Mogadishu, Somalia (ANTARA GORONTALO) - Sedikitnya 2.078 warga sipil tewas
dan 2.507 cedera dalam konflik bersenjata di Somalia, terutama yang
melibatkan kelompok Ash-Shabaab, dari Januari 2016 sampai 14 Oktober
2017, kata satu laporan gabungan PBB yang disiarkan Minggu (10/12).
Laporan dari Kantor Hak Asasi Manusia PBB dan Misi Bantuan PBB di Somalia (UNSOM) mengatakan 60 persen korban tewas dan cedera akibat ulah petempur Ash-Shabaab, 13 persen oleh anggota milisi suku, 11 persen oleh pelaku negara, termasuk militer dan polisi, empat persen oleh Misi Uni Afrika untuk Somalia (AMISOM), dan 12 persen oleh penyerang yang tak dikenal.
Micahel Keating, Wakil Khusus Sekretaris Jenderal PBB untuk Somalia, mengatakan semua pihak dalam konflik tersebut tidak berbuat cukup untuk melindungi warga sipil dari kekerasan di negara Tanduk Afrika itu.
"Warga sipil membayar harga atas kegagalan untuk menyelesaian konflik di Somalia melalui cara politik," kata Keating, sebagaimana dikutip Xinhua.
Laporan tersebut mengungkapkan banyak korban jiwa yang dicatat di pihak sipil --251 tewas dan 343 cedera-- disebabkan oleh milisi suku, di daerah tempat pasukan keamanan negara bagian atau federal tidak ada.
"Kemarau telah meningkatkan konflik suku akibat persaingan untuk memperoleh sumber daya. Konflik ini dieksploitasi oleh anasir anti-pemerintah untuk makin merusak kestabilan berbagai daerah, menghilangkan prospek bagi perdamaian yang langgeng dan membuat lemah perlindungan warga sipil," kata laporan tersebut.
PBB menyatakan konflik bersenjata merusak prasarana dan kehidupan, membuat jutaan orang kehilangan tempat tinggal, dan menghambat akses ke bantuan kemanusiaan untuk masyarakat yang memerlukan.
Laporan itu, yang berjudul "Protection of Civilians: Building the Foundation for Peace, Security and Human Rights in Somalia", mengatakan konflik secara tidak seimbang telah mempengaruhi anak kecil.
Menurut PBB, 3.335 kasus perekrutan anak dilaporkan dalam 10 bulan pertama 2017; 71,5 persen dilakukan oleh Ash-Shabaab, 14,6 persen oleh milisi suku, dan 7,4 persen oleh Tentara Nasional Somalia.
Menurut laporan tersebut, peristiwa paling buruk dalam satu hari ialah dua ledakan bom di Mogadishu pada 14 Oktober, yang diduga dilakukan oleh Ash-Shabaab. Sedikitnya 512 orang secara resmi telah dicatat tewas.
Zeid Ra`ad Al Hussein, Komisaris Tinggi PBB bagi Urusan Hak Asasi Manusia, mengatakan korban jiwa semacam itu menjadi keprihatinan paling besar sebab peristiwa itu merusak kepercayaan rakyat Somalia pada pemerintah dan masyarakat internasional --yang kemudian memperluas ruang bagi operasi anasir anti-pemerintah.
Laporan tersebut menyarankan semua kelompok bersenjata yang tidak sah dan milisi dibubarkan.
Laporan itu juga mendesak semua pihak dalam konflik agar melakukan pencegahan yang layak dengan menghentikan penggunaan semua jenis peledak rakitan dan penembakan mortir, roket serta granat dari dan ke daerah yang berpenduduk.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2017
Laporan dari Kantor Hak Asasi Manusia PBB dan Misi Bantuan PBB di Somalia (UNSOM) mengatakan 60 persen korban tewas dan cedera akibat ulah petempur Ash-Shabaab, 13 persen oleh anggota milisi suku, 11 persen oleh pelaku negara, termasuk militer dan polisi, empat persen oleh Misi Uni Afrika untuk Somalia (AMISOM), dan 12 persen oleh penyerang yang tak dikenal.
Micahel Keating, Wakil Khusus Sekretaris Jenderal PBB untuk Somalia, mengatakan semua pihak dalam konflik tersebut tidak berbuat cukup untuk melindungi warga sipil dari kekerasan di negara Tanduk Afrika itu.
"Warga sipil membayar harga atas kegagalan untuk menyelesaian konflik di Somalia melalui cara politik," kata Keating, sebagaimana dikutip Xinhua.
Laporan tersebut mengungkapkan banyak korban jiwa yang dicatat di pihak sipil --251 tewas dan 343 cedera-- disebabkan oleh milisi suku, di daerah tempat pasukan keamanan negara bagian atau federal tidak ada.
"Kemarau telah meningkatkan konflik suku akibat persaingan untuk memperoleh sumber daya. Konflik ini dieksploitasi oleh anasir anti-pemerintah untuk makin merusak kestabilan berbagai daerah, menghilangkan prospek bagi perdamaian yang langgeng dan membuat lemah perlindungan warga sipil," kata laporan tersebut.
PBB menyatakan konflik bersenjata merusak prasarana dan kehidupan, membuat jutaan orang kehilangan tempat tinggal, dan menghambat akses ke bantuan kemanusiaan untuk masyarakat yang memerlukan.
Laporan itu, yang berjudul "Protection of Civilians: Building the Foundation for Peace, Security and Human Rights in Somalia", mengatakan konflik secara tidak seimbang telah mempengaruhi anak kecil.
Menurut PBB, 3.335 kasus perekrutan anak dilaporkan dalam 10 bulan pertama 2017; 71,5 persen dilakukan oleh Ash-Shabaab, 14,6 persen oleh milisi suku, dan 7,4 persen oleh Tentara Nasional Somalia.
Menurut laporan tersebut, peristiwa paling buruk dalam satu hari ialah dua ledakan bom di Mogadishu pada 14 Oktober, yang diduga dilakukan oleh Ash-Shabaab. Sedikitnya 512 orang secara resmi telah dicatat tewas.
Zeid Ra`ad Al Hussein, Komisaris Tinggi PBB bagi Urusan Hak Asasi Manusia, mengatakan korban jiwa semacam itu menjadi keprihatinan paling besar sebab peristiwa itu merusak kepercayaan rakyat Somalia pada pemerintah dan masyarakat internasional --yang kemudian memperluas ruang bagi operasi anasir anti-pemerintah.
Laporan tersebut menyarankan semua kelompok bersenjata yang tidak sah dan milisi dibubarkan.
Laporan itu juga mendesak semua pihak dalam konflik agar melakukan pencegahan yang layak dengan menghentikan penggunaan semua jenis peledak rakitan dan penembakan mortir, roket serta granat dari dan ke daerah yang berpenduduk.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2017