Direktur Keuangan dan Strategi Bank Mandiri Panji Irawan menyebutkan bahwa stabilitas ekonomi Indonesia masih terjaga di tengah adanya berbagai tantangan ekonomi global yang semakin besar dan penuh ketidakpastian.
“Kami masih optimis stabilitas ekonomi internal dan eksternal ke depan masih akan terjaga,” katanya saat ditemui di Jakarta, Senin.
Panji mengatakan sebenarnya perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China telah berdampak negatif terhadap penurunan kinerja ekspor melalui penurunan harga-harga komoditas seperti harga minyak Kelapa sawit (CPO) yang terus tertekan ke tingkat sekitar 500 dolar AS per ton.
“Padahal harga rata-rata 2017 itu 648 dolar AS per ton dan 2018 turun lagi jadi 556 dolar AS per ton,” ujarnya.
Hal sama juga terjadi pada harga batu bara yang terus menurun hingga 65 dolar AS per ton, sedangkan harga rata-rata pada 2017 di atas 100 dolar AS per ton, dan 2018 sebesar 88,3 dolar AS per ton.
Menurutnya, meskipun perkembangan ekonomi dunia kurang mendukung terhadap nasional, namun pertumbuhan yang terjadi di Indonesia seperti pada kuartal I tahun 2019 sebesar 5,07 persen dan kuartal II 5,05 persen masih relatif lebih baik dibandingkan dengan beberapa negara emerging markets lainnya.
Ia mencontohkan Turki pada kuartal I terkontraksi sebesar 2,4 persen dan kuartal II kembali mengalami hasil negatif yaitu 1,5 persen (YoY). Selain itu, beberapa negara berkembang lain juga mencatatkan pertumbuhan yang lebih rendah daripada Indonesia seperti Malaysia 4,9 persen, Thailand 3,7 persen, Brazil 1,01 persen, dan Rusia 0,9 persen.
Ia menuturkan ekonomi Indonesia lebih kuat karena terbukti dengan adanya keseimbangan ekonomi internal yaitu inflasi yang masih terjaga dengan laju bulanan pada Agustus tercatat sebesar 3,49 persen, serta ekonomi eksternal yaitu kurs Rupiah pada kuartal I dan II untuk 2019 juga masih terkendali dengan nilai tukar sekitar Rp14.200 per dolar AS.
“Kami memperkirakan inflasi tahun 2019 sebesar 3,41 persen dan kurs rupiah akan berada pada rentang Rp14.200 sampai Rp14.300 per dolar,” ujarnya.
Ia melanjutkan neraca perdagangan juga mulai menunjukkan perbaikan karena angka defisit pada periode Januari-Juli 2019 berhasil diturunkan menjadi 1,9 miliar dolar AS. Hal tersebut menurun dibandingkan pada periode yang sama tahun 2018 sebesar 3,2 miliar dolar AS.
Rasio kecukupan modal atau Capital Adequacy Ratio (CAR) perbankan nasional tercatat masih cukup tinggi yaitu sebesar 22,6 persen pada Juni 2019 dan kualitas asset perbankan nasional juga terus membaik dengan rasio Non Performing Loan (NPL) sebesar 2,5 persen yang menurun dibandingkan Juni 2018 yaitu 2,67 persen.
Menurut Panji, tantangan perbankan nasional akan terus meningkat sehingga permintaan kredit berpeluang tertekan sehingga berbagai bank nasional akan lebih selektif dalam penyaluran kredit dengan mempertimbangkan prospek bisnis yang semakin ketat.
“Kami melihat masih cukup banyak peluang-peluang bisnis bagi perbankan nasional baik peluang bisnis kredit dan bisnis transaksi,” ujarnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2019
“Kami masih optimis stabilitas ekonomi internal dan eksternal ke depan masih akan terjaga,” katanya saat ditemui di Jakarta, Senin.
Panji mengatakan sebenarnya perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China telah berdampak negatif terhadap penurunan kinerja ekspor melalui penurunan harga-harga komoditas seperti harga minyak Kelapa sawit (CPO) yang terus tertekan ke tingkat sekitar 500 dolar AS per ton.
“Padahal harga rata-rata 2017 itu 648 dolar AS per ton dan 2018 turun lagi jadi 556 dolar AS per ton,” ujarnya.
Hal sama juga terjadi pada harga batu bara yang terus menurun hingga 65 dolar AS per ton, sedangkan harga rata-rata pada 2017 di atas 100 dolar AS per ton, dan 2018 sebesar 88,3 dolar AS per ton.
Menurutnya, meskipun perkembangan ekonomi dunia kurang mendukung terhadap nasional, namun pertumbuhan yang terjadi di Indonesia seperti pada kuartal I tahun 2019 sebesar 5,07 persen dan kuartal II 5,05 persen masih relatif lebih baik dibandingkan dengan beberapa negara emerging markets lainnya.
Ia mencontohkan Turki pada kuartal I terkontraksi sebesar 2,4 persen dan kuartal II kembali mengalami hasil negatif yaitu 1,5 persen (YoY). Selain itu, beberapa negara berkembang lain juga mencatatkan pertumbuhan yang lebih rendah daripada Indonesia seperti Malaysia 4,9 persen, Thailand 3,7 persen, Brazil 1,01 persen, dan Rusia 0,9 persen.
Ia menuturkan ekonomi Indonesia lebih kuat karena terbukti dengan adanya keseimbangan ekonomi internal yaitu inflasi yang masih terjaga dengan laju bulanan pada Agustus tercatat sebesar 3,49 persen, serta ekonomi eksternal yaitu kurs Rupiah pada kuartal I dan II untuk 2019 juga masih terkendali dengan nilai tukar sekitar Rp14.200 per dolar AS.
“Kami memperkirakan inflasi tahun 2019 sebesar 3,41 persen dan kurs rupiah akan berada pada rentang Rp14.200 sampai Rp14.300 per dolar,” ujarnya.
Ia melanjutkan neraca perdagangan juga mulai menunjukkan perbaikan karena angka defisit pada periode Januari-Juli 2019 berhasil diturunkan menjadi 1,9 miliar dolar AS. Hal tersebut menurun dibandingkan pada periode yang sama tahun 2018 sebesar 3,2 miliar dolar AS.
Rasio kecukupan modal atau Capital Adequacy Ratio (CAR) perbankan nasional tercatat masih cukup tinggi yaitu sebesar 22,6 persen pada Juni 2019 dan kualitas asset perbankan nasional juga terus membaik dengan rasio Non Performing Loan (NPL) sebesar 2,5 persen yang menurun dibandingkan Juni 2018 yaitu 2,67 persen.
Menurut Panji, tantangan perbankan nasional akan terus meningkat sehingga permintaan kredit berpeluang tertekan sehingga berbagai bank nasional akan lebih selektif dalam penyaluran kredit dengan mempertimbangkan prospek bisnis yang semakin ketat.
“Kami melihat masih cukup banyak peluang-peluang bisnis bagi perbankan nasional baik peluang bisnis kredit dan bisnis transaksi,” ujarnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2019