Cita-cita Indonesia Emas sudah di depan mata. Berbagai aspek krusial dalam pembangunan bangsa ini harus satu jalan menuju arah berdaulat, maju, dan berkelanjutan, sebagaimana Visi Indonesia 2045.

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyiapkan peta jalan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045, dengan 17 tujuan, 8 agenda pembangunan, dan 45 indikator.

Dari banyaknya agenda tersebut, dua hal yang menjadi sorotan adalah transformasi ekonomi dan ketahanan sosial budaya serta lingkungan. Keduanya kemudian bisa dirinci lagi menjadi tiga aspek utama.

Pertama, produktivitas terkait ilmu pengetahuan teknologi, inovasi, dan ekonomi. Kedua, penerapan ekonomi hijau. Ketiga, kualitas lingkungan dan masyarakat.

Tujuan terdekat dari transformasi ekonomi, sebenarnya, adalah menjadi game changer untuk mengeluarkan Indonesia dari jebakan pendapatan menengah (middle income trap).

Dengan tujuan itu pula, transformasi ekonomi akan dijalankan secara bertahap hingga 20 tahun mendatang dalam empat tahapan. Setiap tahapan tercakup dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) lima tahunan.

“Tahap pertama yang kita harapkan untuk tahun 2025-2029 adalah penguatan pondasi bagi transformasi ini,” tutur Direktur Sumber Daya Energi, Mineral, dan Pertambangan Bappenas Nizhar Marizi dalam lokakarya bagi jurnalis yang digelar Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) bersama Korea Foundation.

Pemerintahan Presiden Jokowi memfokuskan caranya pada hilirisasi untuk tiga kelompok sumber daya alam, yakni pertanian-perkebunan-perhutanan, pertambangan, dan kelautan. Dari ketiganya, yang belakangan sangat populer adalah hilirisasi tambang.

Program ini akan terus digalakkan pada pemerintahan mendatang. Asta Cita, delapan butir misi yang dibawa oleh Presiden Terpilih Prabowo Subianto, mencantumkan kelanjutan hilirisasi dan industrialisasi “untuk meningkatkan nilai tambah di dalam negeri.”


Ekosistem EV

Nilai tambah diberikan pada sejumlah mineral unggulan yang melimpah di Tanah Air. Karena itu, pemerintah bersikap “galak” dengan menyetop ekspor mineral mentah. Pertama, nikel pada 2020. Dilanjutkan dengan bauksit pada 2022 dan tembaga pada 2023.

Mesin transformasi ekonomi berbentuk hilirisasi tambang ini secara hitung-hitungan mampu melipatgandakan nilai ekspor dengan sangat signifikan, bahkan lebih dari 11 kali lipat.

Ekspor produk berbahan baku nikel mencatatkan 34,5 miliar dolar AS (Rp537 triliun) pada 2023, padahal tiga tahun sebelumnya nikel “hanya” laku 2,9 miliar dolar AS (Rp45 triliun), demikian menurut penuturan Presiden Jokowi dalam acara peringatan Hari Ulang Tahun ke-79 Pertambangan dan Energi, belum lama ini.

Pencarian nilai tambah nikel itu terus meningkat hingga memunculkan cita-cita Indonesia sebagai negara pemasok baterai kendaraan listrik (EV).

Gayung bersambut. Juli silam, pabrik sel baterai pertama dan terbesar se-Asia Tenggara diresmikan di Karawang atas investasi bersama dari Hyundai Motor Group dengan LG Energy Solution. Keduanya asal Korea Selatan.

Indonesia meyakini kerja sama besar tersebut akan tercatat sebagai tonggak sejarah yang menempatkan negara ini sebagai salah satu pemain dalam ekosistem kendaraan listrik global.

Kepala Departemen Bisnis Hyundai Motor Asia Pasifik, Hendry Pratama, dalam lokakarya FPCI dan Korea Foundation mengungkpkan bahwa Hyundai juga meyakini pembangunan rantai pasok ini akan mengamankan pasar EV di kawasan ASEAN. 

Sejalan dengan aspek ekonomi yang disasar itu, tidak dikesampingkan pula target nol emisi Indonesia 2060. Artinya, aspek penyelamatan planet bumi juga berkelindan di dalam pertumbuhan ekosistem kendaraan listrik.

Hal yang coba dilakukan untuk terus bergerak maju adalah lebih banyak hilirisasi, termasuk untuk membangun infrastruktur pengisian daya EV hingga daur ulang dan penggunaan kembali baterainya.

Sejauh ini, Hyundai memiliki stasiun pengisian baterai EV terbanyak kedua di Indonesia setelah PLN, dengan penempatan di lebih dari 150 lokasi.

Meskipun EV adalah salah satu jenis kendaraan terbersih dan juga solusi mobilitas yang berkelanjutan, baterainya tetap saja berpotensi menjadi limbah atau masalah lingkungan lain di masa mendatang.

Teknologi kendaraan listrik saat ini memang relatif telah maju, namun masih perlu kajian dan regulasi lebih lanjut mengenai siklus hidup baterai EV.

Idealnya, dalam 10-15 tahun penggunaannya, baterai EV yang dibuat dari bahan tambang mentah itu bisa dimanfaatkan kembali untuk penggunaan yang sama atau penggunaan lain dengan cara diekstrak bahan mentahnya.

Inilah pekerjaan rumah (PR) yang mesti dikerjakan oleh Indonesia, juga negara mitranya—Korea Selatan, sebagai bagian dalam membangun ekosistem EV di tengah kerangka ekonomi hijau.


Proyek Bali

Bersamaan dengan pencarian solusi masa depan tersebut, Indonesia terus melakukan aksi dalam membangun ekosistem EV di Tanah Air.  Korea Selatan menjadi rekan yang cocok untuk hal ini.

Proyek bernama Bali E-Mobility disepakati pada Desember 2023 antara Bappenas dengan Kementerian Lingkungan Korea Selatan serta Global Green Growth Institute (GGGI) sebagai eksekutor.

Anggaran dana yang dikucurkan mencapai 11 miliar Won Korea (Rp126 miliar) untuk membangun peta jalan dan sistem transportasi hijau di Bali, dengan durasi waktu selama 4,5 tahun, berakhir pada Desember 2027.

Tak hanya itu, di akhir proyek ini nanti Pemerintah Korea Selatan akan menyalurkan hibah berupa bus listrik kepada Pemerintah Daerah Bali, untuk digunakan sebagai transportasi umum.

Bagaimanapun, kerja-kerja yang dilakukan sebagai bagian dari pengarusutamaan kendaraan listrik dalam kerangka transformasi ekonomi ini harus berlanjut, sekalipun tak lama lagi Indonesia akan menghadapi transisi pemerintahan.

Setidaknya, nilai tersebut mesti terus dipegang, tidak lain kembali pada target pencapaian usia 100 tahun Indonesia, yakni menjadi negara berdaulat, maju, dan berkelanjutan.



Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Kendaraan listrik dalam transformasi ekonomi

Pewarta: Suwanti

Editor : Debby H. Mano


COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2024