Indonesia memberikan hibah senilai Rp7,5 miliar untuk membantu proses repatriasi para pengungsi Rohingya dari Cox’s Bazar, Bangladesh ke Myanmar.
“Ini merupakan penegasan kembali komitmen Indonesia yang disampaikan Presiden Joko Widodo dalam Konferensi Tingkat Tinggi ke-35 ASEAN di Bangkok, November lalu, untuk terus mendukung Myanmar dalam penyelesaian isu Rakhine State,” kata Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dalam acara penandatanganan MoU penyerahan hibah dari Indonesia ke ASEAN Secretariat di Jakarta, Jumat.
Dana tersebut diserahkan Indonesia kepada ASEAN Secretariat, yang membantu mengoordinasi pemulangan para pengungsi Myanmar melalui implementasi rekomendasi preliminary need assessment (PNA) yang disusun oleh Pusat Koordinasi ASEAN untuk Bantuan Kemanusiaan (AHA Centre) bersama Tim Tanggap Darurat dan Penilaian ASEAN (ERAT).
Pada Maret 2019, tim dari ASEAN-ERAT dan AHA Centre telah mengunjungi Rakhine State untuk melakukan penilaian awal dan kesiapan Myanmar menangani kembalinya para pengungsi Rohingya.
Rekomendasi yang dihasilkan oleh tim itu mencakup tiga elemen utama, yaitu peningkatan kapasitas di pusat penerimaan dan titik transit pengungsi; penguatan diseminasi informasi; serta pemberian dukungan terhadap penyediaan layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan air bersih.
“Diseminasi informasi ini penting untuk membangun kepercayaan para pengungsi yang berada di Cox’s Bazar mengenai persiapan repatriasi yang tentunya harus dilakukan dengan sukarela, aman, dan bermartabat,” kata Menlu Retno.
Tim dari ASEAN Secretariat telah dua kali berkunjung ke Cox’s Bazar, yaitu pada 27-29 Juli 2019 kemudian pada 17-20 Desember 2019. Kunjungan kedua berfokus pada upaya diseminasi informasi untuk meningkatkan kepercayaan para pengungsi agar mau kembali ke Myanmar.
Menurut Wakil Tetap Myanmar untuk ASEAN U Min Lwin, hibah dari Indonesia merupakan kontribusi pertama yang diberikan oleh negara anggota ASEAN melalui ASEAN Secretariat.
Kontribusi tersebut diharapkan juga bisa memperkuat peran tim ad hoc yang dibentuk ASEAN Secretariat untuk memonitor implementasi rekomendasi PNA di lapangan.
“Saya berharap dengan hibah ini rekomendasi PNA bisa dilakukan dengan sangat baik dan tim ad hoc bisa segera dibentuk untuk membantu pemulangan yang bermartabat dan menyiapkan tempat mereka akan tinggal di Rakhine State,” ujar Lwin.
Dilaporkan Reuters, lebih dari 730.000 warga Rohingya melarikan diri dari Myanmar ke Bangladesh pada 2017 untuk menghindari tindakan keras yang dipimpin militer, dan oleh para penyelidik PBB disebut dilakukan dengan "niat genosidal", dan termasuk pembunuhan massal dan pemerkosaan.
Myanmar membantah kekejaman yang meluas, dan menyebutnya sebagai respons terhadap serangan oleh gerilyawan Rohingya.
Meskipun upaya repatriasi telah dua kali dicoba dilaksanakan, terakhir pada Agustus 2019, nyatanya belum ada pengungsi Rohingya yang kembali ke Rakhine dengan sukarela.
“Jadi tenggat waktu (pemulangan) itu belum tentu bisa benar-benar diimplementasikan, karena kan sifatnya sukarela. Para pengungsi itu harus benar-benar yakin apakah jika kembali kondisinya sudah aman dan fasilitas tersedia,” kata Direktur Jenderal Kerja Sama ASEAN Jose Tavares.
Saat ini, sekitar 600.000 warga Rohingya masih berada di Myanmar yang sebagian besar penduduknya beragama Buddha. Mereka terkurung di kamp-kamp dan desa-desa di negara bagian Rakhine barat di mana mereka tidak dapat melakukan perjalanan dengan bebas atau mengakses layanan kesehatan dan pendidikan.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2019