Semarang (Antaranews Gorontalo) - Dewan Kehormatan Provinsi PWI Jawa Tengah mengungkapan adanya indikasi media penyiaran, khususnya televisi, telah terpolarisasi menjelang pemilihan umum anggota legislatif dan Pemilihan Presiden 2019.

Sekretaris DKP Provinsi Jawa Tengah Drs Sosiawan kepada Antara di Semarang, Sabtu, mengatakan bahwa media penyiaran itu seharusnya tidak berpihak kepada salah satu partai peserta pemilu anggota legislatif atau kontestan pilpres.

Namun pada kenyataanya menunjukkan adanya indikasi media penyiaran telah terpolarisasi dalam dua kubu pasangan calon presiden dan wakil presiden.

"Ada yang terkesan kuat mendukung pasangan Jokowi dan Ma`ruf Amin dan ada pula yang prokubu pasangan Prabowo dan Sandi," kata Sosiawan yang juga Ketua Komisi Informasi Provinsi Jateng.

Di lain pihak, DKP PWI Jateng juga memandang perlu pers mengawasi penyelenggara pemilu, termasuk mengkritik putusan dan/atau produk peraturan perundang-undangan yang menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat.

Ketua DKP PWI Jateng Drs Sri Mulyadi MM mengatakan bahwa insan pers, khususnya anggota PWI, jangan sampai membiarkan kontroversi berlangsung terus-menerus, apalagi sampai menganggu tahapan Pemilu 2019.

Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Pasal 6 Butir a, disebutkan bahwa pers nasional melaksanakan peranannya memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui.

Sri Mulyadi mencontohkan informasi yang perlu masyarakat tahu, antara lain, latar belakang Mahkamah Agung RI yang belum memutuskan uji materi Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Pers perlu menanyakan kepada pihak kompeten agar informasinya tepat, akurat dan benar. Dengan demikian, publik akan tahu bahwa MA belum memutuskan perkara itu karena terkait dengan UU MK Nomor 24 Tahun 2003 Pasal 53 dan Pasal 55.

Di dalam Pasal 53 disebutkan bahwa MK memberitahukan kepada MA adanya permohonan pengujian undang-undang dalam jangka waktu paling lambat 7 hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.

Selanjutnya, Pasal 55 berbunyi: "Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang sedang dilakukan MA wajib dihentikan apabila UU yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam pengujian MK sampai ada putusan MK."

Sementara itu, dalam Putusan MK Nomor Perkara 93/PUU-XV/2017, frasa "dihentikan" pada Pasal 55 UU No. 24/2003 tentang MK sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 8/2011 bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945.

"Informasi seperti itu perlu diketahui oleh masyarakat," kata Sri Mulyadi yang juga dosen Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang.

Pewarta: Kliwon

Editor : Hence Paat


COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2018