Jakarta (Antaranews Gorontalo) - Apa yang dibayangkan dari wilayah pedalaman dan pegunungan? Mayoritas orang akan berpikir tentang terisolir dan jauh dari peradaban.

Jangankan menetap di pedalaman, terlintas di benak pun kemungkinan hanya segilintir orang yang cuma merindukan tentang alam, bukan kehidupan keseharian. Tapi tidak bagi Martinus, pria paruh baya tersebut tinggal di wilayah yang masuk kategori daerah terdepan, terluar, dan tertinggal. Bukan mengabdi, tapi memang tinggal sejak kecil dan bertahan hidup. Wamena atau Babi Jinak jika diartikan dalam bahasa Dani, merupakan tempat tinggal Martinus.

Wamena adalah kota terbesar yang ada di antara pegunungan tengah Papua, terkenal oleh sajak-sajak yang sering menyebut Lembah Baliem, para "penyintas kebisingan" yang memuja alam sepakat menyebut Wamena dan Lembah Baliem adalah bingkisan Tuhan yang dikemas dengan pegunungan Jayawijaya di daratan Papua. Namun, siapa yang bisa menduga jika di daratan indah setinggi 1.800 meter di atas permukaan laut tersebut harus merogoh kantong dalam untuk meraih Rp200.000 hanya untuk isi penuh tangki motor bebek. 

Benar saja, di Wamena untuk satu liter Solar atau premium diberi harga yang tinggi, yaitu Rp50.000 sampai Rp70.000, tentu saja hal tersebut karena wilayah geografis yang sulit dijangkau distributor BBM. Tingginya harga BBM tidak serta merta menjadi jaminan masyarakat akan mendapatkan BBM sesuai kebutuhannya. Salah satunya, disebabkan akses distribusi BBM menuju Wamena yang terbatas. Distribusi BBM hanya bisa dilakukan menggunakan pesawat dari Jayapura.

Masyarakat harus bergantung pada pedagang BBM eceran yang mematok harga tinggi dan ketersediannya pun terbatas. Selain akses yang terbatas, tingginya kebutuhan BBM di Wamena menjadi alasan lain kelangkaan di daerah tersebut. "BBM di sini tidak saja dipakai orang Wamena saja. Tetapi pendatang dari wilayah lain, mengisi BBM-nya juga di sini," kata Martinus. 

BBM Satu Harga
Sekejap pandang Martinus mulai nampak mengembangkan senyuman, setelah menceritakan bagaimana risaunya ia menjalani kehidupan ekonomi dengan harga yang tidak bisa ditebak karena bergantung pada banderol BBM tinggi di tingkat pengecer. Kini dirinya tak perlu khawatir dengan tingginya harga Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk kendaraannya, sejak Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Kompak Wamena di Kabupaten Jayawijaya diresmikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Wilayah seluas 241,31 km persegi itu harga BBM telah sama dengan wilayah Indonesia lainnya, di mana menjadi pendorong geliat ekonomi masyarakat sekitarnya. Keberadaan SPBU Kompak pun menjadi pemicu bagi masyarakat untuk beraktivitas lebih dari waktu sebelumnya. Dulu, masyarakat harus bergantung pada pedagang BBM eceran yang mematok harga tinggi dan ketersediannya pun terbatas.

Dengan adanya program BBM Satu Harga ini, Martinus merasakan penghematan yang cukup signifikan. Apabila sebelumnya dirinya harus mengeluarkan uang sebesar Rp200.000 untuk mengisi penuh tangki sepeda motornya, kini dirinya hanya perlu mengeluarkan uang sebesar Rp 25.800. Setiap mengisi, dirinya bisa menghemat Rp174.200. "Ini (Rp200.000) biasanya saya pakai sekali mengisi, sekarang bisa untuk delapan kali," ungkap Martinus.

Wamena yang menjadi salah satu titik sentral di kawasan pegunungan tengah Papua, menjadikan letaknya strategis untuk masyarakat menjalankan kegiatan perekonomiannya. Masyarakat dari Lanny Jaya, Yahukimo, Tolikara dan sekitarnya biasanya menjadikan Wamena sebagai pusat kegiatan ekonominya seperti berdagang hasil kebun dan ternak. Banyaknya masyarakat sekitar yang hilir mudik ke Wamena, menjadikan kebutuhan BBM makin meningkat.

Lain pegunungan tempat Martinus, cerita kemudian datang dari lautan, arah Maluku, tepatnya di Desa Nolot, Pulau Saparua. Perahu Galilea melambat sebelum sampai ke dermaga. Nampak awak kapal sibuk membuang sesuatu ke laut. Tidak berselang cukup lama, belasan drum bermunculan hanyut mengapung di laut dangkal, nampaknya sengaja dihanyutkan untuk tujuan tertentu.

Menggiringnya satu per satu ke tepian, serta mendorong agar menggelinding mudah dipindahkan saat di daratan. Seakan barang yang berharga, drum tersebut dibawa ke tepi dengan sangat hati-hati, bukan perlakuan dorongan kasar. 

Cara seperti ini lumrah terjadi di Desa Nolot, sejarah asal muasal drum tersebut, ternyata diangkut dengan menggunakan Perahu Galilea pembuang drum tadi, yang bermuatan sekitar 18 drum Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Premium dengan total volume 5.000 Liter.

Awalnya BBM ini berasal dari Terminal BBM Wayame, Maluku, yang diangkut dengan mobil tangki berkapasitas 5 Kilo Liter. Setelah perjalanan sekitar 1 jam, mobil tangki tiba di Dermaga Tulehu untuk memindahkan muatan isi tangkinya ke belasan drum yang sudah siap menanti untuk dipindahkan ke perahu di pinggir dermaga.

Setelah pengisian selesai, BBM dibawa dengan Perahu Galilea ke Pulau Saparua dengan waktu perjalanan sekitar 3 jam di atas laut, barulah dihanyutkan ke laut untuk digiring ke daratan. 

Setelah sampai di darat, truk akan membawa BBM tersebut ke satu-satunya lembaga penyalur di pulau ini yaitu Agen Premium Minyak dan Solar (APMS) di pusat keramaian Pulau Saparua.

Untuk sekali proses penurunan BBM hingga siap diangkut truk, pengusaha APMS harus merogoh kocek sekitar Rp 180.000 per perahu. Dalam sehari, ada tiga kali pengantaran dengan perahu. Biaya tersebut belum termasuk biaya pengantaran dengan kapal dan truk ketika tiba di Pulau Saparua. Tapi kini program BBM satu harga juga telah menyasar wilayah Pulau Saparua, sehingga harganya akan sama dengan wilayah kota besar lainnya di Indonesia.

Baca juga: Pertamina perluas bbm satu harga ke Tolinggula

PT Pertamina (Persero) terus merealisasikan BBM Satu Harga di beberapa wilayah Indonesia, sampai dengan minggu pertama September 2018, Pertamina telah mengoperasikan 77 titik BBM Satu Harga. 

Vice President Corporate Communication PT Pertamin (Persero) Adiatma Sardjito menyatakan jumlah tersebut meliputi 54 titik yang telah beroperasi pada tahun 2017 dan 23 titik yang beroperasi sejak Januari hingga awal September 2018. 

“Sebanyak 77 lembaga penyalur BBM yang telah beroperasi, beberapa sudah diresmikan Pertamina bekerja sama dengan BPH Migas, namun demikian yang belum diresmikan tetap beroperasi dan melayani masyarakat,” kata Adiatma.

Pada tahun tahun 2018, Pertamina ditargetkan mengoperasikan 67 titik BBM Satu Harga, di mana sisanya sebanyak 44 titik masih melewati proses perijinan dan pembangunan. “Kami berharap target yang ditetapkan pemerintah dapat diselesaikan sampai akhir 2018,” kata Adiatma.

Secara detil ke-23 titik yang terealisasi di tahun ini berada wilayah Kalimantan, Sulawesi,  Papua, dan Sumatra. Program BBM Satu Harga merupakan program pemerintah dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pemerintah memberikan  perhatian khusus  agar masyarakat yang tinggal di wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan dan Terluar) bisa merasakan harga BBM sesuai ketentuan Pemerintah dalam rangka pemerataan dan asas keadilan.

Pewarta: Afut

Editor : Hence Paat


COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2018