Oleh Gunawan Witjaksana *)
Pernyataan Partai Gerindra, bahwa saat ini emak-emak ogah memilih Jokowi karena merasa mereka makin tertekan oleh kondisi ekonomi yang sulit, sebenarnya merupakan sebuah persepsi.
Disebut persepsi, karena pada kenyataannya, pernyataan tersebut tidak disertai dengan data empirik yang memadai.
Di sisi lain, melalui berbagai media serta pengamatan di lapangan, tampak kondisi sebaliknya, bagaimana ibu-ibu justru mengapresiasi kinerja pemerintahan Jokowi-JK, yang menurut mereka berbagai kemudahan mereka dapatkan saat ini.
Bahkan, banyak di antaranya yang mengklaim, jangankan memperoleh kebutuhan sehari-hari, orang sakit pun sekarang tidak perlu khawatir, karena semuanya sudah ditanggung negara melalui BPJS, atau Kartu Indonesia Sehat (KIS), bagi keluarga pra sejahtera.
Makin dekat dengan tahun politik 2019, intensitas dari mereka yang bersaing memperebutkan simpati calon pemilih tampak makin sering.
Sayangnya, mereka sering memanfaatkan pesan komunikasi yang kurang didukung data yang akurat, bahkan memanfaatkan komunikasi politik persepsi, artinya menyampaikan data (yang biasanya mengkritik lawan politiknya) dengan menggunakan persepsi mereka terkait dengan data yang mereka sampaikan, misalnya terkait kesulitan emak-emak, kurs rupiah terhadap dolar yang disamakan dengan kondisi tahun 1998, dan sejenisnya.
Mereka yang memanfaatkan hal tersebut seakan sangat abai misalnya dengan data tentang ketahanan ekonomi Indonesia yang masuk salah satu dari delapan negara yang tahan terhadap krisis, yang disertai data.
Pernyataan Profesor Rhenald Kasali yang melalui hasil penelitiannya menyebut tidak terjadi penurunan daya beli, dan menurutnya yang terjadi hanya shifting (pengalian) dari konvensional ke online, serta data-data positif lainnya.
Pertanyaannya, akan kah komunikasi politik persepsi itu akan digunakan terus oleh lawan politik sang petahana? Bagaimana masyarakat sesungguhnya mempersepsikan hal tersebut?, serta apa yang sebaiknya dilakukan masyarakat menghadapi perang komunikasi politik tersebut?
Media Mencerdaskan
Setidaknya ada dua hal yang tidak boleh diabaikan oleh mereka yang menggunakan pola komunikasi politik persepsi tersebut. Dua hal itu adalah realitas yang dirasakan oleh masyarakat terkait hasil kinerja petahana, serta banyaknya informasi pembanding melalui berbagai media (termasuk media sosial) yang menyebabkan masyarakat makin cerdas.
Saat ini, berdasarkan pengamatan di lapangan melalui diskusi mereka sehari-hari, mereka cenderung makin tidak mempercayai hal-hal yang mereka anggap tidak sesuai dengan yang mereka alami. Mereka sering saling menyampaikan bahwa biasa, oposisi itu pekerjaannya mengkritik.
Yang perlu diperhatikan bahkan ada yang bernada protes, mengapa oposisi seolah tidak mau mengakui keberhasilan pemerintah, meski dunia luar pun mengakui. Kasus sukses penyelenggaraan dan sukses prestasi Asian Games misalnya, tetap saja mereka kritik.
Dalam bahasa komunikasi, kritik itu boleh serta baik, selama kritik tersebut konstruktif, artinya memberikan jalan ke luar. Sebaliknya masyarakat akan menilai kritik itu mengada-ada bila dilakukan terus menerus dan terkesan asal menyalahkan.
Dalam bahasa komunikasi, bagi penantang, mengapresiasi kenerja petahana sembari menyampaikan usulan penyempurnaan, justru akan lebih memperoleh simpati.
Secara konkret, bila kita mengikuti berbagai kritik yang dilakukan elite politik di media online, maka biasanya pengkritik yang terkesan membabi buta justru akan menuai kecaman serta olok-olok yang bahkan menggunakan kata-kata yang sangat tidak layak.
Hal tersebut jelas sangat merugikan yang bersangkutan, bahkan merugikan partai politik di mana yang bersangkutan bernaung. Dalam bahasa Public Relations, apa yang dilakukan individu baik positif atau pun negatif akan berimbas pada organisasi, di mana pengkritik tersebut bernaung. Ini sekaligus sesuai dengan pepatah, karena nila setitik, rusaklah susu sebelanga.
Banyak menyampaikan pernyataan melalui media massa, jelas akan sangat terkait dengan popularitas yang akan diperolehnya. Masalahnya, bila isi kritik itu asal beda (waton suloyo, Jawa), maka popularitas yang dialaminya justru kontraproduktif, karena biasanya berupa popularitas negatif, yang sekaligus akan merugikan institusinya.
Karakter
Kita lalu ingat apa yang dikatakan Yale, bahwa kredibilitas seseorang itu akan ditentukan oleh "expertness and character". Terkait "expertness", saat ini tidak ada masalah karena para elite banyak yang bergelar sarjana, pascasarjana, bahkan doktor. Namun, terkait karakter, maka yang bisa menjaga adalah elite yang bersangkutan.
Terkait dengan hal tersebut Towne dan Alder mengatakan bahwa, komunikasi itu tidak bisa diperbaiki serta diulang (communication is irreversible and unrepeatable). Para sesepuh kita juga pernah menyampaikan bahwa "ajining diri jalaran soko lati". Dalam era kemajuan teknologi informasi saat ini lambe atau mulut itu dikaitkan dengan berbagai pernyataan yang dilontarkan melalui berbagai media.
Terlebih, sebagai elit seharusnya mereka faham tentang kekuatan media, di mana mereka menyampaikan berbagai pernyataan.
Pilihannya tinggal apakah mereka akan acuh dan tetap melakukan gaya komunikasi politik asal sruduk secara terus-menerus, dengan harapan akan banyak masyarakat yang tersesat mengikutinya, atau sebaliknya mengubah gaya komunikasi politiknya, melalui komunikasi politik yang santun dan bersahaja, sehingga masyarakat akan simpati kepadanya.
Masyarakat yang makin cerdas pun sebenarnya banyak diuntungkan oleh banyaknya berbagai pernyataan yang tidak jarang saling bertentangan.
Namun, dibantu oleh media serta kaum cerdik cendekiawan, mereka diharapkan akan mampu memilih dan akhirnya memilah, mana informasi yang bisa dipercaya, serta mana yang harus mereka abaikan atau mereka buang.
*) Penulis adalah dosen dan Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Semarang
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2018
Pernyataan Partai Gerindra, bahwa saat ini emak-emak ogah memilih Jokowi karena merasa mereka makin tertekan oleh kondisi ekonomi yang sulit, sebenarnya merupakan sebuah persepsi.
Disebut persepsi, karena pada kenyataannya, pernyataan tersebut tidak disertai dengan data empirik yang memadai.
Di sisi lain, melalui berbagai media serta pengamatan di lapangan, tampak kondisi sebaliknya, bagaimana ibu-ibu justru mengapresiasi kinerja pemerintahan Jokowi-JK, yang menurut mereka berbagai kemudahan mereka dapatkan saat ini.
Bahkan, banyak di antaranya yang mengklaim, jangankan memperoleh kebutuhan sehari-hari, orang sakit pun sekarang tidak perlu khawatir, karena semuanya sudah ditanggung negara melalui BPJS, atau Kartu Indonesia Sehat (KIS), bagi keluarga pra sejahtera.
Makin dekat dengan tahun politik 2019, intensitas dari mereka yang bersaing memperebutkan simpati calon pemilih tampak makin sering.
Sayangnya, mereka sering memanfaatkan pesan komunikasi yang kurang didukung data yang akurat, bahkan memanfaatkan komunikasi politik persepsi, artinya menyampaikan data (yang biasanya mengkritik lawan politiknya) dengan menggunakan persepsi mereka terkait dengan data yang mereka sampaikan, misalnya terkait kesulitan emak-emak, kurs rupiah terhadap dolar yang disamakan dengan kondisi tahun 1998, dan sejenisnya.
Mereka yang memanfaatkan hal tersebut seakan sangat abai misalnya dengan data tentang ketahanan ekonomi Indonesia yang masuk salah satu dari delapan negara yang tahan terhadap krisis, yang disertai data.
Pernyataan Profesor Rhenald Kasali yang melalui hasil penelitiannya menyebut tidak terjadi penurunan daya beli, dan menurutnya yang terjadi hanya shifting (pengalian) dari konvensional ke online, serta data-data positif lainnya.
Pertanyaannya, akan kah komunikasi politik persepsi itu akan digunakan terus oleh lawan politik sang petahana? Bagaimana masyarakat sesungguhnya mempersepsikan hal tersebut?, serta apa yang sebaiknya dilakukan masyarakat menghadapi perang komunikasi politik tersebut?
Media Mencerdaskan
Setidaknya ada dua hal yang tidak boleh diabaikan oleh mereka yang menggunakan pola komunikasi politik persepsi tersebut. Dua hal itu adalah realitas yang dirasakan oleh masyarakat terkait hasil kinerja petahana, serta banyaknya informasi pembanding melalui berbagai media (termasuk media sosial) yang menyebabkan masyarakat makin cerdas.
Saat ini, berdasarkan pengamatan di lapangan melalui diskusi mereka sehari-hari, mereka cenderung makin tidak mempercayai hal-hal yang mereka anggap tidak sesuai dengan yang mereka alami. Mereka sering saling menyampaikan bahwa biasa, oposisi itu pekerjaannya mengkritik.
Yang perlu diperhatikan bahkan ada yang bernada protes, mengapa oposisi seolah tidak mau mengakui keberhasilan pemerintah, meski dunia luar pun mengakui. Kasus sukses penyelenggaraan dan sukses prestasi Asian Games misalnya, tetap saja mereka kritik.
Dalam bahasa komunikasi, kritik itu boleh serta baik, selama kritik tersebut konstruktif, artinya memberikan jalan ke luar. Sebaliknya masyarakat akan menilai kritik itu mengada-ada bila dilakukan terus menerus dan terkesan asal menyalahkan.
Dalam bahasa komunikasi, bagi penantang, mengapresiasi kenerja petahana sembari menyampaikan usulan penyempurnaan, justru akan lebih memperoleh simpati.
Secara konkret, bila kita mengikuti berbagai kritik yang dilakukan elite politik di media online, maka biasanya pengkritik yang terkesan membabi buta justru akan menuai kecaman serta olok-olok yang bahkan menggunakan kata-kata yang sangat tidak layak.
Hal tersebut jelas sangat merugikan yang bersangkutan, bahkan merugikan partai politik di mana yang bersangkutan bernaung. Dalam bahasa Public Relations, apa yang dilakukan individu baik positif atau pun negatif akan berimbas pada organisasi, di mana pengkritik tersebut bernaung. Ini sekaligus sesuai dengan pepatah, karena nila setitik, rusaklah susu sebelanga.
Banyak menyampaikan pernyataan melalui media massa, jelas akan sangat terkait dengan popularitas yang akan diperolehnya. Masalahnya, bila isi kritik itu asal beda (waton suloyo, Jawa), maka popularitas yang dialaminya justru kontraproduktif, karena biasanya berupa popularitas negatif, yang sekaligus akan merugikan institusinya.
Karakter
Kita lalu ingat apa yang dikatakan Yale, bahwa kredibilitas seseorang itu akan ditentukan oleh "expertness and character". Terkait "expertness", saat ini tidak ada masalah karena para elite banyak yang bergelar sarjana, pascasarjana, bahkan doktor. Namun, terkait karakter, maka yang bisa menjaga adalah elite yang bersangkutan.
Terkait dengan hal tersebut Towne dan Alder mengatakan bahwa, komunikasi itu tidak bisa diperbaiki serta diulang (communication is irreversible and unrepeatable). Para sesepuh kita juga pernah menyampaikan bahwa "ajining diri jalaran soko lati". Dalam era kemajuan teknologi informasi saat ini lambe atau mulut itu dikaitkan dengan berbagai pernyataan yang dilontarkan melalui berbagai media.
Terlebih, sebagai elit seharusnya mereka faham tentang kekuatan media, di mana mereka menyampaikan berbagai pernyataan.
Pilihannya tinggal apakah mereka akan acuh dan tetap melakukan gaya komunikasi politik asal sruduk secara terus-menerus, dengan harapan akan banyak masyarakat yang tersesat mengikutinya, atau sebaliknya mengubah gaya komunikasi politiknya, melalui komunikasi politik yang santun dan bersahaja, sehingga masyarakat akan simpati kepadanya.
Masyarakat yang makin cerdas pun sebenarnya banyak diuntungkan oleh banyaknya berbagai pernyataan yang tidak jarang saling bertentangan.
Namun, dibantu oleh media serta kaum cerdik cendekiawan, mereka diharapkan akan mampu memilih dan akhirnya memilah, mana informasi yang bisa dipercaya, serta mana yang harus mereka abaikan atau mereka buang.
*) Penulis adalah dosen dan Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Semarang
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2018