Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat bahwa terdapat 103 korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) atau pemerkosaan berakibat kehamilan yang melaporkan kasusnya langsung ke Komnas Perempuan sejak 2018 hingga 2023.
"Hampir seluruhnya tidak mendapatkan akses aborsi aman," kata Anggota Komnas Perempuan Retty Ratnawati saat dikonfirmasi di Jakarta, Senin.
Padahal, menurutnya, ketika layanan aborsi aman tidak tersedia, korban berisiko menempuh praktik aborsi tidak aman yang berakibat fatal pada dirinya ataupun kemudian menempatkannya menjadi pihak berkonflik dengan hukum atas tuntutan aborsi menghilangkan nyawa bayi yang baru dilahirkannya.
"Kondisi ini menjadikan korban tindak pidana kekerasan seksual semakin terpuruk," katanya.
Pihaknya menuturkan kasus di Jambi pada 2018 dengan korban anak perempuan berinisial WA (15 tahun), korban perkosaan kakak kandung, yang dikriminalkan bersama dengan ibunya karena melakukan aborsi dari kehamilan akibat perkosaan tersebut merupakan salah satu contoh situasi yang dimaksud.
Pihaknya mengatakan Komnas Perempuan mengapresiasi penegasan dalam Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (PP Kesehatan) bahwa keputusan untuk aborsi menjadi otoritas pada korban.
Namun demikian, pihaknya juga memandang adanya potensi pengurangan akses korban kekerasan seksual dengan kehamilan tidak dikehendaki atas aborsi dalam PP Kesehatan.
"Merekomendasikan kepada pihak pemerintah untuk menguatkan tugas pembinaan dan evaluasi, guna memastikan akses yang lebih baik bagi perempuan korban tindak pidana kekerasan seksual dalam pelaksanaan layanan aborsi aman," kata Retty Ratnawati.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Komnas Perempuan: Ada 103 korban TPKS berakibat kehamilan sejak 2018
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2024
"Hampir seluruhnya tidak mendapatkan akses aborsi aman," kata Anggota Komnas Perempuan Retty Ratnawati saat dikonfirmasi di Jakarta, Senin.
Padahal, menurutnya, ketika layanan aborsi aman tidak tersedia, korban berisiko menempuh praktik aborsi tidak aman yang berakibat fatal pada dirinya ataupun kemudian menempatkannya menjadi pihak berkonflik dengan hukum atas tuntutan aborsi menghilangkan nyawa bayi yang baru dilahirkannya.
"Kondisi ini menjadikan korban tindak pidana kekerasan seksual semakin terpuruk," katanya.
Pihaknya menuturkan kasus di Jambi pada 2018 dengan korban anak perempuan berinisial WA (15 tahun), korban perkosaan kakak kandung, yang dikriminalkan bersama dengan ibunya karena melakukan aborsi dari kehamilan akibat perkosaan tersebut merupakan salah satu contoh situasi yang dimaksud.
Pihaknya mengatakan Komnas Perempuan mengapresiasi penegasan dalam Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (PP Kesehatan) bahwa keputusan untuk aborsi menjadi otoritas pada korban.
Namun demikian, pihaknya juga memandang adanya potensi pengurangan akses korban kekerasan seksual dengan kehamilan tidak dikehendaki atas aborsi dalam PP Kesehatan.
"Merekomendasikan kepada pihak pemerintah untuk menguatkan tugas pembinaan dan evaluasi, guna memastikan akses yang lebih baik bagi perempuan korban tindak pidana kekerasan seksual dalam pelaksanaan layanan aborsi aman," kata Retty Ratnawati.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Komnas Perempuan: Ada 103 korban TPKS berakibat kehamilan sejak 2018
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2024