Peneliti Kebijakan Kelautan dan Perikanan Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Anta Maulana Nasution merekomendasikan perlunya mengkaji ulang kebijakan ekspor benih lobster.

"Momentum penangkapan Menteri KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) harus menjadi pendorong bagi KKP untuk mengambil langkah selanjutnya dalam menyikapi kebijakan ekspor benur," kata Anta dalam Sapa Media virtual dengan tema "Memahami Potensi Lobster dari Perspektif Kelautan dan Sosial" di Jakarta, Senin.

Anta menuturkan KKP dapat memulai langkahnya dengan mengkaji ulang dari awal apakah sebenarnya kebijakan ekspor benur merupakan solusi yang tepat dari
permasalahan yang dihadapi nelayan.

"Atau jangan-jangan kebijakan ini hanya sekedar memfasilitasi “para aktor jahat” pemain ekspor benur," ujarnya.

Dia mengatakan KKP harus bisa berperan bukan hanya sebagai fasilitator, tetapi juga harus menjadi aktor penengah yang memastikan bahwa kebijakan tersebut memberikan dampak yang seimbang bagi semua aktor.

Menurut dia, KKP perlu melakukan analisis aktor-aktor yang berkepentingan sebelum menerapkan kembali kebijakan ekspor benih lobster sebagai langkah preventif untuk mencegah terjadinya monopoli.

Setidaknya ada tiga aktor yang berkepentingan dalam kebijakan ekspor benur atau benih lobster, yaitu pemerintah, swasta, dan nelayan.

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 tahun 2020 khususnya pasal 5 berkaitan dengan eksportir.

Peneliti Pusat Penelitian Oseanografi LIPI Rianta Pratiwi mengatakan Pangsa pasar lobster tidak hanya di dalam negeri tapi juga di luar negeri, karena potensi lobster yang mempunyai nilai gizi yang tinggi.

"Keberadaannya yang melimpah di perairan tropis menjadikan hewan ini diburu dan ditangkap dalam jumlah besar untuk memenuhi kebutuhan pasar," ujar Rianta.

Sebagai komoditas ekonomi yang penting bagi konsumsi lokal dan ekspor, pemenuhan permintaan pasar yang tinggi mendorong peningkatan upaya penangkapan lobster dari alam.

Sementara itu, budidaya lobster di Indonesia masih berupa rintisan, kata peneliti dari Balai Bio Industri Laut (BBIL) LIPI Sigit Anggoro Putro Dwiono.

Sigit menuturkan permasalahannya adalah infrastruktur terkait sarana pemeliharaan berupa rakit dan jaring cukup mahal, pakan masih mengandalkan ikan rucah karena belum ada pakan buatan. Harga pakan ikan rucah juga sangat fluktuatif dari kisaran Rp5 ribu sampai Rp15 ribu tergantung musim.

Selain itu, harga jual lobster di tingkat nelayan relatif murah karena melalui pengepul dan rantai perdagangannya yang panjang. Oleh karena itu jumlah pembudidaya dan sarana yang tersedia hanya sedikit.*
 

Pewarta: Martha Herlinawati S

Editor : Hence Paat


COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2020