Jakarta (ANTARA GORONTALO) - Kematian Siyono (33) yang diduga akibat
penganiayaan Detasemen Khusus 88 Polri mengundang reaksi keras berbagai
pihak, termasuk organisasi kemasyarakat Islam besar Muhammadiyah, dan
belakangan juga Nahdlatul Ulama (NU).
Muhammadiyah secara khusus memberikan advokasi terhadap keluarga Siyono dan kencang mendesak pemerintah agar mengungkap tuntas secara terang benderang kematian suami Sri Muryani itu.
Muhammadiyah dan NU merupakan dua ormas Islam besar di Tanah Air yang tidak diragukan lagi komitmennya terhadap pemberantasan terorisme. Kedua ormas ini tak ragu mengecam aksi terorisme, baik yang terjadi di dalam negeri maupun di luar negeri.
Namun, kali ini, dalam kasus kematian Siyono, kedua ormas ini tampak terusik. Mereka menilai ada kemungkinan tindakan "kebablasan" dalam pemberantasan terorisme di Tanah Air.
Sekretaris Umum Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah Abdul Muti mengatakan bahwa Siyono bukanlah anggota persyarikatan itu. Pembelaan organisasinya terhadap kematian Siyono didasarkan pada alasan kemanusiaan.
"Pembelaan terhadap Siyono didasari oleh alasan kemanusiaan. Muhammadiyah melihat ada potensi pelanggaran HAM oleh Densus 88," kata Abdul Muti.
Muti menegaskan bahwa Muhammadiyah menentang keras setiap bentuk terorisme dan mendukung sepenuhnya pencegahan dan pemberantasan terorisme. Namun, Muhammadiyah tidak setuju dengan pendekatan militeristik dan preemtif yang berpotensi melanggar HAM.
Sementara itu Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Maruf Amin menegaskan bahwa pengungkapan fakta kematian Siyono perlu dilakukan karena saat ini masih ada kontroversi mengenai statusnya.
"Ada isu bahwa dia itu adalah teroris, ada yang membantah," kata pemimpin tertinggi NU itu.
Mantan Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi yang kini menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden angkat topi atas perjuangan Muhammadiyah yang mendesak dilakukannya autopsi jenazah Siyono untuk mengetahui latar belakang kematiannya.
"Saya hormat kepada perjuangan Muhammadiyah yang meminta dan mengawal autopsi Siyono," kata Pengasuh Pondok Pesantren Al Hikam ini.
Menurut Hasyim, perjuangan Muhammadiyah perlu diapresiasi agar tetap ada unsur keadilan dalam masalah Siyono. Selain itu, kata dia, autopsi juga diperlukan untuk mengukur apakah ada "overacting" dari personel Densus 88 atau tidak.
Ia mengatakan sudah berkali-kali meminta kepada aparat yang berwenang melakukan kekerasan atas nama Negara agar bertindak "indonesiawi".
Menurut dia, pola pemberantasan terorisme di Indonesia haruslah untuk kepentingan semata-mata keselamatan Indonesia.
"Jangan menggunakan pola amerikani atau westernisasi dalam pemberantasan teroris di Indonesia," kata dia menegaskan.
Menurut Hasyim yang juga Sekjen International Conference of Islamic Scholars (ICIS) itu, perang terhadap terorisme oleh pihak Barat sebenarnya bukanlah semata-mata kepentingan masalah bangsa, tapi punya kepentingan lebih luas dan komprehensif.
"Muhammadiyah bisa disebut sebagai mewakili umat Islam dan rasa keadilan indonesiawi," katanya.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia Miko Susanto Ginting mengatakan bahwa perang terhadap terorisme bukan berarti bebas melakukan apa pun dalam konteks perang yang sebenarnya.
Menurut dia perlu ada pengategorian dalam penanganan kasus terorisme. Upaya penanganan terorisme seperti penggeledahan, penangkapan, penahanan harus diatur secara lebih rigid lagi.
"Kategori itu penting dalam penanganan kasus terorisme. Seperti kasus Siyono belum ditersangkakan, kata terduga itu tidak ada dalam nomenklatur hukum. Kalau menersangkakan orang itu harus ada bukti," ujar Miko di kantor Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Menteng, Jakarta, Jumat (1/4).
Ia mengatakan kematian Siyono menambah panjang deretan orang yang diduga dan dikenakan upaya paksa yang berujung pada kematian.
"Ada 121 orang terduga teroris yang belum dikenakan status apa pun, diproses paksa dan akhirnya meninggal," kata Miko.
Mantan Komandan Densus 88 Irjen Pol Tito Karnavian yang kini menjabat sebagai Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) meminta kasus tewasnya terduga teroris Siyono jangan sampai melemahkan Densus Antiteror 88 Polri.
"Teman-teman anggota Densus 88 Antiteror Mabes Polri, mereka sudah bekerja keras, tidak pulang, dan tanpa pamrih jangan dilemahkan," katanya di Solo, Jawa Tengah, Kamis (31/3).
Mantan Kapolda Papua dan Metro Jaya itu pun meminta masyarakat tetap harus memberikan dukungan terhadap aparat dalam penanganan terorisme.
"Jika tidak, kelompok teroris akan menari-nari. Pasukan Densus 88 sudah mempelajari semenjak kejadian Bom Bali, dan jaringannya sangat kompleks sekali. Jika ada upaya untuk melemahkan atau mencari kesalahan mereka, berarti tidak mencintai NKRI," katanya.
Sementara itu Direktur Pembinaan Kemampuan pada BNPT Kombes Pol Fachrudin mengatakan masalah Siyono memang bukan domain BNPT, namun tetap menjadi perhatian lembaganya.
Menurut Fachrudin, bila Densus 88 benar dalam prosedur, maka BNPT memberikan dukungan penuh.
"Kalau dianggap keliru, ya mereka harus bertanggung jawab," katanya pada "Sharing Informasi Dalam Rangka Penanggulangan Terorisme" di Yogyakarta, Jumat (1/4).
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2016
Muhammadiyah secara khusus memberikan advokasi terhadap keluarga Siyono dan kencang mendesak pemerintah agar mengungkap tuntas secara terang benderang kematian suami Sri Muryani itu.
Muhammadiyah dan NU merupakan dua ormas Islam besar di Tanah Air yang tidak diragukan lagi komitmennya terhadap pemberantasan terorisme. Kedua ormas ini tak ragu mengecam aksi terorisme, baik yang terjadi di dalam negeri maupun di luar negeri.
Namun, kali ini, dalam kasus kematian Siyono, kedua ormas ini tampak terusik. Mereka menilai ada kemungkinan tindakan "kebablasan" dalam pemberantasan terorisme di Tanah Air.
Sekretaris Umum Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah Abdul Muti mengatakan bahwa Siyono bukanlah anggota persyarikatan itu. Pembelaan organisasinya terhadap kematian Siyono didasarkan pada alasan kemanusiaan.
"Pembelaan terhadap Siyono didasari oleh alasan kemanusiaan. Muhammadiyah melihat ada potensi pelanggaran HAM oleh Densus 88," kata Abdul Muti.
Muti menegaskan bahwa Muhammadiyah menentang keras setiap bentuk terorisme dan mendukung sepenuhnya pencegahan dan pemberantasan terorisme. Namun, Muhammadiyah tidak setuju dengan pendekatan militeristik dan preemtif yang berpotensi melanggar HAM.
Sementara itu Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Maruf Amin menegaskan bahwa pengungkapan fakta kematian Siyono perlu dilakukan karena saat ini masih ada kontroversi mengenai statusnya.
"Ada isu bahwa dia itu adalah teroris, ada yang membantah," kata pemimpin tertinggi NU itu.
Mantan Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi yang kini menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden angkat topi atas perjuangan Muhammadiyah yang mendesak dilakukannya autopsi jenazah Siyono untuk mengetahui latar belakang kematiannya.
"Saya hormat kepada perjuangan Muhammadiyah yang meminta dan mengawal autopsi Siyono," kata Pengasuh Pondok Pesantren Al Hikam ini.
Menurut Hasyim, perjuangan Muhammadiyah perlu diapresiasi agar tetap ada unsur keadilan dalam masalah Siyono. Selain itu, kata dia, autopsi juga diperlukan untuk mengukur apakah ada "overacting" dari personel Densus 88 atau tidak.
Ia mengatakan sudah berkali-kali meminta kepada aparat yang berwenang melakukan kekerasan atas nama Negara agar bertindak "indonesiawi".
Menurut dia, pola pemberantasan terorisme di Indonesia haruslah untuk kepentingan semata-mata keselamatan Indonesia.
"Jangan menggunakan pola amerikani atau westernisasi dalam pemberantasan teroris di Indonesia," kata dia menegaskan.
Menurut Hasyim yang juga Sekjen International Conference of Islamic Scholars (ICIS) itu, perang terhadap terorisme oleh pihak Barat sebenarnya bukanlah semata-mata kepentingan masalah bangsa, tapi punya kepentingan lebih luas dan komprehensif.
"Muhammadiyah bisa disebut sebagai mewakili umat Islam dan rasa keadilan indonesiawi," katanya.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia Miko Susanto Ginting mengatakan bahwa perang terhadap terorisme bukan berarti bebas melakukan apa pun dalam konteks perang yang sebenarnya.
Menurut dia perlu ada pengategorian dalam penanganan kasus terorisme. Upaya penanganan terorisme seperti penggeledahan, penangkapan, penahanan harus diatur secara lebih rigid lagi.
"Kategori itu penting dalam penanganan kasus terorisme. Seperti kasus Siyono belum ditersangkakan, kata terduga itu tidak ada dalam nomenklatur hukum. Kalau menersangkakan orang itu harus ada bukti," ujar Miko di kantor Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Menteng, Jakarta, Jumat (1/4).
Ia mengatakan kematian Siyono menambah panjang deretan orang yang diduga dan dikenakan upaya paksa yang berujung pada kematian.
"Ada 121 orang terduga teroris yang belum dikenakan status apa pun, diproses paksa dan akhirnya meninggal," kata Miko.
Mantan Komandan Densus 88 Irjen Pol Tito Karnavian yang kini menjabat sebagai Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) meminta kasus tewasnya terduga teroris Siyono jangan sampai melemahkan Densus Antiteror 88 Polri.
"Teman-teman anggota Densus 88 Antiteror Mabes Polri, mereka sudah bekerja keras, tidak pulang, dan tanpa pamrih jangan dilemahkan," katanya di Solo, Jawa Tengah, Kamis (31/3).
Mantan Kapolda Papua dan Metro Jaya itu pun meminta masyarakat tetap harus memberikan dukungan terhadap aparat dalam penanganan terorisme.
"Jika tidak, kelompok teroris akan menari-nari. Pasukan Densus 88 sudah mempelajari semenjak kejadian Bom Bali, dan jaringannya sangat kompleks sekali. Jika ada upaya untuk melemahkan atau mencari kesalahan mereka, berarti tidak mencintai NKRI," katanya.
Sementara itu Direktur Pembinaan Kemampuan pada BNPT Kombes Pol Fachrudin mengatakan masalah Siyono memang bukan domain BNPT, namun tetap menjadi perhatian lembaganya.
Menurut Fachrudin, bila Densus 88 benar dalam prosedur, maka BNPT memberikan dukungan penuh.
"Kalau dianggap keliru, ya mereka harus bertanggung jawab," katanya pada "Sharing Informasi Dalam Rangka Penanggulangan Terorisme" di Yogyakarta, Jumat (1/4).
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2016