Balai Arkeologi (Balar) Sulawesi Utara melakukan pencarian tiga bastion Benteng Maas, benteng pertahanan peninggalan masa kolonial yang ada di Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo.
"Tiga dari empat bastion Benteng Maas ini, secara fisik sudah tidak ada, namun menarik bagi kami untuk mencari struktur fondasi yang masih bisa dilacak sehingga dapat diketahui posisinya," ujar Irna Saptaningrum, arkeolog dari Balar Sulawesi Utara, di Gorontalo, Jumat.
Para peneliti kata dia, melakukan ekskavasi awal di sisi barat daya benteng yang diperkirakan tempat salah satu bastion yang hilang.
"Satu bastion masih tersisa meskipun kondisinya sudah rusak. Bastion ini berada di sisi timur laut," kata dia.
Dalam penelitan itu, para arkeolog menemukan fondasi, pecahan keramik dan stoneware saat menggali reruntuhan Benteng Maas.
Temuan fragmen keramik ini berada di kedalaman 52 senti meter, dari permukaan tanah pada awal penggalian di sisi barat daya yang kondisi tanahnya ditutupi semak dan dijadikan kebun oleh warga.
"Stoneware dan keramik terkait aktivitas kehidupan di dalam Benteng Maas karena berasal dari lapisan budaya yang sama," kata Irna.
Dalam pekan ini, Balar Sulawesi Utara yang memiliki wilayah kerja di tiga provinsi, yaitu Sulawesi Utara, Gorontalo dan Sulawesi Tengah, sedang melakukan riset untuk mencari bentuk arsitektur Benteng Maas.
Lokasi benteng ini berada di pesisir utara Gorontalo menghadap Laut Sulawesi yang berada di pinggir pantai tidak jauh dari sungai.
Belum diketahui pasti siapa yang membangun benteng ini.
Namun menurut Irna, merujuk pada catatan lama pada masa pemerintahan Raja Biya yang memerintah Kerajaan Limutu, pernah memindahkan ibu kota kerajaan dari Limutu (Limboto) ke Uanengo, nama lama kota Kwandang saat ini.
"Raja Biya membangun dua benteng. Apakah keduanya kemudian dikuasai oleh Spanyol, VOC atau lainnya, ini perlu penelitian lebih lanjut," ucapnya.
Sisa reruntuhan Benteng Maas yang masih bisa disaksikan saat ini adalah bagian bastion di timur laut dan bagian pintu gerbang di sisi barat.
"Penyusun struktur bastion adalah batu karang, andesit, tuva, breksi, granodiorit dan juga campuran antara terumbu karang yang dihaluskan dan pasir halus," kata Agus Trihascaryo, pakar geo-arkeologi yang menjadi anggota tim ekskavasi ini.
Dalam catatan lama disebutkan pada masanya, Benteng Maas memiliki empat bastion, yang tersisa saat ini hanya satu bastion.
Sisa bastion inilah yang saat ini sedang dicari para arkeolog dari Balar.
"Uniknya, bastion yang tersisa berbentuk segi delapan (Oktagon)," kata Muhammad Chawari, peneliti dari Balar Yogyakarta yang juga tergabung dalam tim peneliti.
Sementara itu, menurut Wuri Handoko, Kepala Balar Sulawesi Utara, ekskavasi Benteng Maas merupakan penelitian tinggalan arkeologi masa kolonial.
Riset ini dapat dimaknai sebagai bagian dari sebuah pengalaman bersama dalam menghadapi pengaruh dan kekuatan asing.
"Perjalanan panjang kolonialisasi ini pula yang telah melahirkan bentuk keindonesiaan negara ini," kata Wuri Handoko.
Pemaknaan lain dari riset ini adalah mengungkap nilai-nilai positif yang telah ada sejak masa kolonial, seperti multikultur dan heterogenitas kota yang mulai terbentuk sejak masa kolonial.*
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2019
"Tiga dari empat bastion Benteng Maas ini, secara fisik sudah tidak ada, namun menarik bagi kami untuk mencari struktur fondasi yang masih bisa dilacak sehingga dapat diketahui posisinya," ujar Irna Saptaningrum, arkeolog dari Balar Sulawesi Utara, di Gorontalo, Jumat.
Para peneliti kata dia, melakukan ekskavasi awal di sisi barat daya benteng yang diperkirakan tempat salah satu bastion yang hilang.
"Satu bastion masih tersisa meskipun kondisinya sudah rusak. Bastion ini berada di sisi timur laut," kata dia.
Dalam penelitan itu, para arkeolog menemukan fondasi, pecahan keramik dan stoneware saat menggali reruntuhan Benteng Maas.
Temuan fragmen keramik ini berada di kedalaman 52 senti meter, dari permukaan tanah pada awal penggalian di sisi barat daya yang kondisi tanahnya ditutupi semak dan dijadikan kebun oleh warga.
"Stoneware dan keramik terkait aktivitas kehidupan di dalam Benteng Maas karena berasal dari lapisan budaya yang sama," kata Irna.
Dalam pekan ini, Balar Sulawesi Utara yang memiliki wilayah kerja di tiga provinsi, yaitu Sulawesi Utara, Gorontalo dan Sulawesi Tengah, sedang melakukan riset untuk mencari bentuk arsitektur Benteng Maas.
Lokasi benteng ini berada di pesisir utara Gorontalo menghadap Laut Sulawesi yang berada di pinggir pantai tidak jauh dari sungai.
Belum diketahui pasti siapa yang membangun benteng ini.
Namun menurut Irna, merujuk pada catatan lama pada masa pemerintahan Raja Biya yang memerintah Kerajaan Limutu, pernah memindahkan ibu kota kerajaan dari Limutu (Limboto) ke Uanengo, nama lama kota Kwandang saat ini.
"Raja Biya membangun dua benteng. Apakah keduanya kemudian dikuasai oleh Spanyol, VOC atau lainnya, ini perlu penelitian lebih lanjut," ucapnya.
Sisa reruntuhan Benteng Maas yang masih bisa disaksikan saat ini adalah bagian bastion di timur laut dan bagian pintu gerbang di sisi barat.
"Penyusun struktur bastion adalah batu karang, andesit, tuva, breksi, granodiorit dan juga campuran antara terumbu karang yang dihaluskan dan pasir halus," kata Agus Trihascaryo, pakar geo-arkeologi yang menjadi anggota tim ekskavasi ini.
Dalam catatan lama disebutkan pada masanya, Benteng Maas memiliki empat bastion, yang tersisa saat ini hanya satu bastion.
Sisa bastion inilah yang saat ini sedang dicari para arkeolog dari Balar.
"Uniknya, bastion yang tersisa berbentuk segi delapan (Oktagon)," kata Muhammad Chawari, peneliti dari Balar Yogyakarta yang juga tergabung dalam tim peneliti.
Sementara itu, menurut Wuri Handoko, Kepala Balar Sulawesi Utara, ekskavasi Benteng Maas merupakan penelitian tinggalan arkeologi masa kolonial.
Riset ini dapat dimaknai sebagai bagian dari sebuah pengalaman bersama dalam menghadapi pengaruh dan kekuatan asing.
"Perjalanan panjang kolonialisasi ini pula yang telah melahirkan bentuk keindonesiaan negara ini," kata Wuri Handoko.
Pemaknaan lain dari riset ini adalah mengungkap nilai-nilai positif yang telah ada sejak masa kolonial, seperti multikultur dan heterogenitas kota yang mulai terbentuk sejak masa kolonial.*
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2019