Jakarta, (Antara) - Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kemendagri Zudan Arif Fakrulloh tidak memenuhi panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam penyidikan tindak pidana korupsi pengadaan paket penerapan Kartu Tanda Penduduk berbasis Nomor Induk Kependudukan secara nasional (KTP-e).

KPK pada Jumat (4/8) dijadwalkan memeriksa Zudan Arif Fakrulloh untuk tersangka Setya Novanto (SN).

"Penyidik belum memperoleh konfirmasi ketidakhadirannya," kata Pelaksana Harian (Plh) Kabiro Humas KPK Yuyuk Andriati Iskak saat dikonfirmasi di Jakarta, Jumat.

Sementara itu, Zudan mengaku sudah menyampaikan izin tertulis ke KPK terkait ketidakhadirannya tersebut karena sedang bertugas di Kuningan, Jawa Barat.

Ia pun meminta penjadwalan ulang untuk dipanggil kembali KPK pada pekan depan. "Minta dijadwalkan minggu depan," kata Zudan saat dikonfirmasi.

Sebelumnya, dalam persidangan perkara KTP-e di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, mantan Kabiro Hukum Kemendagri Zudan Arif Fakrulloh yang saat ini menjabat sebagai Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri mengakui dititipi pesan mantan Sekjen Kemendagri Diah Anggraini, pesan itu berasan dari Setya Novanto.

"Bu Diah pesan kalau bertemu Pak Irman agar mengatakan tidak kenal Pak Setnov. Kemudian suatu malam saya ke Pak Irman dan setelah berdiskusi, saya bertanya ke Pak Irman, Pak kenal Setnov tidak? Pak Irman mengatakan tidak kenal, ada apa Prof? lalu saya katakan Dulu Bu Diah pesan kalau ada yang menanyakan agar Pak Irman mengaku tidak kenal Pak Setnov, dan ternyata benar bapak tidak kenal," kata Zudan dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (29/5).

Zudan menjadi saksi untuk dua orang terdakwa yaitu mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Irman dan mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) pada Dukcapil Kemendagri Sugiharto.

Zudan mendapatkan pesan dari Diah pada 2014, sedangkan pembicaraan Zudan dan Irman terjadi pada 2015. "Apakah pada 2015 sudah ada perkara KTP-e?" tanya jaksa KPK Abdul Basir.

"Kami belum diperiksa, tapi Pak Sugiharto sudah ditetapkan sebagai tersangka," jawab Zudan.

"Bapak bukannya mengarahkan Pak Irman untuk menjawab tidak kenal?" tanya jaksa Basir.

"Tidak, saya tidak langsung bertanya Pak Irman kenal Pak Setnov atau tidak? tapi saya ke rumah Pak Irman, lalu berdiskusi banyak hal baru pada satu titik saya tanya Kenal Pak Setnov tidak? Pak Irman mengatakan Tidak, ada apa Pak Prof? Lalu Bu Diah mengatakan pernah menyampaikan ke saya kalau ada yang tanyakan jangan kenal Pak Setnov," jawab Zudan.

"Apakah bertanya kenapa ada pesan seperti itu ke bu Biah?" tanya jaksa Basir.

"Ini amanah disampaikan saja," jawab Zudan.

"Dari siapa?" tanya jaksa Zudan.

"Dari Setya Novanto," jawab Zudan.

KPK telah menetapkan Ketua DPR Setya Novanto (Setnov) sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan paket penerapan KTP berbasis nomor induk kependudukan secara nasional (KTP-e) tahun 2011-2012 pada Kemendagri.

"KPK menemukan bukti permulaan yang cukup untuk menetapkan seorang lagi sebagai tersangka. KPK menetapkan saudara SN (Setya Novanto) anggota DPR RI periode 2009-2014 sebagai tersangka karena diduga dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena kedudukannya atau jabatannya sehingga diduga mengakibatkan kerugian negara sekurang-kurangnya Rp2,3 triliun dari nilai paket pengadaan sekitar Rp5,9 triliun dalam paket pengadaan KTP-e pada Kemendagri," kata Ketua KPK Agus Rahardjo di gedung KPK Jakarta, Senin (17/7).

Setnov disangka melanggar pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.

Sebelumnya, Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Jakarta pada Kamis (20/7) juga telah menjatuhkan hukuman penjara tujuh tahun kepada mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Irman dan lima tahun penjara kepada mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan Kementerian Dalam Negeri Sugiharto dalam perkara korupsi proyek pengadaan KTP elektronik.

Pewarta:

Editor : Hence Paat


COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2017