Gorontalo,  (ANTARA GORONTALO) - Jasmani (38) duduk tepat di hadapan setumpuk kunyit siang itu. Kunyit tersebut adalah hasil panen yang diperoleh hanya dari pekarangannya.

Sejak tahun 2011, bapak tiga anak itu memang tak memiliki lahan lain untuk bertani. Sebagian besar waktunya habis untuk menggarap lahan milik orang lain, karena tanahnya digadaikan kepada perusahaan sawit.

"Tahun 2011 ada perusahaan sawit masuk ke sini, namanya Wira Sawit Mandiri. Saya ikut program plasma yang ditawarkan. Lahan saya dua paket, sekitar 1,5 hektare," kenangnya.

Saat itu, kata dia, perusahaan menjanjikan sistem bagi hasil dengan petani. Namun sampai lahan sawitnya terjual, Jasmani tak pernah tahu berapa sebenarnya hasil yang akan diperoleh dari bermitra dengan perusahaan sawit.

"Saya tidak sabar menunggu hasil sawit. Saya terpaksa menjual lahan plasma ke orang lain seharga delapan juta rupiah. Uangnya saya belikan hewan ternak, minimal saya ada pemasukan setiap bulan," ujarnya.

Dusun Terjun Harapan itu terletak di Desa Puncak Jaya, Kecamatan Taluditi Kabupaten Pohuwato. Dari 42 kepala keluarga yang tinggal di dusun itu, hanya lima di antaranya yang menolak sawit. Dulu mayoritas warga di wilayah itu adalah petani kakao.

"Kakao waktu itu digusur untuk diganti dengan sawit. Tapi sampai sekarang warga belum merasakan keuntungan sawit. Bahkan hasil panen mereka banyak yang tidak diangkut oleh perusahaan, dibiarkan saja menumpuk di pinggir jalan," tambahnya.



Tolak Sawit


Di Kabupaten Pohuwato, ada enam perusahaan sawit yang beroperasi. Empat di antaranya adalah Kencana Group yakni PT. Sawindo Cemerlang memiliki izin 20.000 hektare di Kecamatan Popayato Barat, PT.Sawit Tiara Nusa sebesar 10.000 hektare di Kecamatan Popayato Timur, PT. Wiramas Permai sebesar 20.165 hektare di Kecamatan Popayato, dan PT. Wira Sawit Mandiri sebesar 9.164 di Kecamatan Taluditi.

Sementara dua perusahaan lainnya adalah PT. Inti Global Laksana dengan izin 12.000 hektare di Kecamatan Lemito dan PT. Banyan Tumbuh Lestari sebesar 6.990 hektare di Kecamatan Popayato. Keduanya termasuk dalam Saratoga Group, milik pengusaha muda asal Gorontalo, Sandiaga Uno.

Dalam dokumen Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) Tahun 2010, PT. Wira Sawit Mandiri telah mendapatkan izin lokasi dari Bupati Pohuwato No. 2/01/I/2010 . Izin tersebut untuk lahan seluas 9.146 hektare yang terletak di Kecamatan Taluditi, Kecamatan Duhiadaa, Kecamatan Buntulia, Kecamatan Marisa di Kabupaten Pohuwato.

Di Kecamatan Taluditi, sebagai tahap awal perusahaan tersebut berencana membuka perkebunan sawit 320 hektare di Desa Puncak Jaya (UPT Marisa VI Sub B), 450 hektare di Desa Panca Karsa II, dan Desa Makarti Jaya seluas 150 hektare. Keseluruhan lahan itu merupakan lahan peruntukan lain dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Pohuwato.

Meski gencar melancarkan bujuk rayu di desa-desa tersebut, kenyataannya perusahaan sawit gagal menancapkan investasinya di Makarti Jaya. Warga desa itu menolak kehadiran sawit hingga saat ini. Alasannya tidak ingin beralih dari kakao, yang telah menjadi tulang punggung kehidupan warga di kawasan transmigrasi itu.

"Masyarakat menolak perusahaan masuk ke sini. Lahan itu kalau sudah dikuasai sawit, perluasan lahan masyarakat susah karena sudah diblok perusahaan," kata warga Makarti Jaya, Abdul Hasan. Pria yang akrab dipanggil Abang itu memiliki kebun seluas tujuh hektare. Ia menanam jagung, kelapa, ubi, pisang, namun lebih didominasi oleh tanaman kakao.

Abang menerapkan sistem kebun campur, agar bisa memanen secara bergantian. Ia memanen tanaman kakao dua kali dalam setahun, dengan harga jual per kilogram berkisar antara Rp10.000 hingga Rp20.000.

"Kalau jual basah kakao hanya 10 ribu, tapi kalau dijual dalam keadaan kering seperti kacang bisa 20 ribu per kilo. Saya sendiri biasanya menjual biji kakao yang masih basah, repot kalau harus mengeringkan dulu," ungkapnya.

Menurutnya tanaman tersebut lebih menjanjikan daripada sawit, karena lahan masih bisa ditanami dengan komoditi lainnya.



Prospek Kakao



Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Tahun 2012, perkebunan kakao di Provinsi Gorontalo terdapat di tiga kabupaten yakni Pohuwato dengan luas 2.414 hektare dan produksi 2.166 ton, Kabupaten Boalemo seluas 636 hektare dan produksi 307 ton, serta Kabupaten Gorontalo Utara 175 hektare dan produksi 156 ton.

Sementara untuk Pohuwato, produksi kakao terbesar ada di Kecamatan Taluditi. Data Burung Indonesia, perhimpunan yang konsen pada restorasi ekosistem, menyebut lahan kakao di Taluditi tersebar di tujuh desa dengan produksi yang bervariasi.

Setiap tahun produksi kakao di Desa Makarti Jaya sekitar 328 ton, Panca Karsa I sebanyak 811 ton, Panca Karsa II 702 ton, Tirto Asri 18,72 ton, Kalimas 24,16 ton, Malango 3,78 ton dan Puncak Jaya 3,78 ton.

BbKepala Desa Makarti Jaya, Suharto mengatakan kakao ditanam di wilayah itu sejak tahun 1996. Saat itu pemerintah membagikan bibit pohon kakao sebanyak 150 untuk setiap KK transmigran.

Menurutnya warga tetap membudidayakan kakao hingga saat ini, meski dalam pemasarannya masih bergantung pada tengkulak. Jumlah penduduk Makarti Jaya hingga tahun 2015 adalah 915 jiwa atau 292 KK, dan 95 persen di antaranya adalah petani kakao.

Meskipun fokus pada pengembangan kakao, namun petani Taluditi mengalami kendala dalam perawatan kakao sehingga hasil panen kurang maksimal.

"Dulu kami merawat kakao asal-asalan. Tapi setelah belajar dari petani di Sulawesi Selatan, kami sadar masih banyak kekurangan pada hasil kakao di sini," lanjut Suharto.

Taluditi sendiri termasuk dalam Bentang Alam Popayato-Paguat, yang menjadi wilayah kerja Burung Indonesia untuk program Restorasi Ekosistem. Tak hanya fokus pelestarian burung, perhimpunan ini juga mendorong masyarakat di desa yang berbatasan dengan kawasan hutan dalam mengembangkan kakao.

"Kami memfasilitasi petani dari empat desa untuk belajar budidaya kakao yang lebih baik di Sulawesi Selatan. Juga untuk membuka jaringan pemasaran kakao ke daerah lain, karena selama ini hasil panen dari Taluditi hanya dikirim ke Sulawesi Tengah," kata Kusnadi Darmawan dari Burung Indonesia.

Selain itu, pihaknya juga memfasilitas terbentuknya wadah bagi petani di kecamatan tersebut. Saat ini telah terbentuk lima kelompok petani kakao di Taluditi, yang masing-masing beranggotakan 11 sampai 27 orang. Pertengahan tahun 2016, para petani menargetkan produksi olahan kakao berupa cokelat siap saji. Produk tersebut diberi nama Chocolati (cokelat Taluditi).

Chocolati akan menjadi masa depan bagi petani kakao Taluditi, namun tidak bagi yang lahannya tersandera oleh sawit.

Pewarta: Debby Hariyanti Mano

Editor : Hence Paat


COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2016