Jakarta (Antaranews Gorontalo) - Darurat narkoba saat ini layak disandangkan bagi Indonesia mengingat semakin maraknya aksi penyelundupan barang haram itu dari luar negeri dengan jumlah fantastis mencapai berton-ton.
Seperti tim Gabungan BNN, Satgasus Polri dan Bea Cukai mengungkap peredaran gelap narkotika jenis sabu-sabu seberat 1,6 ton di Perairan Anambas, Kepulauan Riau pada 20 Februari 2018.
Kemudian pada 7 Februari 2018 KRI Sigurot di bawah kendali Gugus Keamanan Laut Armada Bagian Barat (Guskamlabar) TNI AL dalam rangka Operasi Pamtas Indosin (Indonesia-Singapura) 2018 mengaamnkan 41 karung plastik yang berisi 1.019 bungkus sabu-sabu seberat 1,3 ton setara dengan Rp2 triliun.
Bahkan laman Badan Narkotika Nasional (BNN) Provinsi Lampung, menyebutkan Indonesia masuk dalam tujuh negara pengedar narkoba terbesar di dunia, setelah Columbia, China, Brazil, Iran, Meksiko, Italia.
Benar-benar miris melihat setiap waktu BNN melakukan operasi yang dahulunya satuan berat kilogramnya saja sudah fantastis namun sekarang melewati satuan itu mencapai ton dengan nilai triliunan rupiah.
Namun sayangnya tindakan tegas kepada para pelaku atau otak peredaran narkoba, seperti eksekusi mati satu tahun belakangan seakan-akan berat untuk dilaksanakan. Selama masa Pemerintahan Presiden Joko Widodo eksekusi mati hanya tertahan sampai edisi Jilid III saja.
Saat ini publik menanti gebrakan kejaksaan selaku eksekutor untuk melanjutkan eksekusi mati jilid IV. Hal ini untuk membalas kegeraman atas semakin menjadinya peredaran narkoba yang telah merusak generasi muda Bangsa Indonesia saat ini sekaligus untuk dijadikan sebagai "efek kejut".
Seperti diketahui, eksekusi mati jilid 1 dilakukan terhadap Andrew Chan dan Myuran Sukumaran (WN Australia anggota Bali Nine), Raheem Agbaje Salami, Sylvester Obiekwe Nwolise, Okwudili Oyatanze (WN Nigeria), Martin Anderson (Ghana), Rodrigo Galarte (Brasil) dan Zainal Abidin (Indonesia).
Jilid 2, sebanyak enam terpidana mati, yakni, Ang Kiem Soei (WN Belanda), Marco Archer (Brasil), Daniel Enemuo (Nigeria), Namaona Denis (Malawi), Rani Andriani (Indonesia) dan Tran Bich Hanh (Vietnam). Kesemuanya kasus narkoba.
Jilid 3, sebanyak empat terpidana mati, Freddy Budiman (WN Indonesia), Seck Osmane (Nigeria), Humprey Jefferson Ejike (Nigeria) dan Michael Titus Igweh (Nigeria), yang menjalani eksekusi mati.
Pengamat hukum pidana Universitas Bung Karno, Jakarta, Azmi Syahputra, menilai maraknya narkoba masuk ke Indonesia merupakan dampak sampingan atau "side effect" dari eksekusi mati yang terlalu lama sehingga tidak ada kepastian hukum.
"Hukum di Indonesia dianggap oleh para pebisnis narkoba masih flexibility," katanya.
Azmi Syahputra menambahkan negara tidak boleh abai atau dalam posisi "kedap", negara harus hadir melihat kenyataan ancaman berbahaya bagi keselamatan bangsa ini. Di lain sisi, kelemahan regulasi hukum dan penegakan hukum di Indonesia terhadap para pengedar atau pemroduksi narkoba ini belum maksimal dan efektif, saatnya hukuman yang maksimal berupa hukuman mati dan merampas kekayaannya jika perlu diterapkan tanpa tawar.
Pemerintah terutama penegak hukum harus tegas agar terlindunginya warga negara Indonesia dari jahatnya para pebisnis narkoba. Hal ini merupakan wujud penjajahan gaya baru untuk Indonesia dengan merusak mental manusia Indonesia. Selanjutnya Azmi menegaskan untuk menangguhkan RKUHP spanjang mengenai klausula yang memberikan dispensasi bagi terpidana mati.
Dalam RKUHP, terpidana mati yang sudah menjalani hukuman 10 tahun dan berkelakuan baik, pidana mati dapat diubah menjadi hukuman 20 tahun.
"Ini menjadi celah bahaya, Indonesia akan jadi ladang bisnis segar bagi para pebisnis narkoba dengan ancaman hukuman seperti RKUHP ini sehingga pemerintah harus tegas karena kalau tidak Indonesia akan hancur dan generasi mudanya akan lemah sukanya halusinasi," paparnya.
Ia juga menyebutkan semakin gencarnya serangan narkoba ke Indonesia terbukti dengan semakin canggihnya modus dengan jumlah yang sangat besar (jumlahnya berton) untuk memasukkan zat yang berbahaya yang menganggu keberlangsungan bangsa ke depan.
Indonesia harus dinyatakan darurat narkoba dan seluruh elemen pemerintah mengambil langkah cepat, tegas, terarah dan konkret. Saat ini diketahui hampir semua lapisan masyarakat nyata-nyata kena dampaknya baik sebagai pemakai bahkan miris menjadi pengedar atau dijadikan wilayah Indonesia menjadi tempat produksi atau ladang bisnis.
Sebagai negara yang berdaulat dan wujud negara hukum saatnya pemerintah tegas menunjukkan sikap tanggung jawabnya untuk melindungi warga negara.
"Maka eksekusi mati harus dijalankan tidak boleh ditunda lagi karena faktanya bisnis narkoba ini banyak dijalankan dari dalam LP atau rutan oleh orang-orang yang berstatus narapidana. Posisi mereka sebagai narapidana ini dimanfaatkan oleh mafia pebisnis narkoba," katanya.
Hal senada disampaikan Ketua Umum DPP Gerakan Nasional Anti Narkotika (Granat), Henry Yosodiningrat yang menyatakan penundaan pelaksanaan eksekusi mati terhadap terpidana narkoba oleh kejaksaan, sama dengan memberikan kesempatan atau melakukan pembiaran terhadap para sindikat yang sudah dipidana mati dan menyemarakkan sindikat narkoba.
"Bahwa dengan ditunda-tundanya eksekusi itu, sama saja dengan memberikan kesempatan atau melakukan pembiaran terhadap para sindikat yang sudah dipidana mati sudah mempunyai kekuatan hukum tetap untuk mengendalikan bisnis narkoba dalam lembaga pemasyarakatan," katanya di Jakarta, Selasa malam.
Dirinya mengaku tidak mengetahui mengapa kejaksaan belum melaksanaan eksekusi mati jilid IV, jika terkait grasi maka Granat meminta presiden untuk segera menolaknya. "Presiden sendiri sudah jelas mengatakan tidak akan ada grasi. Saya mendesak kepada presiden agar segera mengeluarkan penetapan penolakan grasi," katanya.
Ia menambahkan MA untuk segera menurunkan berapa kalinya seseorang mengajukan PK. "Inikan kondisi bangsa darurat narkoba. Sekarang mestinya MA harus peka dong," katanya.
"Karena apa dengan menunda-nunda itu, memberikan kesempatan atau pembiaran terhadap mereka," katanya.
Tinggal eksekusi
Sementara itu, Jaksa Agung Republik Indonesia (RI) HM Prasetyo menegaskan pelaksanaan eksekusi mati jilid IV hanya tinggal menunggu waktu yang tepat.
"Timingnya sedang kita timbang-timbang kapan waktu yang tepat untuk melaksanakan eksekusi," katanya.
Ia menegaskan adanya desakan hukuman mati di Indonesia dihapuskan, pihaknya akan tetap menjalankan hukum positif di Indonesia yang menyebutkan adanya hukuman mati.
"Saya sudah sampaikan berulang kali itu bahwa kita belum pernah menyatakan tidak akan ada hukuman mati lagi, karena hukum positif kita masih mengatur seperti itu," ucapnya, menegaskan.
Tentunya, kata dia, untuk putusan hukuman mati yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap (inkrah) dan semua hak hukum terpidana sudah dipenuhi. "Tentunya kita laksanakan," ujarnya.
"Jangan pikir bahwa kita tidak akan melaksanakan eksekusi mati," tegasnya.
Ia mengakui masih ada yang memanfaatkan peluang grasi yang tidak ada batasan waktunya dan pengajuan Peninjauan Kembali (PK) lebih dari sekali. "Itu persoalan karena hukuman mati itu sangat khusus tidak seperti hukuman lain," katanya.
Dijelaskan, kalau perkara pidana lain, permohonan PK tidak menangguhkan pelaksanaan putusan, namun lain lagi halnya dengan pidana mati. "Jangan sampai justru sudah dieksekusi ada PK dan putusan pengadilan mengabulkan, kan tidak bisa lagi," tuturnya.
Saat menerima kunjungan rombongan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dipimpin Zeid Ra`ad Al Hussein pada 6 Februari 2018. Prasetyo menegaskan banyaknya korban dari anak-anak dalam penyalahgunaan narkoba.
Sebanyak enam juta anak Indonesia yang usia produktif menjadi korban penyalahgunaan narkotika. Kejaksaan hanya esekutor penegak hukum sejauh undang-undang masih mengatur hukuman mati. "Kalau sudah menjadi putusan tetap (inkrah) tetap harus dilakukan dan dilaksanakan," katanya.
Hal itu guna menanggapi perwakilan dari PBB yang menyebutkan bahwa pelaksanaan eksekusi mati itu tidak mengurangi jumlah kejahatan dan tidak juga menyelesaikan masalah.
Perwakilan PBB itu mengimbau sesuai dengan kapasitas kejahatan ini, hukuman mati bisa dipertimbangkan," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2018
Seperti tim Gabungan BNN, Satgasus Polri dan Bea Cukai mengungkap peredaran gelap narkotika jenis sabu-sabu seberat 1,6 ton di Perairan Anambas, Kepulauan Riau pada 20 Februari 2018.
Kemudian pada 7 Februari 2018 KRI Sigurot di bawah kendali Gugus Keamanan Laut Armada Bagian Barat (Guskamlabar) TNI AL dalam rangka Operasi Pamtas Indosin (Indonesia-Singapura) 2018 mengaamnkan 41 karung plastik yang berisi 1.019 bungkus sabu-sabu seberat 1,3 ton setara dengan Rp2 triliun.
Bahkan laman Badan Narkotika Nasional (BNN) Provinsi Lampung, menyebutkan Indonesia masuk dalam tujuh negara pengedar narkoba terbesar di dunia, setelah Columbia, China, Brazil, Iran, Meksiko, Italia.
Benar-benar miris melihat setiap waktu BNN melakukan operasi yang dahulunya satuan berat kilogramnya saja sudah fantastis namun sekarang melewati satuan itu mencapai ton dengan nilai triliunan rupiah.
Namun sayangnya tindakan tegas kepada para pelaku atau otak peredaran narkoba, seperti eksekusi mati satu tahun belakangan seakan-akan berat untuk dilaksanakan. Selama masa Pemerintahan Presiden Joko Widodo eksekusi mati hanya tertahan sampai edisi Jilid III saja.
Saat ini publik menanti gebrakan kejaksaan selaku eksekutor untuk melanjutkan eksekusi mati jilid IV. Hal ini untuk membalas kegeraman atas semakin menjadinya peredaran narkoba yang telah merusak generasi muda Bangsa Indonesia saat ini sekaligus untuk dijadikan sebagai "efek kejut".
Seperti diketahui, eksekusi mati jilid 1 dilakukan terhadap Andrew Chan dan Myuran Sukumaran (WN Australia anggota Bali Nine), Raheem Agbaje Salami, Sylvester Obiekwe Nwolise, Okwudili Oyatanze (WN Nigeria), Martin Anderson (Ghana), Rodrigo Galarte (Brasil) dan Zainal Abidin (Indonesia).
Jilid 2, sebanyak enam terpidana mati, yakni, Ang Kiem Soei (WN Belanda), Marco Archer (Brasil), Daniel Enemuo (Nigeria), Namaona Denis (Malawi), Rani Andriani (Indonesia) dan Tran Bich Hanh (Vietnam). Kesemuanya kasus narkoba.
Jilid 3, sebanyak empat terpidana mati, Freddy Budiman (WN Indonesia), Seck Osmane (Nigeria), Humprey Jefferson Ejike (Nigeria) dan Michael Titus Igweh (Nigeria), yang menjalani eksekusi mati.
Pengamat hukum pidana Universitas Bung Karno, Jakarta, Azmi Syahputra, menilai maraknya narkoba masuk ke Indonesia merupakan dampak sampingan atau "side effect" dari eksekusi mati yang terlalu lama sehingga tidak ada kepastian hukum.
"Hukum di Indonesia dianggap oleh para pebisnis narkoba masih flexibility," katanya.
Azmi Syahputra menambahkan negara tidak boleh abai atau dalam posisi "kedap", negara harus hadir melihat kenyataan ancaman berbahaya bagi keselamatan bangsa ini. Di lain sisi, kelemahan regulasi hukum dan penegakan hukum di Indonesia terhadap para pengedar atau pemroduksi narkoba ini belum maksimal dan efektif, saatnya hukuman yang maksimal berupa hukuman mati dan merampas kekayaannya jika perlu diterapkan tanpa tawar.
Pemerintah terutama penegak hukum harus tegas agar terlindunginya warga negara Indonesia dari jahatnya para pebisnis narkoba. Hal ini merupakan wujud penjajahan gaya baru untuk Indonesia dengan merusak mental manusia Indonesia. Selanjutnya Azmi menegaskan untuk menangguhkan RKUHP spanjang mengenai klausula yang memberikan dispensasi bagi terpidana mati.
Dalam RKUHP, terpidana mati yang sudah menjalani hukuman 10 tahun dan berkelakuan baik, pidana mati dapat diubah menjadi hukuman 20 tahun.
"Ini menjadi celah bahaya, Indonesia akan jadi ladang bisnis segar bagi para pebisnis narkoba dengan ancaman hukuman seperti RKUHP ini sehingga pemerintah harus tegas karena kalau tidak Indonesia akan hancur dan generasi mudanya akan lemah sukanya halusinasi," paparnya.
Ia juga menyebutkan semakin gencarnya serangan narkoba ke Indonesia terbukti dengan semakin canggihnya modus dengan jumlah yang sangat besar (jumlahnya berton) untuk memasukkan zat yang berbahaya yang menganggu keberlangsungan bangsa ke depan.
Indonesia harus dinyatakan darurat narkoba dan seluruh elemen pemerintah mengambil langkah cepat, tegas, terarah dan konkret. Saat ini diketahui hampir semua lapisan masyarakat nyata-nyata kena dampaknya baik sebagai pemakai bahkan miris menjadi pengedar atau dijadikan wilayah Indonesia menjadi tempat produksi atau ladang bisnis.
Sebagai negara yang berdaulat dan wujud negara hukum saatnya pemerintah tegas menunjukkan sikap tanggung jawabnya untuk melindungi warga negara.
"Maka eksekusi mati harus dijalankan tidak boleh ditunda lagi karena faktanya bisnis narkoba ini banyak dijalankan dari dalam LP atau rutan oleh orang-orang yang berstatus narapidana. Posisi mereka sebagai narapidana ini dimanfaatkan oleh mafia pebisnis narkoba," katanya.
Hal senada disampaikan Ketua Umum DPP Gerakan Nasional Anti Narkotika (Granat), Henry Yosodiningrat yang menyatakan penundaan pelaksanaan eksekusi mati terhadap terpidana narkoba oleh kejaksaan, sama dengan memberikan kesempatan atau melakukan pembiaran terhadap para sindikat yang sudah dipidana mati dan menyemarakkan sindikat narkoba.
"Bahwa dengan ditunda-tundanya eksekusi itu, sama saja dengan memberikan kesempatan atau melakukan pembiaran terhadap para sindikat yang sudah dipidana mati sudah mempunyai kekuatan hukum tetap untuk mengendalikan bisnis narkoba dalam lembaga pemasyarakatan," katanya di Jakarta, Selasa malam.
Dirinya mengaku tidak mengetahui mengapa kejaksaan belum melaksanaan eksekusi mati jilid IV, jika terkait grasi maka Granat meminta presiden untuk segera menolaknya. "Presiden sendiri sudah jelas mengatakan tidak akan ada grasi. Saya mendesak kepada presiden agar segera mengeluarkan penetapan penolakan grasi," katanya.
Ia menambahkan MA untuk segera menurunkan berapa kalinya seseorang mengajukan PK. "Inikan kondisi bangsa darurat narkoba. Sekarang mestinya MA harus peka dong," katanya.
"Karena apa dengan menunda-nunda itu, memberikan kesempatan atau pembiaran terhadap mereka," katanya.
Tinggal eksekusi
Sementara itu, Jaksa Agung Republik Indonesia (RI) HM Prasetyo menegaskan pelaksanaan eksekusi mati jilid IV hanya tinggal menunggu waktu yang tepat.
"Timingnya sedang kita timbang-timbang kapan waktu yang tepat untuk melaksanakan eksekusi," katanya.
Ia menegaskan adanya desakan hukuman mati di Indonesia dihapuskan, pihaknya akan tetap menjalankan hukum positif di Indonesia yang menyebutkan adanya hukuman mati.
"Saya sudah sampaikan berulang kali itu bahwa kita belum pernah menyatakan tidak akan ada hukuman mati lagi, karena hukum positif kita masih mengatur seperti itu," ucapnya, menegaskan.
Tentunya, kata dia, untuk putusan hukuman mati yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap (inkrah) dan semua hak hukum terpidana sudah dipenuhi. "Tentunya kita laksanakan," ujarnya.
"Jangan pikir bahwa kita tidak akan melaksanakan eksekusi mati," tegasnya.
Ia mengakui masih ada yang memanfaatkan peluang grasi yang tidak ada batasan waktunya dan pengajuan Peninjauan Kembali (PK) lebih dari sekali. "Itu persoalan karena hukuman mati itu sangat khusus tidak seperti hukuman lain," katanya.
Dijelaskan, kalau perkara pidana lain, permohonan PK tidak menangguhkan pelaksanaan putusan, namun lain lagi halnya dengan pidana mati. "Jangan sampai justru sudah dieksekusi ada PK dan putusan pengadilan mengabulkan, kan tidak bisa lagi," tuturnya.
Saat menerima kunjungan rombongan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dipimpin Zeid Ra`ad Al Hussein pada 6 Februari 2018. Prasetyo menegaskan banyaknya korban dari anak-anak dalam penyalahgunaan narkoba.
Sebanyak enam juta anak Indonesia yang usia produktif menjadi korban penyalahgunaan narkotika. Kejaksaan hanya esekutor penegak hukum sejauh undang-undang masih mengatur hukuman mati. "Kalau sudah menjadi putusan tetap (inkrah) tetap harus dilakukan dan dilaksanakan," katanya.
Hal itu guna menanggapi perwakilan dari PBB yang menyebutkan bahwa pelaksanaan eksekusi mati itu tidak mengurangi jumlah kejahatan dan tidak juga menyelesaikan masalah.
Perwakilan PBB itu mengimbau sesuai dengan kapasitas kejahatan ini, hukuman mati bisa dipertimbangkan," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2018