Cox's Bazar, Bangladesh (ANTARA GORONTALO) - "Teknik Adolf Hitler sedang
dipraktikkan di Myanmar." Kalimat itu dilontarkan Feysel U-Azize,
pengungsi Rohingya berusia 25 tahun, kepada ANTARA News di kamp
pengungsi Jamtoli, Kecamatan Ukhia, Cox's Bazar, Bangladesh, Sabtu
(29/9).
Yang dimaksud sarjana muda peternakan jebolan sebuah akademi Rakhine di Myanmar ini adalah pembantaian etnis dan genosida yang dilakukan Hitler terhadap Yahudi pada Perang Dunia Kedua. Menurut dia, apa yang dilakukan Hitler itu kini tengah dilakukan Myanmar terhadap Rohingya saat ini.
Myanmar, lebih tepat lagi Tatmadaw atau angkatan bersenjata, kaat Fesyel, secara sistematis mengusir warga Rohingya dengan intimidasi mental seperti pemerkosaan, pembakaran, dan pembunuhan.
"Mereka memburu semua laki-laki berusia 15-50 tahun," kata Feysel dari Rakaing-Balidong, Rakhine.
"Sementara perempuan-perempuan kami diperkosa."
Feysel mengatakan teror mental dan psikologis itu bahkan sudah dirasakan warga Rohingya jauh sebelum ini. Banyak warga Rohingya, kata Feysel, sudah memperkirakan bakal menghadapi tekanan-tekanan yang semakin keras dari pemerintahnya. Tapi tak ada yang menyangka bakal jauh lebih ekstrem seperti sekarang terjadi.
Apa yang dikatakan Feysel itu beresonansi dengan tudingan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres yang menyebut eksodus besar-besaran pengungsi Rohingya ke Bangladesh akibat kekerasan di tanah asalnya di Rakhine, Myanmar, sebagai "darurat pengungsi paling cepat berkembang di dunia dan mimpi buruk kemanusiaan dan hak asasi manusia."
Media-media massa internasional sudah kompak menyebut apa yang terjadi di Rakhine, Myanmar, terhadap Rohingya itu sebagai pembersihan etnis.
Majalah terkemuka The Economist menyebut krisis pengungsi Rohingya adalah yang terburuk dalam beberapa dekade terakhir karena arus pengungsi per minggu dalam krisis Rohingya adalah yang tertinggi sejak genosida etnis Tutsi oleh Hutu di Rwanda, Afrika, pada 1994.
Bukti dari Jamtoli
Sudah tentu klaim Feysel, PBB dan media massa internasional itu dibantah keras oleh otoritas Myanmar.
Jumat 29 September lalu, di depan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa, Penasihat Keamanan Myanmar U Thaung Tun menyangkal keras telah terjadi pembantaian etnis dan genosida terhadap Rohingya di negara bagian Rakhine.
U Thaung Tun boleh saja berkilah, namun kamp Jamtoli, dan kamp-kamp pengungsi Rohingya lainnya di Bangladesh malah menguatkan apa yang dituduhkan Sekjen PBB dan diklaim Feysel.
Selama setengah hari di kamp pengungsi Jamtoli, Sabtu 29 September itu, ANTARA News menyaksikan ribuan bedeng-bedeng bertabirkan dan beratapkan plastik memenuhi perbukitan di salah satu dusun di Kecamatan Ukhia, Cox's Bazar, Bangladesh itu. Bedeng-bedeng sempit ini rata-rata ditempati sampai belasan orang.
Corona Rintawan, relawan dokter dari Muhammadiyah Disaster Management Center, yang bersama tiga dokter Indonesia dan beberapa paramedis lainnya tengah membuka posko kesehatan Aliansi Kemanusiaan Indonesia untuk Myanmar (AKIM) di Kamp Jamtoli, menunjuk situs penampungan pengungsi beberapa langkah dari tempat Antara berdiri.
"Yang di bukit itu diisi 20 ribu orang. Tetapi bukit sebelahnya jauh lebih banyak lagi, 50.000 orang," kata dokter jebolan Universitas Brawijaya, Malang, itu.
Padahal di Kamp Jamtoli itu, menurut Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) yang berada di bawah PBB, sampai 16 September sebelumnya angka pengungsi di sini baru "hanya" 24.000 orang, dengan 3.028 unit penampungan sampai 21 September yang rata-rata berukuran 42 meter per segi.
Pengungsi-pengungsi baru sendiri tak berhenti mengalir ke kamp-kamp pengungsi di Bangladesh sehingga memaksa situs-situs baru pengungsian dibangun karena yang lama sudah tak mampu lagi menampung manusia.
Badan PBB untuk urusan pengungsi, UNHCR, menyebutkan kurang dari satu pekan saja 420.000 pengungsi Rohingya menyeberang ke Bangladesh menghindari angkara kebencian berbungkus kebencian etnis di Myanmar yang sudah bergenerasi-generasi mereka diami.
Sampai hari ketiga di Cox's Bazar pada 29 September 2017, ANTARA News menyaksikan arus pengungsi Rohingya ke Bangladesh tetap saja tak terhentikan.
IOM sampai-sampai menyebut eksodus Rohingya ini sebagai peristiwa yang tidak pernah terjadi sebelumnya, dalam hal volume dan kecepatan" arus pengungsi.
Sedangkan Kepala Komisi Hak Asasi Manusia PBB Zeid Ra'ad al-Hussein menyebut apa yang menimpa Rohingya sebagai "textbook example of ethnic cleansing†atau "jelas-jelas pembersihan etnis" .
Bayi kurang nutrisi
Beberapa pengungsi yang ditemui Antara di Kamp Jantoli dan tempat lain seperti Teknaf yang menjadi pintu masuk utama arus pengungsi Rohingya ke Bangladesh mengutarakan hal sama seperti diungkapkan Feysel.
"Mereka datang bergerombol ke kampung kami untuk membakar dan menjarah. Yang melawan akan ditembak atau ditebas. Tak ada pilihan bagi kami selain meninggalkan kampung kami," kata Muhammad Kasim dari Maungdaw.
Beberapa depa dari Kasim, di sebuah barak yang dihuni para wanita, seorang wanita sambil menggendong bayinya antusiastis memperhatikan perbincangan Antara dengan pria bertelanjang dada berusia sekitar 45 tahun itu. Sesekali dia menimpali dengan mengutarakan kalimat dalam Bahasa Bengali yang sama sekali tidak dipahami ANTARA News.
Kasim yang tampak memahami Bahasa Inggris, kendati terpatah-patah, membantu Antara untuk menanyai si ibu.
Nama wanita ini kemudian diketahui Aisha Begum. Wanita berusia 38 tahun itu menggendong Hashina, bayinya yang baru empat hari dia lahirkan
"Di mana suamimu?" tanya Antara kepada Aisha. "Tak tahu," jawab Aisha, singkat, seperti banyak wanita Rohingya lainnya yang tak bisa lagi berkata banyak karena menyimpan kepedihan ditinggalkan orang terkasihnya yang nasibnya tak pernah lagi mereka ketahui.
Ukuran tubuh Hashina kecil sekali dan agak kemerah-merahan. Dokter Rosita Rivai dari Dompet Duafa yang masih tergabung dalam AKIM tergerak untuk memeriksa si bayi yang ditaksirnya sudah berusia sekitar semingguan, bukan empat hari seperti diklaim ibunya.
"Bayi ini tidak disusui karena ibunya kurang nutrisi," kata Rosita, lalu menyarankan Aisha untuk rajin membawa bayinya keluar barak agar terpapar cahaya matahari pagi.
Aisha bukan satu-satunya wanita yang dipaksa melahirkan di kamp pengungsian. Ada ribuan wanita lain seperti dia yang bahkan di antaranya harus melahirkan anak yang tidak mereka inginkan karena mereka korban pemerkosaan.
Dari data yang belum terkonfirmasi, angka wanita yang mengalami pemerkosaan itu disebut-sebut mencapai puluhan ribu orang.
"Wanita-wanita korban pemerkosaan ini ditampung di kamp khusus. Hanya WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) yang tahu tempatnya," kata dr. Muhammad Iqbal Mubarak yang juga dari Dompet Duafa-AKIM.
Mengajak Myanmar berbicara
Media massa, badan-badan kemanusiaan, dan organisasi internasional kadung menyebut telah terjadi indikasi pemerkosaan massal seperti pernah terjadi di Bosnia dan Rwanda beberapa dekade lalu. Ironisnya pemerkosaan massal adalah salah satu teknik dari pembersihan etnis.
Pembersihan etnis sendiri, mengutip buku karangan James M. Rubenstein pada 2008 berjudul "The Cultural Landscape: An Introduction to Human Geography", adalah "pemindahan secara paksa etnis tertentu dari sebuah wilayah agar wilayah itu dihuni oleh etnis yang homogen. Tekniknya bisa berbagai macam seperti migrasi paksa, intimidasi, pembunuhan massal dan pemerkosaan massal."
Tak ada yang memastikan apa yang sebenarnya terjadi di Myanmar, namun melihat arus migrasi pengungsi yang demikian masif dan cepat yang sampai kini tak berhenti dan berdasarkan definisi 'pembersihan etnis' dari James Rubenstein, petunjuk ada pembersihan etnis seperti ditudingkan Komisi HAM PBB, badan-badan kemanusiaan dunia, dan media massa internasional, memang kuat.
Myanmar harus membantah tudingan ini dengan cara yang lebih meyakinkan ketimbang yang mereka lakukan saat ini. Membuka diri dalam kasus ini, setidaknya berbuka diri kepada ASEAN, adalah cara terbaik dalam memberikan jawaban.
ASEAN sendiri sudah waktunya mengajak Myanmar berbicara kepada semua pihak bertikai, termasuk ratusan ribu pengungsi Rohingya di Bangladesh. Bukankah pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi sendiri pernah berkata 'Kami ingin mendalami mengapa eksodus ini terjadi. Kami akan berbicara kepada mereka yang pergi itu, selain kepada mereka yang tetap bertahan'?
Suu Kyi bahkan menyatakan pemerintahnya akan sesegera mungkin menerapkan rekomendasi Komisi Penasihat di Rakhine State pimpinan Kofi Annan yang salah satunya berisi rekomendasi kewarganegaraan etnis keturunan Bengali atau Rohingya ini.
"Semua poin rekomendasi yang bermanfaat bagi perdamaian, harmoni dan pembangunan di Rakhine State akan diimplementasikan dalam jangka waktu sesingkat mungkin," kata Suu Kyi, 19 September lalu.
Dunia menunggu wujud janji Suu Kyi itu. Dunia menunggu langkah konstruktif ASEAN karena tuduhan serius PBB mengenai indikasi genosida itu telah dan tengah terjadi di salah satu bagian dari rumah besar ASEAN.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2017
Yang dimaksud sarjana muda peternakan jebolan sebuah akademi Rakhine di Myanmar ini adalah pembantaian etnis dan genosida yang dilakukan Hitler terhadap Yahudi pada Perang Dunia Kedua. Menurut dia, apa yang dilakukan Hitler itu kini tengah dilakukan Myanmar terhadap Rohingya saat ini.
Myanmar, lebih tepat lagi Tatmadaw atau angkatan bersenjata, kaat Fesyel, secara sistematis mengusir warga Rohingya dengan intimidasi mental seperti pemerkosaan, pembakaran, dan pembunuhan.
"Mereka memburu semua laki-laki berusia 15-50 tahun," kata Feysel dari Rakaing-Balidong, Rakhine.
"Sementara perempuan-perempuan kami diperkosa."
Feysel mengatakan teror mental dan psikologis itu bahkan sudah dirasakan warga Rohingya jauh sebelum ini. Banyak warga Rohingya, kata Feysel, sudah memperkirakan bakal menghadapi tekanan-tekanan yang semakin keras dari pemerintahnya. Tapi tak ada yang menyangka bakal jauh lebih ekstrem seperti sekarang terjadi.
Apa yang dikatakan Feysel itu beresonansi dengan tudingan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres yang menyebut eksodus besar-besaran pengungsi Rohingya ke Bangladesh akibat kekerasan di tanah asalnya di Rakhine, Myanmar, sebagai "darurat pengungsi paling cepat berkembang di dunia dan mimpi buruk kemanusiaan dan hak asasi manusia."
Media-media massa internasional sudah kompak menyebut apa yang terjadi di Rakhine, Myanmar, terhadap Rohingya itu sebagai pembersihan etnis.
Majalah terkemuka The Economist menyebut krisis pengungsi Rohingya adalah yang terburuk dalam beberapa dekade terakhir karena arus pengungsi per minggu dalam krisis Rohingya adalah yang tertinggi sejak genosida etnis Tutsi oleh Hutu di Rwanda, Afrika, pada 1994.
Bukti dari Jamtoli
Sudah tentu klaim Feysel, PBB dan media massa internasional itu dibantah keras oleh otoritas Myanmar.
Jumat 29 September lalu, di depan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa, Penasihat Keamanan Myanmar U Thaung Tun menyangkal keras telah terjadi pembantaian etnis dan genosida terhadap Rohingya di negara bagian Rakhine.
U Thaung Tun boleh saja berkilah, namun kamp Jamtoli, dan kamp-kamp pengungsi Rohingya lainnya di Bangladesh malah menguatkan apa yang dituduhkan Sekjen PBB dan diklaim Feysel.
Selama setengah hari di kamp pengungsi Jamtoli, Sabtu 29 September itu, ANTARA News menyaksikan ribuan bedeng-bedeng bertabirkan dan beratapkan plastik memenuhi perbukitan di salah satu dusun di Kecamatan Ukhia, Cox's Bazar, Bangladesh itu. Bedeng-bedeng sempit ini rata-rata ditempati sampai belasan orang.
Corona Rintawan, relawan dokter dari Muhammadiyah Disaster Management Center, yang bersama tiga dokter Indonesia dan beberapa paramedis lainnya tengah membuka posko kesehatan Aliansi Kemanusiaan Indonesia untuk Myanmar (AKIM) di Kamp Jamtoli, menunjuk situs penampungan pengungsi beberapa langkah dari tempat Antara berdiri.
"Yang di bukit itu diisi 20 ribu orang. Tetapi bukit sebelahnya jauh lebih banyak lagi, 50.000 orang," kata dokter jebolan Universitas Brawijaya, Malang, itu.
Padahal di Kamp Jamtoli itu, menurut Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) yang berada di bawah PBB, sampai 16 September sebelumnya angka pengungsi di sini baru "hanya" 24.000 orang, dengan 3.028 unit penampungan sampai 21 September yang rata-rata berukuran 42 meter per segi.
Pengungsi-pengungsi baru sendiri tak berhenti mengalir ke kamp-kamp pengungsi di Bangladesh sehingga memaksa situs-situs baru pengungsian dibangun karena yang lama sudah tak mampu lagi menampung manusia.
Badan PBB untuk urusan pengungsi, UNHCR, menyebutkan kurang dari satu pekan saja 420.000 pengungsi Rohingya menyeberang ke Bangladesh menghindari angkara kebencian berbungkus kebencian etnis di Myanmar yang sudah bergenerasi-generasi mereka diami.
Sampai hari ketiga di Cox's Bazar pada 29 September 2017, ANTARA News menyaksikan arus pengungsi Rohingya ke Bangladesh tetap saja tak terhentikan.
IOM sampai-sampai menyebut eksodus Rohingya ini sebagai peristiwa yang tidak pernah terjadi sebelumnya, dalam hal volume dan kecepatan" arus pengungsi.
Sedangkan Kepala Komisi Hak Asasi Manusia PBB Zeid Ra'ad al-Hussein menyebut apa yang menimpa Rohingya sebagai "textbook example of ethnic cleansing†atau "jelas-jelas pembersihan etnis" .
Bayi kurang nutrisi
Beberapa pengungsi yang ditemui Antara di Kamp Jantoli dan tempat lain seperti Teknaf yang menjadi pintu masuk utama arus pengungsi Rohingya ke Bangladesh mengutarakan hal sama seperti diungkapkan Feysel.
"Mereka datang bergerombol ke kampung kami untuk membakar dan menjarah. Yang melawan akan ditembak atau ditebas. Tak ada pilihan bagi kami selain meninggalkan kampung kami," kata Muhammad Kasim dari Maungdaw.
Beberapa depa dari Kasim, di sebuah barak yang dihuni para wanita, seorang wanita sambil menggendong bayinya antusiastis memperhatikan perbincangan Antara dengan pria bertelanjang dada berusia sekitar 45 tahun itu. Sesekali dia menimpali dengan mengutarakan kalimat dalam Bahasa Bengali yang sama sekali tidak dipahami ANTARA News.
Kasim yang tampak memahami Bahasa Inggris, kendati terpatah-patah, membantu Antara untuk menanyai si ibu.
Nama wanita ini kemudian diketahui Aisha Begum. Wanita berusia 38 tahun itu menggendong Hashina, bayinya yang baru empat hari dia lahirkan
"Di mana suamimu?" tanya Antara kepada Aisha. "Tak tahu," jawab Aisha, singkat, seperti banyak wanita Rohingya lainnya yang tak bisa lagi berkata banyak karena menyimpan kepedihan ditinggalkan orang terkasihnya yang nasibnya tak pernah lagi mereka ketahui.
Ukuran tubuh Hashina kecil sekali dan agak kemerah-merahan. Dokter Rosita Rivai dari Dompet Duafa yang masih tergabung dalam AKIM tergerak untuk memeriksa si bayi yang ditaksirnya sudah berusia sekitar semingguan, bukan empat hari seperti diklaim ibunya.
"Bayi ini tidak disusui karena ibunya kurang nutrisi," kata Rosita, lalu menyarankan Aisha untuk rajin membawa bayinya keluar barak agar terpapar cahaya matahari pagi.
Aisha bukan satu-satunya wanita yang dipaksa melahirkan di kamp pengungsian. Ada ribuan wanita lain seperti dia yang bahkan di antaranya harus melahirkan anak yang tidak mereka inginkan karena mereka korban pemerkosaan.
Dari data yang belum terkonfirmasi, angka wanita yang mengalami pemerkosaan itu disebut-sebut mencapai puluhan ribu orang.
"Wanita-wanita korban pemerkosaan ini ditampung di kamp khusus. Hanya WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) yang tahu tempatnya," kata dr. Muhammad Iqbal Mubarak yang juga dari Dompet Duafa-AKIM.
Mengajak Myanmar berbicara
Media massa, badan-badan kemanusiaan, dan organisasi internasional kadung menyebut telah terjadi indikasi pemerkosaan massal seperti pernah terjadi di Bosnia dan Rwanda beberapa dekade lalu. Ironisnya pemerkosaan massal adalah salah satu teknik dari pembersihan etnis.
Pembersihan etnis sendiri, mengutip buku karangan James M. Rubenstein pada 2008 berjudul "The Cultural Landscape: An Introduction to Human Geography", adalah "pemindahan secara paksa etnis tertentu dari sebuah wilayah agar wilayah itu dihuni oleh etnis yang homogen. Tekniknya bisa berbagai macam seperti migrasi paksa, intimidasi, pembunuhan massal dan pemerkosaan massal."
Tak ada yang memastikan apa yang sebenarnya terjadi di Myanmar, namun melihat arus migrasi pengungsi yang demikian masif dan cepat yang sampai kini tak berhenti dan berdasarkan definisi 'pembersihan etnis' dari James Rubenstein, petunjuk ada pembersihan etnis seperti ditudingkan Komisi HAM PBB, badan-badan kemanusiaan dunia, dan media massa internasional, memang kuat.
Myanmar harus membantah tudingan ini dengan cara yang lebih meyakinkan ketimbang yang mereka lakukan saat ini. Membuka diri dalam kasus ini, setidaknya berbuka diri kepada ASEAN, adalah cara terbaik dalam memberikan jawaban.
ASEAN sendiri sudah waktunya mengajak Myanmar berbicara kepada semua pihak bertikai, termasuk ratusan ribu pengungsi Rohingya di Bangladesh. Bukankah pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi sendiri pernah berkata 'Kami ingin mendalami mengapa eksodus ini terjadi. Kami akan berbicara kepada mereka yang pergi itu, selain kepada mereka yang tetap bertahan'?
Suu Kyi bahkan menyatakan pemerintahnya akan sesegera mungkin menerapkan rekomendasi Komisi Penasihat di Rakhine State pimpinan Kofi Annan yang salah satunya berisi rekomendasi kewarganegaraan etnis keturunan Bengali atau Rohingya ini.
"Semua poin rekomendasi yang bermanfaat bagi perdamaian, harmoni dan pembangunan di Rakhine State akan diimplementasikan dalam jangka waktu sesingkat mungkin," kata Suu Kyi, 19 September lalu.
Dunia menunggu wujud janji Suu Kyi itu. Dunia menunggu langkah konstruktif ASEAN karena tuduhan serius PBB mengenai indikasi genosida itu telah dan tengah terjadi di salah satu bagian dari rumah besar ASEAN.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2017