Jakarta (ANTARA GORONTALO) - Kerugian triliunan rupiah yang diderita negara
atas tindak pidana pemalsuan beras oleh PT Indo Beras Unggul (PT IBU)
berasal dari berbagai subsidi pemerintah yang telah disalahgunakan.
"Yang
dimaksud beras memperoleh subsidi adalah dalam memproduksi beras
tersebut, ada subsidi input yaitu subsidi benih Rp1,3 triliun dan
subsidi pupuk Rp31,2 triliun, bahkan ditambah lagi ada bantuan sarana
dan prasarana bagi petani dari Pemerintah yang besarnya triliunan juga,"
kata Kepala Subbidang Data Sosial-Ekonomi pada Pusat Data dan Sistem
Informasi Kementerian Pertanian Ana Astrid dalam siaran pers, Minggu.
Selain subsidi input, pihaknya juga mengatakan bahwa ada subsidi beras sejahtera (rastra) yang jumlahnya mencapai Rp19,8 triliun.
"Ada juga subsidi beras sejahtera (Rastra) untuk rumahtangga sasaran (pra sejahtera) sekitar Rp19,8 triliun yang distribusinya satu pintu melalui BULOG, dan tidak diperjualbelikan di pasar," katanya.
Beras yang diolah oleh PT IBU adalah beras medium yang berasal dari varietas unggul baru seperti IR64, Impari, Ciherang, dan lain-lain.
"Seluruh beras medium dan premium itu kan berasal dari gabah varietas Varietas Unggul Baru (VUB) yaitu IR64, Ciherang, Mekongga, Situ Bagendit, Cigeulis, Impari, Ciliwung, Cibogo dan lainnya yang diproduksi dan dijual dari petani kisaran Rp3.500 - Rp4.700/kg gabah," katanya.
Menurutnya, PT IBU membeli beras tersebut dari petani dengan harga Rp7.000/kg dan dijual hingga Rp20.000/kg padahal harga eceran tertinggi untuk beras medium di konsumen hanya Rp9.000/kg.
"Harga acuan di konsumen atau biasa disebut Harga Atas tidak mendadak, sejak tahun lalu sudah diterbitkan HET. Pada tahun 2016 sudah diterbitkan Permendag Nomor 63/M-DAG/PER/09/2016 dengan harga acuan beras di petani Rp7.300/kg dan di konsumen Rp9.500/kg. Selanjutnya pada Juli 2017 diterbitkan Permendag Nomor 47/M-DAG/PER/7/2017 dengan harga acuan beras di petani Rp7.300/kg dan di konsumen Rp 9.000/kg," katanya.
Dengan selisih harga yang demikian besar, maka PT IBU telah mendapatkan keuntungan yang ditaksir mencapai Rp10 triliun per tahun.
"Harga beras di petani sekitar Rp 7.000/kg dan harga premium di konsumen sampai Rp20.000/kg, taruhlah selisih harga ini minimal Rp 10.000/kg bila dikalikan beras premium yang beredar 1,0 juta ton (2,2 persen dari beras 45 juta ton setahun), maka kerugian keekonomian ditaksir Rp10 triliun," katanya.
Ia menambahkan bahwa usaha yang dilakukan PT IBU telah merugikan produsen dan konsumen serta berpengaruh terhadap kenaikan inflasi.
"Negara dirugikan oleh karena produsen maupun konsumennya merupakan rakyat Indonesia, serta akan berdampak pada inflasi," katanya.
Ia meminta agar pihak berwajib menindak tegas pelaku tindak pidana kejahatan pangan. "Kejahatan pangan, apa pun bentuknya harus dibongkar dan dihentikan," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2017
Selain subsidi input, pihaknya juga mengatakan bahwa ada subsidi beras sejahtera (rastra) yang jumlahnya mencapai Rp19,8 triliun.
"Ada juga subsidi beras sejahtera (Rastra) untuk rumahtangga sasaran (pra sejahtera) sekitar Rp19,8 triliun yang distribusinya satu pintu melalui BULOG, dan tidak diperjualbelikan di pasar," katanya.
Beras yang diolah oleh PT IBU adalah beras medium yang berasal dari varietas unggul baru seperti IR64, Impari, Ciherang, dan lain-lain.
"Seluruh beras medium dan premium itu kan berasal dari gabah varietas Varietas Unggul Baru (VUB) yaitu IR64, Ciherang, Mekongga, Situ Bagendit, Cigeulis, Impari, Ciliwung, Cibogo dan lainnya yang diproduksi dan dijual dari petani kisaran Rp3.500 - Rp4.700/kg gabah," katanya.
Menurutnya, PT IBU membeli beras tersebut dari petani dengan harga Rp7.000/kg dan dijual hingga Rp20.000/kg padahal harga eceran tertinggi untuk beras medium di konsumen hanya Rp9.000/kg.
"Harga acuan di konsumen atau biasa disebut Harga Atas tidak mendadak, sejak tahun lalu sudah diterbitkan HET. Pada tahun 2016 sudah diterbitkan Permendag Nomor 63/M-DAG/PER/09/2016 dengan harga acuan beras di petani Rp7.300/kg dan di konsumen Rp9.500/kg. Selanjutnya pada Juli 2017 diterbitkan Permendag Nomor 47/M-DAG/PER/7/2017 dengan harga acuan beras di petani Rp7.300/kg dan di konsumen Rp 9.000/kg," katanya.
Dengan selisih harga yang demikian besar, maka PT IBU telah mendapatkan keuntungan yang ditaksir mencapai Rp10 triliun per tahun.
"Harga beras di petani sekitar Rp 7.000/kg dan harga premium di konsumen sampai Rp20.000/kg, taruhlah selisih harga ini minimal Rp 10.000/kg bila dikalikan beras premium yang beredar 1,0 juta ton (2,2 persen dari beras 45 juta ton setahun), maka kerugian keekonomian ditaksir Rp10 triliun," katanya.
Ia menambahkan bahwa usaha yang dilakukan PT IBU telah merugikan produsen dan konsumen serta berpengaruh terhadap kenaikan inflasi.
"Negara dirugikan oleh karena produsen maupun konsumennya merupakan rakyat Indonesia, serta akan berdampak pada inflasi," katanya.
Ia meminta agar pihak berwajib menindak tegas pelaku tindak pidana kejahatan pangan. "Kejahatan pangan, apa pun bentuknya harus dibongkar dan dihentikan," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2017