Pekan Olahraga Nasional (PON) Aceh-Sumatera Utara 2024 menuai kritik akibat buruknya beberapa fasilitas atlet, yang lalu mengundang suara miring mengenai bagaimana dana PON dikelola oleh penyelenggara acara akbar olahraga di Indonesia ini.

Isu seperti itu sendiri sudah klasik karena kerap muncul dalam hampir setiap kali penyelenggaraan PON, termasuk tiga tahun lalu di Papua ketika provinsi ini menggelar PON Ke-20.

Pada 3 September lalu, Kejaksaan Tinggi Papua menetapkan empat tersangka kasus korupsi dana penyelenggaraan PON 2020 yang diadakan setahun lebih lambat akibat pandemi Covid-19 itu.

Keempat orang itu diduga memperoleh keuntungan pribadi dari penyelenggaraan PON Papua. PON edisi kedua puluh itu menghabiskan anggaran sebesar Rp10 triliun.

Sembilan hari kemudian, pada 12 September, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyatakan akan berkoordinasi dengan Kementerian Pemuda dan Olahraga guna mendalami dugaan korupsi proyek venue PON 2024.

Jika menemukan fakta dan bukti adanya penyelewengan dana PON, kata Jenderal Listyo Sigit, Polri akan menerjunkan penyidik-penyidik guna menyelidiki dugaan korupsi tersebut.



Kembali munculnya kasus dugaan korupsi dalam PON melukiskan adanya kemendesakan untuk membersihkan wajah PON dari noda korupsi dan mismanajemen keuangan.

Dalam kaitan itu, upaya-upaya dini untuk mencegah praktik koruptif terjadi, harus segera dipikirkan.

Salah satu antisipasi yang perlu dipikirkan adalah membuat formula atau mekanisme baru dalam menentukan tuan rumah PON.

Dalam pemahaman ini, penentuan tuan rumah PON harus lebih ketat lagi.




Halaman berikut: Mengubah pola pikir  Pola pikir berubah

Kalau perlu Indonesia mengadopsi cara badan-badan olahraga dunia, termasuk Komite Olimpiade Internasional dan FIFA, dalam menentukan tuan rumah ajang-ajang besar olahraga seperti Olimpiade dan Piala Dunia.

Karena menyadari kompleksitas saat menyelenggarakan acara besar olahraga, yang selalu membutuhkan dana besar dan penglibatan total semua pemangku kepentingan serta masyarakat, badan-badan olahraga global itu selalu menentukan tuan rumah ajang akbar olahraga, tiga periode atau 12 tahun, sebelum ajang akbar olahraga itu diselenggarakan.

Dengan cara itu, tuan rumah memiliki kesempatan lebih lama dalam menyiapkan acara olahraga yang bebas dari keluhan, atau setidaknya tidak banyak dikeluhkan oleh masyarakat. Cara seperti itu ada baiknya diadopsi oleh Indonesia, dalam menentukan tuan rumah PON.

Dengan memiliki waktu yang lebih panjang, daerah memiliki waktu yang cukup dan layak untuk menyelenggarakan PON sebaik-baiknya.

Tapi ini juga harus dibarengi dengan perubahan pola pikir mengenai bagaimana daerah memandang dan memperlakukan PON.

PON sudah saatnya dipandang sebagai hajat daerah dan masyarakat di daerah itu, bukan lagi cuma berkaitan dengan kinerja pejabat atau pemerintahan daerah pada masa ajang itu akan dan tengah dilangsungkan.

Dengan kesadaran itu, peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan pemerintahan daerah seperti suksesi pemimpin daerah karena Pilkada, tidak mempengaruhi penyelenggaraan PON sehingga acara ini tetap diadakan sesuai jadwal, memuaskan semua kalangan, dan memenuhi semua standar yang sudah dijanjikan.

Lain dari itu, tak boleh lagi ada anggapan bahwa pejabat yang saat sebelum PON digelar tapi sudah tak lagi memegang tampuk kekuasaan ketika PON digelar, beranggapan bahwa penyelenggaraan PON bukan lagi kerja dan tanggung jawab mereka.

Sebaliknya, pimpinan daerah penggantinya tidak merasa bahwa acara olahraga nasional itu bukan tanggung jawabnya hanya karena merasa tidak ikut menentukan.

Dalam kaitan ini, penting adanya estafet kebijakan, kewenangan dan komunikasi politik antar pejabat serta pemangku kepentingan di daerah, bahwa sejak awal PON diperlakukan sebagai hajat dan agenda besar daerah itu yang tak ada kaitannya dengan proses suksesi politik.



Audit sejak dini

Perubahan pola pikir itu sangat perlu guna menghindari apa yang diduga publik terjadi pada PON Aceh-Sumatera Utara 2024 ini, sampai-sampai Kapolri menyatakan polisi siap turun tangan dalam kaitan dugaan itu.

Yang juga dilakukan adalah mengaudit secara dini kemampuan daerah dan potensi daerah dalam menyelenggarakan PON yang bersih dari masalah. Hal ini juga dilakukan demi meningkatkan akuntabilitas penyelenggaraan PON.

Dalam kaitan itu, mungkin harus ada standar yang harus dipenuhi oleh sebuah daerah, sebelum mengajukan diri menjadi tuan rumah PON.

Salah satu standard itu adalah keharusan sebuah daerah memiliki stadion utama, beserta sistem akomodasi dan transportasi layak untuk mencapainya.

Dengan memberikan waktu sampai 12 tahun sebelum PON digelar, daerah memiliki waktu yang lebih lama untuk bersiap diri dengan membangun sarana dan prasarana PON, sehingga keluhan selama dan setelah acara akbar olahraga itu tidak terjadi.

Tetapi ini harus diimbangi dengan pemahaman bahwa PON adalah proyek daerah, bahwa acara ini adalah hajat besar masyarakat daerah, yang membuat masyarakat merasa terikat dan terlibat di dalamnya.

Di sisi lain, mismanajemen keuangan dalam penyelenggaraan PON tidak boleh lagi dianggap biasa, melainkan dipandang sebagai garis merah yang tak boleh lagi terulang pada PON berikutnya. Jangan ada pemakluman dan pemaafan untuk laku buruk selama penyelenggaraan acara akbar olahraga nasional ini.

Perubahan cara pandang ini tak hanya bisa berpengaruh positif dalam bagaimana acara olahraga diselenggarakan, tapi juga membuka pintu kepada masyarakat daerah untuk aktif terlibat dan merasakan PON sebagai bagian dari agenda hidup mereka.

Pada akhirnya perubahan pola pikir seperti itu adalah tentang revolusi mental mengenai bagaimana sebuah acara akbar olahraga diadakan dan diperlukan, sehingga olahraga dimuliakan pada tingkat lebih praktikal, bukan cuma jargon.




Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Perlu pola pikir baru untuk PON yang bebas dari masalah

Pewarta: Jafar M Sidik

Editor : Debby H. Mano


COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2024