Sydney (ANTARA GORONTALO) - Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan
(Menkopolhukam) Luhut Binsar Panjaitan menargetkan revisi Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dapat
selesai bulan ini.
"Saat ini kami sedang berupaya untuk meloloskan revisi UU Pemberantasan Terorisme yang memberikan kewenangan bagi badan intelijen untuk melakukan tindakan preemtive sehingga dibolehkan untuk melakukan interogasi terhadap orang atau suatu pertemuan yang diduga terkait dengan terorisme," kata Luhut di Sydney, Rabu.
Luhut berbicara dalam konferensi pers "Australia-Indonesia Ministerial Council on Law and Security" kedua yang diselenggarakan di Sydney, Australia. Hadir juga dalam konferensi pers tersebut Jaksa Agung Australia George Brandis dan Menteri Kehakiman yang juga Menteri Khusus Urusan Terorisme Michael Keenan.
"Kami sebelumnya tidak bisa melakukan hal itu (preemtive action) tapi kalau kami bisa meloloskan UU ini pada akhir bulan ini atau bulan depan paling lambat maka kami dapat melakukan tindakan yang lebih baik untuk mengatasi terorisme," tambah Luhut.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menurut Luhut dibutuhkan apalagi tentara koalisi semakin melancarkan serangan terhadap gerakan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
"Tekanan makin besar karena tentara koalisi melakukan serangan lebih besar ke Timur Tengah dan mungkin saja sejumlah pemimpin ISIS berniat untuk datang ke Indonesia tapi kami juga bekerja keras, tentu bersama dengan negara lain untuk mencegah mereka kembali ke Indonesia, dan sudah ada beberapa orang yang ditangkap," tambah Luhut.
Sementara George Barnis menilai bahwa revisi UU Antiterorisme itu diperlukan sebagai dasar legal bagi Indonesia untuk melakukan pemberantasan terorisme.
"Jelas UU tersebut adalah hasil bahwa Indonesia berupa menganalisis apa yang dilakukan Australia untuk mencegah teroris dengan membuat UU yang mendukung hal itu. Kerja sama ini juga mencakup berbagi data intelijen. Apalagi harus diingat bahwa kondisi sudah berubah sejak September 2014 saat ada beberapa terduga teroris mencoba masuk ke tanah Australia tapi kami sudah menghentikan mereka yang mencoba masuk ke Australia," kata Jaksa Agung Australia George Barnis.
Menurut Barnis, saat ini ada 110 warga Australia yang terkait dengan kelompok teroris di Suriah, 190 warga Australia yang diperiksa karena diduga mendukung kelompok ISIS termasuk dengan memberikan bantuan keuangan atau mencoba untuk pergi ke Irak dan Suriah.
"Selanjutnya ada 61 warga Australia yang terbunuh karena konflik tersebut dan sekitar 40 orang Australia yang kembali ke sini setelah bergabung dengan kelompok di Suriah dan 175 paspor warga Australia yang dibekukan karena terkait dengan konflik Suriah dan Irak ini," jelas Barnis.
Pemerintah Australia, menurut Barnis, sudah berkali-kali mengingatkan warganya agar tidak mencoba untuk bergabung ke ISIS.
"Angka-angka itu untuk memperlihatkan bahwa pemerintah sudah berulang kali mengingatkan warga Australia agar jangan sekali-sekali dalam keadaan apapun bepergian ke perang sipil di luar negeri khususnya konflik di Irak dan Suriah karena hal itu dikategorikan sebagai perbuatan kriminal dan melawan hukum Australia, sangat membahayakan nyawa sendiri dan bahkan dengan berpartisipasi dalam perang itu dan kembali ke Australia akan diadili sesuai hukum di sini sehingga tidak akan berani mencoba melakukan hal tersebut lagi," tegas Barnis.
George Brandis dalam pertemuan itu didampingi antara lain oleh Menteri Kehakiman Australia Michael Keenan dan juga mantan Duta Besar Australia untuk Indonesia Greg Moriarty yang saat ini menjawab sebagai Koordinator Badan Nasional Anti Terorisme Indonesia.
Sementara rombongan Indonesia dipimpin oleh Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan, Kapolri Jenderal Pol Badrodin Haiti, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Komjen Pol Tito Karnavian, Direktur Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM Ronny F Sompie dan delegasi lainnya.
Pertemuan pertama kedua negara telah dilaksanakan pada 21 Desember 2015 yang juga membahas mengenai penanggulangan terorisme, keamanan siber (cyber security) dan operasi intelijen.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2016
"Saat ini kami sedang berupaya untuk meloloskan revisi UU Pemberantasan Terorisme yang memberikan kewenangan bagi badan intelijen untuk melakukan tindakan preemtive sehingga dibolehkan untuk melakukan interogasi terhadap orang atau suatu pertemuan yang diduga terkait dengan terorisme," kata Luhut di Sydney, Rabu.
Luhut berbicara dalam konferensi pers "Australia-Indonesia Ministerial Council on Law and Security" kedua yang diselenggarakan di Sydney, Australia. Hadir juga dalam konferensi pers tersebut Jaksa Agung Australia George Brandis dan Menteri Kehakiman yang juga Menteri Khusus Urusan Terorisme Michael Keenan.
"Kami sebelumnya tidak bisa melakukan hal itu (preemtive action) tapi kalau kami bisa meloloskan UU ini pada akhir bulan ini atau bulan depan paling lambat maka kami dapat melakukan tindakan yang lebih baik untuk mengatasi terorisme," tambah Luhut.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menurut Luhut dibutuhkan apalagi tentara koalisi semakin melancarkan serangan terhadap gerakan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
"Tekanan makin besar karena tentara koalisi melakukan serangan lebih besar ke Timur Tengah dan mungkin saja sejumlah pemimpin ISIS berniat untuk datang ke Indonesia tapi kami juga bekerja keras, tentu bersama dengan negara lain untuk mencegah mereka kembali ke Indonesia, dan sudah ada beberapa orang yang ditangkap," tambah Luhut.
Sementara George Barnis menilai bahwa revisi UU Antiterorisme itu diperlukan sebagai dasar legal bagi Indonesia untuk melakukan pemberantasan terorisme.
"Jelas UU tersebut adalah hasil bahwa Indonesia berupa menganalisis apa yang dilakukan Australia untuk mencegah teroris dengan membuat UU yang mendukung hal itu. Kerja sama ini juga mencakup berbagi data intelijen. Apalagi harus diingat bahwa kondisi sudah berubah sejak September 2014 saat ada beberapa terduga teroris mencoba masuk ke tanah Australia tapi kami sudah menghentikan mereka yang mencoba masuk ke Australia," kata Jaksa Agung Australia George Barnis.
Menurut Barnis, saat ini ada 110 warga Australia yang terkait dengan kelompok teroris di Suriah, 190 warga Australia yang diperiksa karena diduga mendukung kelompok ISIS termasuk dengan memberikan bantuan keuangan atau mencoba untuk pergi ke Irak dan Suriah.
"Selanjutnya ada 61 warga Australia yang terbunuh karena konflik tersebut dan sekitar 40 orang Australia yang kembali ke sini setelah bergabung dengan kelompok di Suriah dan 175 paspor warga Australia yang dibekukan karena terkait dengan konflik Suriah dan Irak ini," jelas Barnis.
Pemerintah Australia, menurut Barnis, sudah berkali-kali mengingatkan warganya agar tidak mencoba untuk bergabung ke ISIS.
"Angka-angka itu untuk memperlihatkan bahwa pemerintah sudah berulang kali mengingatkan warga Australia agar jangan sekali-sekali dalam keadaan apapun bepergian ke perang sipil di luar negeri khususnya konflik di Irak dan Suriah karena hal itu dikategorikan sebagai perbuatan kriminal dan melawan hukum Australia, sangat membahayakan nyawa sendiri dan bahkan dengan berpartisipasi dalam perang itu dan kembali ke Australia akan diadili sesuai hukum di sini sehingga tidak akan berani mencoba melakukan hal tersebut lagi," tegas Barnis.
George Brandis dalam pertemuan itu didampingi antara lain oleh Menteri Kehakiman Australia Michael Keenan dan juga mantan Duta Besar Australia untuk Indonesia Greg Moriarty yang saat ini menjawab sebagai Koordinator Badan Nasional Anti Terorisme Indonesia.
Sementara rombongan Indonesia dipimpin oleh Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan, Kapolri Jenderal Pol Badrodin Haiti, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Komjen Pol Tito Karnavian, Direktur Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM Ronny F Sompie dan delegasi lainnya.
Pertemuan pertama kedua negara telah dilaksanakan pada 21 Desember 2015 yang juga membahas mengenai penanggulangan terorisme, keamanan siber (cyber security) dan operasi intelijen.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2016