Jakarta, (Antaranews Gorontalo) - Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), independen adalah kata sifat yang berarti berdiri sendiri, berjiwa bebas, tidak terikat, dan merdeka.
Hal ini menunjukkan bahwa independensi peradilan berarti adalah suatu keadaan di mana aparatnya tidak boleh dikontrol atau dipengaruhi oleh pihak mana pun. Pengaruh dalam hal ini bisa saja campur tangan atau intervensi dari penguasa, intervensi politik, maupun intervensi ekonomi.
Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga dan Layanan Informasi Komisi Yudisial (KY) Farid Wajdi dalam satu kesempatan mengatakan bahwa prinsip utama independensi adalah kepercayaan.
Dalam negara demokrasi, independensi peradilan adalah hal yang mutlak di dalam kekuasaan kehakiman, karena hakim harus terbebas dari segala pengaruh atau kontrol atas perkara yang dia tangani dan diputusnya.
Namun independensi tanpa batasan dikatakan Farid berpotensi menimbulkan kekuasaan yang sewenang-wenang, yang pada akhirnya terperosok kembali kepada suasana yang menyebabkan lahirnya prinsip kebebasan kekuasaan kehakiman.
Kendati demikian Farid menilai Indonesia sebagai negara demokrasi yang berkembang seharusnya sudah menyelesaikan isu independensi peradilan.
"Sepatutnya Indonesia sudah menyelesaikan isu ini, karena kalau kita masih bicara independensi peradilan berarti negara ini masih tergolong negara demokrasi baru," kata Farid.
Farid berpendapat bahwa Indonesia sesungguhnya termasuk dalam negara demokrasi berkembang, sehingga arah lembaga peradilannya sudah harus memasuki akuntabilitas peradilan.
Kembali mengutip KBBI, akuntabilitas berarti satu perihal bertanggung jawab atau keadaan yang dapat dimintai pertanggungjawaban.
Akuntabilitas tidak hanya terkait dengan masalah tanggung jawab individual, tetapi juga tanggung jawab institusional sebagaimana dijelaskan Farid.
Dalam dunia peradilan, akuntabilitas peradilan menjadi hal yang sangat penting, di mana tanggung jawab individual menuntut adanya kematangan integritas moral dan hati nurani para pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan proses peradilan.
Sementara tanggung jawab institusi menuntut adanya manajemen atau administrasi peradilan yang baik untuk menunjang pembangunan yang berkelanjutan.
Mengutip sebuah buku, Farid mengatakan bahwa fungsi akuntabilitas peradilan mengacu pada kemampuan aparat pengadilan dalam mencegah munculnya kekuasaan politik yang tidak sah, atau bahkan penyalahgunaan wewenang.
Di dalam dunia pengadilan, hakim adalah sosok yang menjadi pusat dalam menegakkan keadilan dan kewenangannya dilindungi oleh konstitusi.
Oleh sebab itu akuntabilitas peradilan dikatakan Farid bergantung pada kemampuan seorang hakim untuk memegang teguh independensi namun bertanggung jawab dengan perkara yang dia tangani dan diputusnya.
Selain independensi peradilan, akuntabilitas juga sangat diperlukan untuk menjaga tegaknya keadilan, kepastian hukum, dan ketertiban hukum sebagai tujuan utama.
Dalam negara demokrasi berkembang sistem peradilan dikatakan Farid sudah harus lebih terfokus pada akuntabilitas peradilan, yang akan terlihat dalam proses rekrutmen, rotasi mutasi, serta pengawasan hakim.
Farid kemudian memberikan contoh berkaitan dengan promosi dan mutasi hakim. Menurutnya dalam konteks faktual proses mutasi dan rotasi hakim memang menjadi kewenangan Mahkamah Agung (MA).
Dalam teorinya, kewenangan ini dapat dibantu oleh lembaga lain yang ditunjuk oleh Undang-Undang, sehingga sistem peradilan tidak lagi menjadi satu atap atau terfokus pada satu lembaga, namun ada pembagian tanggung jawab dengan lembaga lain yang ditunjuk oleh Undang-Undang itu.
Perlu Dibenahi
Direktur Pusat Studi dan Kajian Konstitusi (Pusako) Feri Amsari mengutip pasal 24 ayat 1 UUD 1945, bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Menurut Feri, ada tiga syarat kekuasaan kehakiman yang merdeka, di antaranya merdeka dari kepentingan cabang kekuasaan lain baik di pemerintahan atau pun para politisi, merdeka dari ideologi politik apapun atau tekanan publik, dan merdeka dari kekuasaan lembaga kehakiman yang lebih tinggi.
"Hakim Pengadilan Negeri tidak boleh di intervensi oleh hakim Pengadilan Tinggi, hakim Pengadilan Tinggi tidak boleh diintervensi oleh hakim agung, ini adalah salah satu bentuk independensi peradilan," ujar Feri.
Sependapat dengan Farid, Feri menyebutkan bahwa arah lembaga peradilan Indonesia sudah harus memasuki akuntabilitas peradilan. Namun menurutnya tata kelola peradilan di Indonesia pada saat ini masih perlu diluruskan dengan membenahi kekuasaan kehakiman itu sendiri.
Salah satu cara untuk membenahi kekuasaan kehakiman dikatakan Feri adalah dengan adanya pembagian tanggung jawab dalam manajemen hakim.
Konsep satu atap yang saat ini ditangani oleh Mahkamah Agung lebih cocok untuk manajemen perkara namun bukan manajemen hakim sehingga hakim tidak boleh berada di bawah kendali satu atap bersama dengan manajemen perkara.
Feri menjelaskan bahwa untuk mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka ada tiga syarat yaitu; sistem pemilihan dan pengangkatan hakim yang independen, lama masa jabatan yang menjamin kemerdekaanya itu, dan yang ketiga adalah mekanisme pemberhentian hakim.
Pihak yang menangani proses rekrutmen, rotasi mutasi, serta pengawasan hakim dikatakan Feri harus berbeda dengan yang menangani manajemen perkara. Bila manajemen perkara dijadikan satu dengan manajemen hakim, Feri mengkhawatirkan independensi dalam kekuasaan kehakiman akan menjadi sulit dilaksanakan.
Adanya potensi atau ketakutan hakim atas pengaruh perkara yang ditanganinya dengan rotasi, mutasi, dan promosi, bisa saja terjadi bila kedua proses ini dilaksanakan dalam satu atap.
"Kalau hakim dipilih untuk menghasilkan kekuasaan kehakiman yang merdeka, mestinya prosesnya juga merdeka dari berbagai aspek," jelas Feri.
Feri menekankan, hakim harus dijamin kemerdekaanya dari awal hingga selesai hidupnya.
Hakim adalah perpanjangan tangan Tuhan di dunia ini, karena apa yang menjadi putusannya tidak hanya mempengaruhi keberlangsungan hidup seseorang saja, namun tidak menutup kemungkinan putusannya dapat mempengaruhi keberlangsungan hidup dari sebuah bangsa.
Maka tidaklah berlebihan bila hakim memiliki independensi dalam menangani dan memutus perkara namun tidak boleh mengesampingkan akuntabilitas sebagai bentuk pertanggung jawaban atas apa yang telah diputusnya, karena hidup banyak pihak bergantung pada apa yang diputus oleh hakim, sang wakil Tuhan di dunia.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2018
Hal ini menunjukkan bahwa independensi peradilan berarti adalah suatu keadaan di mana aparatnya tidak boleh dikontrol atau dipengaruhi oleh pihak mana pun. Pengaruh dalam hal ini bisa saja campur tangan atau intervensi dari penguasa, intervensi politik, maupun intervensi ekonomi.
Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga dan Layanan Informasi Komisi Yudisial (KY) Farid Wajdi dalam satu kesempatan mengatakan bahwa prinsip utama independensi adalah kepercayaan.
Dalam negara demokrasi, independensi peradilan adalah hal yang mutlak di dalam kekuasaan kehakiman, karena hakim harus terbebas dari segala pengaruh atau kontrol atas perkara yang dia tangani dan diputusnya.
Namun independensi tanpa batasan dikatakan Farid berpotensi menimbulkan kekuasaan yang sewenang-wenang, yang pada akhirnya terperosok kembali kepada suasana yang menyebabkan lahirnya prinsip kebebasan kekuasaan kehakiman.
Kendati demikian Farid menilai Indonesia sebagai negara demokrasi yang berkembang seharusnya sudah menyelesaikan isu independensi peradilan.
"Sepatutnya Indonesia sudah menyelesaikan isu ini, karena kalau kita masih bicara independensi peradilan berarti negara ini masih tergolong negara demokrasi baru," kata Farid.
Farid berpendapat bahwa Indonesia sesungguhnya termasuk dalam negara demokrasi berkembang, sehingga arah lembaga peradilannya sudah harus memasuki akuntabilitas peradilan.
Kembali mengutip KBBI, akuntabilitas berarti satu perihal bertanggung jawab atau keadaan yang dapat dimintai pertanggungjawaban.
Akuntabilitas tidak hanya terkait dengan masalah tanggung jawab individual, tetapi juga tanggung jawab institusional sebagaimana dijelaskan Farid.
Dalam dunia peradilan, akuntabilitas peradilan menjadi hal yang sangat penting, di mana tanggung jawab individual menuntut adanya kematangan integritas moral dan hati nurani para pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan proses peradilan.
Sementara tanggung jawab institusi menuntut adanya manajemen atau administrasi peradilan yang baik untuk menunjang pembangunan yang berkelanjutan.
Mengutip sebuah buku, Farid mengatakan bahwa fungsi akuntabilitas peradilan mengacu pada kemampuan aparat pengadilan dalam mencegah munculnya kekuasaan politik yang tidak sah, atau bahkan penyalahgunaan wewenang.
Di dalam dunia pengadilan, hakim adalah sosok yang menjadi pusat dalam menegakkan keadilan dan kewenangannya dilindungi oleh konstitusi.
Oleh sebab itu akuntabilitas peradilan dikatakan Farid bergantung pada kemampuan seorang hakim untuk memegang teguh independensi namun bertanggung jawab dengan perkara yang dia tangani dan diputusnya.
Selain independensi peradilan, akuntabilitas juga sangat diperlukan untuk menjaga tegaknya keadilan, kepastian hukum, dan ketertiban hukum sebagai tujuan utama.
Dalam negara demokrasi berkembang sistem peradilan dikatakan Farid sudah harus lebih terfokus pada akuntabilitas peradilan, yang akan terlihat dalam proses rekrutmen, rotasi mutasi, serta pengawasan hakim.
Farid kemudian memberikan contoh berkaitan dengan promosi dan mutasi hakim. Menurutnya dalam konteks faktual proses mutasi dan rotasi hakim memang menjadi kewenangan Mahkamah Agung (MA).
Dalam teorinya, kewenangan ini dapat dibantu oleh lembaga lain yang ditunjuk oleh Undang-Undang, sehingga sistem peradilan tidak lagi menjadi satu atap atau terfokus pada satu lembaga, namun ada pembagian tanggung jawab dengan lembaga lain yang ditunjuk oleh Undang-Undang itu.
Perlu Dibenahi
Direktur Pusat Studi dan Kajian Konstitusi (Pusako) Feri Amsari mengutip pasal 24 ayat 1 UUD 1945, bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Menurut Feri, ada tiga syarat kekuasaan kehakiman yang merdeka, di antaranya merdeka dari kepentingan cabang kekuasaan lain baik di pemerintahan atau pun para politisi, merdeka dari ideologi politik apapun atau tekanan publik, dan merdeka dari kekuasaan lembaga kehakiman yang lebih tinggi.
"Hakim Pengadilan Negeri tidak boleh di intervensi oleh hakim Pengadilan Tinggi, hakim Pengadilan Tinggi tidak boleh diintervensi oleh hakim agung, ini adalah salah satu bentuk independensi peradilan," ujar Feri.
Sependapat dengan Farid, Feri menyebutkan bahwa arah lembaga peradilan Indonesia sudah harus memasuki akuntabilitas peradilan. Namun menurutnya tata kelola peradilan di Indonesia pada saat ini masih perlu diluruskan dengan membenahi kekuasaan kehakiman itu sendiri.
Salah satu cara untuk membenahi kekuasaan kehakiman dikatakan Feri adalah dengan adanya pembagian tanggung jawab dalam manajemen hakim.
Konsep satu atap yang saat ini ditangani oleh Mahkamah Agung lebih cocok untuk manajemen perkara namun bukan manajemen hakim sehingga hakim tidak boleh berada di bawah kendali satu atap bersama dengan manajemen perkara.
Feri menjelaskan bahwa untuk mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka ada tiga syarat yaitu; sistem pemilihan dan pengangkatan hakim yang independen, lama masa jabatan yang menjamin kemerdekaanya itu, dan yang ketiga adalah mekanisme pemberhentian hakim.
Pihak yang menangani proses rekrutmen, rotasi mutasi, serta pengawasan hakim dikatakan Feri harus berbeda dengan yang menangani manajemen perkara. Bila manajemen perkara dijadikan satu dengan manajemen hakim, Feri mengkhawatirkan independensi dalam kekuasaan kehakiman akan menjadi sulit dilaksanakan.
Adanya potensi atau ketakutan hakim atas pengaruh perkara yang ditanganinya dengan rotasi, mutasi, dan promosi, bisa saja terjadi bila kedua proses ini dilaksanakan dalam satu atap.
"Kalau hakim dipilih untuk menghasilkan kekuasaan kehakiman yang merdeka, mestinya prosesnya juga merdeka dari berbagai aspek," jelas Feri.
Feri menekankan, hakim harus dijamin kemerdekaanya dari awal hingga selesai hidupnya.
Hakim adalah perpanjangan tangan Tuhan di dunia ini, karena apa yang menjadi putusannya tidak hanya mempengaruhi keberlangsungan hidup seseorang saja, namun tidak menutup kemungkinan putusannya dapat mempengaruhi keberlangsungan hidup dari sebuah bangsa.
Maka tidaklah berlebihan bila hakim memiliki independensi dalam menangani dan memutus perkara namun tidak boleh mengesampingkan akuntabilitas sebagai bentuk pertanggung jawaban atas apa yang telah diputusnya, karena hidup banyak pihak bergantung pada apa yang diputus oleh hakim, sang wakil Tuhan di dunia.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2018