Pembacaan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 pada Kamis (25/11) yang menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 membuat pembahasan seputar omnibus law menarik kembali untuk diangkat.
Pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dengan metode omnibus law yang dinyatakan inkonstitusional itu menghadirkan kembali pertanyaan seputar pengertian, sejarah, penerapan, dan dampak diterapkannya omnibus law.
Terkait pengertian omnibus law, Praktisi Hukum Sean Matthew mengatakan kata “omnibus” berarti banyak hal yang dijadikan satu. Kemudian, ketika dilekatkan dengan kata “law”, pengertiannya menjadi suatu peraturan undang-undang yang mengatur banyak hal.
Berdasarkan jurnal kajian Dewan Mahasiswa Justicia Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada berjudul “Mengupas Ommnibus Law Bikin Ga(k)law”, merujuk pada Black’s Law Dictionary Eleventh Edition, omnibus law merupakan penyelesaian berbagai pengaturan kebijakan tertentu yang tercantum dalam beberapa undang-undang ke dalam satu undang-undang payung.
Selanjutnya terkait sejarah, diketahui omnibus law bermuara pada negara dengan sistem hukum Anglo-Saxon (Common Law System), seperti Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Australia, dan Singapura. Sistem hukum tersebut mendasarkan diri pada putusan pengadilan sebagai sumber hukumnya.
Secara spesifik, Amerika Serikat menjadi pencetak sejarah pemberlakuan omnibus law pada tahun 1888 yang dilatarbelakangi keberadaan perjanjian privat terkait pemisahan dua rel kereta api.
Cara kerja penerapan omnibus law
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran Susi Dwi Harijanti menjelaskan omnibus law pada umumnya digunakan untuk membuat undang-undang yang lebih bersifat kebijakan daripada normatif.
Kemudian terkait sisi teknis, teknik pengaturan omnibus law lebih bersifat fungsional, yakni berorientasi pada tujuan.
Ia mencontohkan, ketika pemerintah ingin membuat suatu kebijakan, mereka menuangkannya ke dalam undang-undang untuk melegitimasi kebijakan tersebut.
Kebijakan yang dilegitimasi itu, kata Susi, bisa saja bertentangan dengan berbagai undang-undang yang telah ada. Akan tetapi dengan keberadaan omnibus law, aturan di berbagai UU tersebut diamandemen agar sesuai dengan kebijakan yang dirancang.
Dalam penjelasan yang lebih sederhana, dapat dipahami bahwa tanpa omnibus law, pemerintah membuat kebijakan dengan cara menyesuaikannya dengan berbagai undang-undang yang ada di sektor terkait.
Namun dengan menerapkan metode omnibus law, pemerintah membuat kebijakan dengan cara menyesuaikan berbagai undang-undang dari sektor terkait agar sesuai dengan kebijakan yang ingin dibuat.
Ada beberapa negara yang telah menerapkan metode omnibus law dalam pembentukan undang-undangnya.
Seperti yang dimuat dalam jurnal “Penyusunan Undang-Undang di Bidang Investasi: Kajian Pembentukan Omnibus Law di Indonesia” karya Kepala Bidang Hukum Asosiasi Pengusaha Teknologi, Informasi, dan Komunikasi Nasional (APTIKNAS) Vincent Suriadinata, Filipina merupakan salah satu negara yang pernah menerapkan omnibus law di bidang investasi.
Mereka menerbitkan Omnibus Investmen Code of 1987 yang di dalamnya mengatur bahwa investor akan diberikan sejumlah insentif dan hak-hak dasar yang menjamin usaha mereka di Filipina. Dengan Omnibus Investmen Code of 1987 itu, segala hal terkait pengaturan investasi di Filipina merujuk pada peraturan tersebut.
Selain Filipina, ada pula Amerika Serikat. Negara tersebut memiliki The Omnibus Public Land Management Act of 2009 yang menetapkan jutaan hektar lahan di Amerika Serikat sebagai kawasan lindung dan menetapkan sistem konservasi lanskap nasional.
Pembentukan undang-undang bermetode omnibus law itu disebabkan adanya keprihatinan terhadap perubahan iklim yang dapat memengaruhi akses sumber daya air. Dari segi bentuk, The Omnibus Public Land Management Act of 2009 memuat lebih dari satu materi substantif yang sebelumnya terpisah dalam beberapa undang-undang.
Dari kedua contoh itu, menurut Vincent Suriadinata, penerapan omnibus law ditujukan untuk meningkatkan efektivitas waktu dalam membahas dan mengesahkan undang-undang.
Begitu pula di Indonesia, seperti yang dikemukakan oleh Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Christina Aryani, omnibus law merupakan jalan keluar untuk mengatasi berbagai persoalan terkait peraturan perundang-undangan yang dialami Indonesia.
Jalan keluar tersebut dinilai lebih cepat, efektif, dan dapat menjadi solusi bagi harmonisasi regulasi yang ada.
Dampak omnibus law
Lalu, bagaimana dengan praktik penerapan omnibus law di Indonesia? Apakah ada dampak yang ditimbulkan dari penerapannya?
Pembentukan omnibus law termutakhir di Indonesia dinyatakan secara resmi oleh Presiden Joko Widodo dalam pidato pelantikannya sebagai Presiden Indonesia periode 2019-2024 pada 20 Oktober 2019.
Jokowi menyampaikan pemerintah mengajak DPR untuk menerbitkan dua undang-undang besar, yaitu UU Cipta Lapangan Kerja dan UU Pemberdayaan Usaha Makro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Keduanya akan menerapkan metode omnibus law sehingga menjadi satu UU dan akan merevisi beberapa undang-undang lain. Usulan tersebut kemudian dimuat dalam agenda prioritas pemerintahannya.
Namun seperti yang dikemukakan di awal, MK memutuskan pembentukan Omnibus Law Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, sepanjang tidak dimaknai "tidak dilakukan perbaikan dalam dua tahun sejak putusan ini diucapkan".
Menurut MK, Omnibus Law Cipta Kerja belum memiliki kejelasan metode antara pembuatan UU baru atau melakukan revisi.
Dari putusan tersebut, dapat diketahui masih banyak pekerjaan rumah jika Indonesia memang ingin menerapkan metode omnibus law dalam pembentukan undang-undang.
Menurut Susi Dwi Harijanti, penggunaan metode omnibus law memang membutuhkan pertimbangan yang matang karena dalam membentuk undang-undang tersebut dapat menimbulkan sejumlah dampak, khususnya di Indonesia.
Pertama dalam jangka panjang, pembentukan omnibus law dapat menimbulkan ketidakpastian. Hal tersebut disebabkan omnibus law membentuk undang-undang dengan dasar yang sifatnya kebijakan.
Lalu, sering kali kebijakan tersebut mengesampingkan konsep dan pranata normatif pada undang-undang sektoral.
Ketidakpastian itu, lanjut Susi, juga bisa timbul seiring dengan adanya pergantian rezim pemerintahan. Jika itu terjadi, pemerintah yang baru belum tentu berkeinginan untuk melanjutkan kebijakan-kebijakan yang ada pada omnibus law.
Selain itu, dampak penerapan omnibus law juga ada apabila dia terlalu sering diterapkan. Metode itu dapat melahirkan kebiasaan pada penguasa untuk menghalalkan segala cara demi mencapai tujuannya melalui kebijakan yang dibuat.
Dari seluruh pemaparan di atas, sudah sepatutnya penerapan omnibus law mempertimbangkan banyak hal, baik regulasi yang mendasarinya hingga dampak-dampak yang ada setelahnya. Apabila pertimbangan tersebut telah menyentuh kata selesai, tentu saja keberadaannya diutamakan pula semata-mata untuk kesejahteraan masyarakat, tanpa berorientasi pada kepentingan pihak tertentu.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2021