Jakarta, (ANTARA GORONTALO) - Mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum mengaku tidak menyerang partai Demokrat yang membesarkan namanya tersebut terkait dengan penyerahan laporan audit pendanaan kampanye pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) - Boediono pada pemilihan presiden (pilpres) 2009
"Saya bilang tidak ada rumusnya Anas menyerang Demokrat, pertama Anas pernah menjadi ketua umum Demokrat, kedua sahabat Anas sedang nyaleg di DPR, DPRD, jadi tidak ada kamusnya Anas nyerang Demokrat. Tapi kalau soal dana pilres 2009 terkait nyapresnya Pak SBY, ya benar jadi kalau dibilang saya menyerang Pak SBY, hanya untuk memberikan respon apa yang saya alami dari sikap dan tindakan Pak SBY," kata Anas Urbaningrum di gedung KPK Jakarta, Senin.
Anas saat ini menjadi tahanan KPK karena menjadi tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi pembangunan Pusat Pendidikan, Pelatihan dan Sekolah (P3SON) di Hambalang dan proyek-proyek lain serta tindak pidana pencucian uang.
Terkait dengan penyerahan "Laporan Akuntan Independen atas Penerapan Prosedur yang Disepakati terhadap Laporan Penerimaan dan Penggunaan Dana Kampanye Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tahun 2009 Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono serta Tim Kampanye Nasional" kepada direktorat Pengaduan Masyarakat KPK, Anas mengaku bahwa tugasnya hanya memberikan data, bukan untuk menganalisis data tersebut.
"Tugas saya adalah memberikan data, bukan tugas saya dong untuk menyelidiki itu, tapi tugas KPK. Sekarang KPK sedang menyidik bahkan memproses kasus bank Century kan?" tambah Anas.
Anas kembali menjelaskan bahwa ada nama fiktif dalam daftar penyumbang kampanye pilpres pasangan SBY dan Boediono pada 2009 tersebut.
"Justru saya sampaikan, kalau ada di dalam daftar itu orang yang ditulis menyumbang (tapi) tidak menyumbang berarti ada sumber dana sesungguhnya yang tidak tercatat di situ, sumber dana yang lain, itulah yang perlu diselidiki, apakah ada kaitan dengan Century atau tidak, bukan tugas saya," ungkap Anas.
Ia pun mengklaim bahwa data yang diberikannya adalah otentik dan benar sehingga bukanlah fitnah.
"Ini bukan fitnah, bukan insinuasi (tuduhan tersembunyi), yang bisa membuat fitnah dan insinuasi itu bukan hobi saya, yang penting adalah saya sekarang sedang menyiapkan penjelasan yang tadi itu, penjelasan tentang data dana kampanye pilpres 2009 agar nanti para penelaah mudah melakukan tugasnya," tambah Anas.
Setelah ditelaah, Anas meyakini bahwa laporannya tersebut dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi dan pencucian uang.
Pada pemilu 9 April 2014 nanti Anas mengaku juga belum menentukan pilihan, apakah memilih Demokrat lagi atau tidak.
"Saya kan mestinya nyoblos di dapil Jakarta Timur, di sana saya sudah hapal caleg-calegnya, sekarang karena Rabu nyoblosnya di sini, dapilnya kan Jakarta Selatan, berarti saya harus pelajari dulu nanti caleg-caleg Jakarta Selatan," ungkap Anas.
Ia hanya berpesan agar menggunakan hak pilih.
"Selamat nyoblos ya, jangan golput, yang penting rakyat itu kalau memilih yang pasti yang dipilih yang dianggap bisa memenuhi memberi dan membawa harapan," jelas Anas.
Untuk tindak pidana korupsi, KPK menyangkakan Anas berdasarkan pasal 12 huruf a atau huruf b atau pasal 11 UU no 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah menjadi UU no 20 tahun 2001 tentang penyelenggara negara yang menerima suap atau gratifikasi dengan ancaman pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4-20 tahun dan pidana denda Rp200-Rp1 miliar.
Anas dalam surat dakwaan mantan Menpora Andi Mallarangeng mendapat Rp2,21 miliar untuk membantu pencalonan sebagai ketua umum dalam kongres Partai Demokrat tahun 2010 yang diberikan secara bertahap pada 19 April 2010 hingga 6 Desember 2010.
Anas juga disangkakan melakukan TPPU sejak 5 Maret lalu dengan sangkaan pasal 3 dan atau Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan atau Pasal 3 ayat 1 dan atau Pasal 6 ayat 1 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana diubah berdasarkan UU No 25 tahun 2003 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP mengenai orang yang menyamarkan harta kekayaan yang berasal dari kejahatan.
Ancaman pidana terhadap orang yang melanggar pasal tersebut adalah penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp10 miliar. Pengenaan pasal tersebut memberikan kewenangan KPK untuk menyita harta kekayaan Wawan yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2014
"Saya bilang tidak ada rumusnya Anas menyerang Demokrat, pertama Anas pernah menjadi ketua umum Demokrat, kedua sahabat Anas sedang nyaleg di DPR, DPRD, jadi tidak ada kamusnya Anas nyerang Demokrat. Tapi kalau soal dana pilres 2009 terkait nyapresnya Pak SBY, ya benar jadi kalau dibilang saya menyerang Pak SBY, hanya untuk memberikan respon apa yang saya alami dari sikap dan tindakan Pak SBY," kata Anas Urbaningrum di gedung KPK Jakarta, Senin.
Anas saat ini menjadi tahanan KPK karena menjadi tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi pembangunan Pusat Pendidikan, Pelatihan dan Sekolah (P3SON) di Hambalang dan proyek-proyek lain serta tindak pidana pencucian uang.
Terkait dengan penyerahan "Laporan Akuntan Independen atas Penerapan Prosedur yang Disepakati terhadap Laporan Penerimaan dan Penggunaan Dana Kampanye Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tahun 2009 Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono serta Tim Kampanye Nasional" kepada direktorat Pengaduan Masyarakat KPK, Anas mengaku bahwa tugasnya hanya memberikan data, bukan untuk menganalisis data tersebut.
"Tugas saya adalah memberikan data, bukan tugas saya dong untuk menyelidiki itu, tapi tugas KPK. Sekarang KPK sedang menyidik bahkan memproses kasus bank Century kan?" tambah Anas.
Anas kembali menjelaskan bahwa ada nama fiktif dalam daftar penyumbang kampanye pilpres pasangan SBY dan Boediono pada 2009 tersebut.
"Justru saya sampaikan, kalau ada di dalam daftar itu orang yang ditulis menyumbang (tapi) tidak menyumbang berarti ada sumber dana sesungguhnya yang tidak tercatat di situ, sumber dana yang lain, itulah yang perlu diselidiki, apakah ada kaitan dengan Century atau tidak, bukan tugas saya," ungkap Anas.
Ia pun mengklaim bahwa data yang diberikannya adalah otentik dan benar sehingga bukanlah fitnah.
"Ini bukan fitnah, bukan insinuasi (tuduhan tersembunyi), yang bisa membuat fitnah dan insinuasi itu bukan hobi saya, yang penting adalah saya sekarang sedang menyiapkan penjelasan yang tadi itu, penjelasan tentang data dana kampanye pilpres 2009 agar nanti para penelaah mudah melakukan tugasnya," tambah Anas.
Setelah ditelaah, Anas meyakini bahwa laporannya tersebut dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi dan pencucian uang.
Pada pemilu 9 April 2014 nanti Anas mengaku juga belum menentukan pilihan, apakah memilih Demokrat lagi atau tidak.
"Saya kan mestinya nyoblos di dapil Jakarta Timur, di sana saya sudah hapal caleg-calegnya, sekarang karena Rabu nyoblosnya di sini, dapilnya kan Jakarta Selatan, berarti saya harus pelajari dulu nanti caleg-caleg Jakarta Selatan," ungkap Anas.
Ia hanya berpesan agar menggunakan hak pilih.
"Selamat nyoblos ya, jangan golput, yang penting rakyat itu kalau memilih yang pasti yang dipilih yang dianggap bisa memenuhi memberi dan membawa harapan," jelas Anas.
Untuk tindak pidana korupsi, KPK menyangkakan Anas berdasarkan pasal 12 huruf a atau huruf b atau pasal 11 UU no 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah menjadi UU no 20 tahun 2001 tentang penyelenggara negara yang menerima suap atau gratifikasi dengan ancaman pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4-20 tahun dan pidana denda Rp200-Rp1 miliar.
Anas dalam surat dakwaan mantan Menpora Andi Mallarangeng mendapat Rp2,21 miliar untuk membantu pencalonan sebagai ketua umum dalam kongres Partai Demokrat tahun 2010 yang diberikan secara bertahap pada 19 April 2010 hingga 6 Desember 2010.
Anas juga disangkakan melakukan TPPU sejak 5 Maret lalu dengan sangkaan pasal 3 dan atau Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan atau Pasal 3 ayat 1 dan atau Pasal 6 ayat 1 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana diubah berdasarkan UU No 25 tahun 2003 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP mengenai orang yang menyamarkan harta kekayaan yang berasal dari kejahatan.
Ancaman pidana terhadap orang yang melanggar pasal tersebut adalah penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp10 miliar. Pengenaan pasal tersebut memberikan kewenangan KPK untuk menyita harta kekayaan Wawan yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2014