak ada ruang bagi terorisme untuk menjalankan kegiatannya," kata dia.
Artinya, lanjut mantan pimpinan JI Australia ini, gerakan radikalisme tidak bisa diberi sedikit ruang untuk berkembang. Apalagi teknologi sekarang semakin canggih.
"Bayangkan, Aman Abdurrahman bisa dibaiat oleh pimpinan ISIS Abubakar Al Baghdadi hanya melalui kecanggihan alat
telekomunikasi. Intinya, dibandingkan dulu, pemberantasan paham radikalisme harus lebih keras dan signifikan," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2015
"Ini berbahaya dan bisa dibilang mengerikan. Dari data-data yang ada, mereka sudah menyasar beberapa pihak yang punya banyak simpatisan atau penggemar seperti artis," kata Adnan di Jakarta, Rabu.
Menurut Adnan, gerakan pengusung radikalisme juga membidik kalangan menengah seperti pegawai negeri, aparat TNI, Polri, bahkan petugas Lembaga Pemasyarakat.
"Ini fakta yang tidak bisa dibantah, sehingga harus ada gerakan nyata untuk melawan mereka. Saya khawatir bila
dibiarkan seperti ini, artinya pemerintah tidak menyiapkan instrumen hukum yang pasti, kehidupan berbangsa dan bernegara di Republik Indonesia ini bakal terancam," kata dia.
PBNU sendiri tidak pernah berhenti untuk membendung dan melawan gerakan radikalisme, namun diakui Adnan apa yang dilakukan PBNU tidak cukup bila tak didukung pemerintah dan berbagai organisasi kemasyarakatan lain.
"Masalah ini sangat krusial, karena dipicu kondisi bangsa Indonesia yang belum stabil," katanya.
Adnan mengakui mobilisasi propaganda di kalangan menengah saat ini sangat kuat, termasuk melalui media sosial, sehingga agak sulit untuk membendung pergerakan mereka.
"Ada profesor, doktor, insinyur, bahkan jurnalis. Merekalah yang justru paling berbahaya. Kalau martir-martirnya mudah diatasi," kata dia.
Adnan berharap pemerintah segera membuat instrumen hukum pasti terkait gerakan radikalisme itu, apalagi ada kelompok yang ingin meruntuhkan NKRI dan mendirikan negara baru.
"Bayangkan, saat ini ada organisasi yang jelas-jelas ingin mendirikan negara sendiri masih bisa bebas menggelar kegiatannya," kata dia.
Sementara itu, mantan aktivis Jamaah Islamiyah (JI) Abdurrahman Ayub meminta pemerintah menerapkan cara-cara pemberantasan radikalisme dan terorisme seperti cara-cara yang digunakan pada zaman Orde Baru.
"Di zaman Orde Baru, pelaku terorisme, seperti saya waktu itu, tidak bisa hidup dan tidur nyenyak di Indonesia. Alhasil kami harus hijrah ke negara lain, seperti Malaysia, Pakistan, dan Afganistan. Bagaimana kami tidak pergi, saat itu, RT atau RW bisa menjadi intel sehingga tidak ada ruang bagi terorisme untuk menjalankan kegiatannya," kata dia.
Artinya, lanjut mantan pimpinan JI Australia ini, gerakan radikalisme tidak bisa diberi sedikit ruang untuk berkembang. Apalagi teknologi sekarang semakin canggih.
"Bayangkan, Aman Abdurrahman bisa dibaiat oleh pimpinan ISIS Abubakar Al Baghdadi hanya melalui kecanggihan alat
telekomunikasi. Intinya, dibandingkan dulu, pemberantasan paham radikalisme harus lebih keras dan signifikan," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2015