Pagi cukup cerah hari itu, Jumat 8 November 2019. Seorang laki-laki, namanya Ling Ling, berkaus putih, berambut lurus panjang, memetik senar-senarnya dengan apik di bawah pohon. 

Alunan gambus membuat laki-laki lainnya, Baim Alpino, mulai melontarkan bait pertama puisi karya W.S Rendra, Sajak Orang Kepanasan.

Karena kami makan akar
dan terigu menumpuk di gudangmu
Karena kami hidup berhimpitan
dan ruangmu berlebihan
maka kami bukan sekutu


Demikian sajak-sajak dibacakan, sebagai pesan bagi siapa saja yang merasa.

Aksi yang dilakukan Ling Ling dan Baim tepat pada Hari Tata Ruang itu, bukanlah aksi biasa.

Bersama sejumlah kawannya, sebuah kegiatan diberi judul "Festival (agak) Hijau" digelar dengan sederhana. Tanpa pura-pura, tanpa dana APBD, tanpa sampah plastik.

Aksi itu adalah kolaborasi Forum Komunitas Hijau (FKH) Kota Gorontalo, Huntu Art Distrik (Hartdisk), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Gorontalo, Biodiversitas Gorontalo (Biota), Salam Puan, WIRE-G, dan Kelompok Studi Lingkungan Mahasiswa Arsitektur UNG.

Orang-orang ini berkumpul dan berkesenian, demi menyampaikan pesannya di bawah sebuah pohon mangga.

Pohon yang belakangan menjadi perbincangan, karena berencana ditebang demi pelebaran jalan.

Pohon mangga itu memiliki tinggi sekitar 25 meter, diamater 60 sentimeter, berdaun dan berbuah lebat.

Pohon itu diprediksi sudah ada sejak 40 tahun yang lalu di simpang tiga Jalan Madura Kelurahan Liluwo Kecamatan Kota Tengah, Kota Gorontalo.

Di bawah kanopi pohon itu, berderet bangku-bangku dan meja milik para pedagang.  

Ada yang menjual makanan ringan, bensin eceran, nasi bungkus, kue, bubur, hingga es kelapa muda.

Pengunjung tak pernah sepi mulai dari waktu sarapan hingga makan malam.

"Saya sebenarnya tidak ingin jika pohon ini ditebang. Pohon ini punya nyawa. Tapi katanya kalau tidak ditebang bisa bikin pengendara celaka, ya sudah kami persilahkan saja ditebang," ungkap Rahima A. Lilawa (64).

Rahima berdagang bensin eceran di bawah pohon itu sudah 15 tahun. Ia tinggal tak jauh dari pohon sengketa itu.

Meski kini usaha itu diteruskan oleh anaknya, namun setiap hari ia tetap datang ke tempat itu untuk membantu berjualan atau sekadar bermain-main dengan cucunya.

"Ada pohon ini suasana jadi sejuk. Kami betah karena siang pun tidak terasa panas. Kalau sedang berbuah, banyak yang singgah ke sini minta buahnya. Silahkan saja dipanjat, karena ini milik bersama," tambahnya.

Ia kemudian mengungkapkan, sekitar dua minggu lalu didatangi oleh aparat kelurahan, kecamatan, serta seorang anggota DPRD Kota Gorontalo untuk dimintai tanda tangan.

Tanda tangan itu adalah bukti persetujuannya bersama enam pedagang lain di tempat itu, agar pemerintah dapat melakukan penebangan pohon mangga secepatnya.

Pekerjaan pelebaran jalan itu kini sudah sampai pada tahap pengaspalan awal, yang jalurnya berakhir sekitar setengah meter dari pohon mangga.

FKH telah berulang kali menyatakan penolakannya atas penebangan, bahkan telah dua kali mengikuti rapat bersama dinas terkait tepat di bawah pohon tersebut.

"Sepertinya pohon ini akan tetap ditebang, karena itu saya sudah minta maaf kepada pohon ini tidak bisa menjaganya," pasrah Rahima.

Sikap Pemkot Gorontalo

Festival (agak) hijau nampaknya memang untuk menyindir keadaan Kota Gorontalo, yang tidak benar-benar hijau seperti cita-cita pemerintah setempat.

Pohon mangga itu hanya satu dari sekian pohon yang telah hilang di tangan para penebang, dalam empat tahun terakhir.

Yang menebang berasal dari warga, PLN atau bahkan pemerintah kota sendiri.

Pada 27 September 2019, Dinas PU  telah menyatakan sepakat dengan FKH tidak akan menebang pohon itu.

Alasannya, pihak PU dan kontraktor bisa menyiasati pekerjaan pelebaran Jalan Madura.

Namun pada rapat tanggal 18 Oktober 2019, Pemkot menyodorkan kembali persoalan pohon tersebut kepada FKH.

Terlebih setelah mendapat protes dari anggota DPRD Kota Gorontalo yang juga warga setempat, Darmawan Duming.

"Dulu kami bilang bisa menyiasati pekerjaan itu karena belum masuk dalam pelaksanaan teknis. Tapi setelah masuk tahap pekerjaan, ternyata pohon ini masuk dalam badan jalan sekitar 30 sentimeter," kata Pelaksana Tugas Kepala Dinas PU Kota Gorontalo, Novi Silangen.

Ia juga mengakui salah satu kelemahan pemkot, adalah perencanaan yang matang dalam pekerjaan jalan.

"Setiap tahun masalah pohon ini selalu ada. Kalau ini adalah pohon terakhir yang ditebang, maka ke depannya kita akan bersepakat duduk bersama dalam setiap perencanaan pembangunan jalan," tambahnya.

Senada dengan PU, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Gorontalo Junaedi Kyai Demak juga menyerahkan keputusan penebangan pohon pada FKH dan dinas terkait.

"Kalau memang dianggap mengganggu keamanan lalu lintas, maka silahkan saja disepakati untuk ditebang. Tapi harus ada hitam di atas putih, jangan kami lagi yang dipersalahkan," katanya.

Darmawan Duming, anggota DPRD dari PDIP, juga bersikukuh pohon mangga harus disingkirkan dari tepi jalan itu.

Selain ancaman keselamatan pengendara, ia juga menilai pekerjaan jalan jadi terkatung-katung hanya karena satu pohon.

"Saya juga paham lingkungan, karena saya orang sanitasi. Jangan sampai pohon ini jadi angker karena akan banyak kecelakaan di sini, tukasnya.

Kota Hijau?

Pada tahun 2011, Kota Gorontalo telah menandatangani nota kesepahaman dengan pemerintah pusat untuk implementasi Kota Hijau.

Delapan tahun berlalu, namun niat Pemkot Gorontalo menjadi kota hijau belum diiringi keseriusan mewujudkannya.

Kisruh penebangan pohon sebenarnya mulai menguat sejak 2016.

Hal itu membuat Wali Kota Gorontalo Marten Taha menyatakan pihaknya tidak akan menebang pohon lagi, kecuali kondisinya sudah lapuk.

Pada tahun 2018 Kota Gorontalo gagal meraih Piala Adipura, karena kondisi kota dianggap belum cukup hijau dan pengelolaan sampah belum maksimal.

Koordinator FKH Rahman Dako mengungkapkan ratusan pohon "dihabisi" sejak tahun 2016, termasuk di Jalan Madura.

"Ini belum termasuk pohon yang sengaja dikuliti warga agar mati dengan sendirinya, juga yang dibabat PLN karena dianggap menggangu jaringan listrik," imbuhnya.

Menurutnya pemkot hanya berjanji untuk melakukan penanaman kembali, tapi hasilnya tidak maksimal.

"Buktinya yang ditebang di Jalan Rambutan sampai saat ini tidak diganti-ganti," tukasnya.

DLH mengklaim jumlah pohon pelindung di sepanjang ruas jalan Kota Gorontalo saat ini ada 13.305 pohon.

Jumlah tersebut belum termasuk pohon yang ada di Ruang Terbuka Hijau (RTH).

Namun, angka tersebut diragukan Sri Sutarni Arifin, anggota FKH lainnya.

"Kami pernah melakukan penelitian dan menghitung pohon di salah satu kawasan, jumlahnya kurang sekitar 40 pohon dari data DLH. Lagipula, apakah pohon yang sudah ditebang juga dihitung jumlahnya," lanjut Sri.

Ia menambahkan, masalah yang sama tidak akan muncul jika pemkot mengkaji dengan baik setiap rencana pekerjaan, serta mengganti setiap pohon yang ditebang.

Bahkan Sri mengungkapkan pekerjaan Jalan Madura tidak memiliki dokumen lingkungan, yang seharusnya ada dalam perencanaan.

Padahal, FKH selalu mendorong pemkot untuk menghijaukan kota melalui penambahan pohon baru dan berbagai kampanye lingkungan.

Untuk disebut sebagai Kota Hijau, Pemkot Gorontalo masih memiliki pekerjaan rumah yang berat.

Tak hanya itu, perjalanan para pahlawan penjaga pohon pun masih teramat panjang.**










 

Pewarta: Debby H. Mano

Editor : Hence Paat


COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2019