Serangan drone yang menewaskan lebih dari 200 Muslim Rohingya yang melarikan diri di dekat perbatasan Bangladesh pada Senin (5/8) telah memaksa ratusan orang lainnya untuk kembali ke kampung halaman mereka.
Sementara ribuan lainnya masih berlindung di area persawahan menunggu waktu untuk dapat melintasi perbatasan Bangladesh, kata sebuah kelompok hak asasi manusia pada Minggu (11/8).
Dengan mempertaruhkan nyawa mereka, beberapa ratus orang telah bergerak menuju daerah yang dikuasai oleh kelompok pemberontak, yang diduga melakukan serangan drone mematikan di dekat Sungai Naf yang merupakan batas alami antara Bangladesh dan Myanmar.
“Rohingya di Maungdaw masih berusaha melarikan diri ke Bangladesh. Beberapa melarikan diri ke daerah yang dikuasai oleh Tentara Arakan karena mereka tidak melihat alternatif lain,” kata Nay San Lwin, salah satu pendiri Free Rohingya Coalition, kepada Anadolu.
Free Rohingya Coalition adalah jaringan global aktivis Rohingya.
Serangan mematikan pada Senin (5/8) terjadi di kota Maungdaw di negara bagian Rakhine Myanmar, yang berbatasan dengan Bangladesh.
Video yang diunggah di media sosial menunjukkan tumpukan tubuh berserakan di tanah berlumpur, dengan barang-barang mereka berserakan di sekitarnya.
Serangan terbaru ini, yang dianggap sebagai bagian dari serangan yang sedang berlangsung oleh kelompok pemberontak terhadap Rohingya, telah meningkatkan kekhawatiran akan eskalasi lebih lanjut kekerasan terhadap orang-orang yang melarikan diri, yang telah mengalami operasi pembersihan sistematis oleh junta militer Myanmar.
Ribuan Rohingya telah melarikan diri ke kota terdekat Maungdaw setelah penangkapan di kota Buthidaung oleh pemberontak pada Mei tahun ini.
Buthidaung memiliki populasi Rohingya terbesar sejak gelombang kekerasan besar terhadap Rohingya pada 2017 oleh tentara Myanmar.
Rekrutmen paksaTentara Arakan "memaksa" pemuda Rohingya mau direkrut di Buthidaung, selain melakukan "banyak" pelanggaran lainnya, menurut Nay.
“Dalam beberapa hari terakhir, Tentara Arakan telah memerintahkan dua desa, Sein Hynin Pyar dan Hpon Nyo Leik, untuk menyediakan setidaknya 100 pemuda Rohingya,” katanya.
Kelompok pemberontak, menurutnya, mengancam bahwa desa-desa Rohingya akan dibakar jika tidak menyediakan para pemuda untuk menjadi anggota pasukan mereka.
Keluarga-keluarga Rohingha dipaksa membayar uang dalam jumlah besar untuk menghindari rekrutmen paksa, tambahnya.
Tentara Arakan yang telah membunuh hampir 2.000 Rohingya dan membakar ribuan rumah Rohingya di Buthidaung pada bulan Mei, mulai menargetkan komunitas Muslim di Maungdaw pada awal Juni, menurut Nay.
Sejak saat itu, tambahnya, setidaknya 400 Rohingya telah terbunuh di Maungdaw.
“Rohingya di Maungdaw masih melarikan diri, tetapi karena kebijakan ketat Bangladesh yang tidak mengizinkan pengungsi baru, banyak yang ditolak di perbatasan, dan beberapa telah dikembalikan ke Myanmar baru-baru ini,” kata Nay.
Saat ini, beberapa Rohingya melarikan diri ke daerah yang dikuasai oleh Tentara Arakan.
“Situasi kemanusiaan sangat kritis. Penderitaan di Buthidaung tidak dapat dibayangkan,” ujarnya.
Sekitar 600.000 anggota kelompok etnis mayoritas Muslim ini masih berada di negara bagian tersebut, sementara lebih dari 750.000 pengungsi Rohingya, kebanyakan wanita dan anak-anak, melarikan diri dari Myanmar.
Sebagian menyeberang ke Bangladesh setelah pasukan Myanmar melancarkan tindakan keras terhadap komunitas minoritas Muslim pada Agustus 2017, sehingga jumlah orang yang teraniaya di Bangladesh melebihi 1,2 juta.
Tentara Arakan menghentikan perjanjian gencatan senjata pada November yang berlaku sejak kudeta militer Februari 2021.
Sumber: Anadolu-OANA
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Serangan drone paksa 200 etnis Rohingya jauhi perbatasan Bangladesh
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2024