Jakarta (ANTARA GORONTALO) - Pengamat intelijen Marsda TNI (Purn) Prayitno
Ramelan memperkirakan potensi ancaman terorisme yang muncul tahun 2017
akan lebih besar dari tahun sebelumnya.
Hal itu, menurut dia,
dipicu oleh kebijakan kelompok ISIS yang memerintahkan anggotanya yang
berasal dari berbagai negara untuk kembali ke negara masing-masing
menyusul posisi ISIS yang terus tertekan, terutama di Mosul, Irak.
"Jadi,
para jihadis yang sekarang berada di Suriah dan Irak disuruh pulang dan
ISIS akan membagi-bagikan sumber daya dan dana kepada mereka untuk
membiaya operasi terorisme mereka," kata Prayitno dalam keterangan
tertulis di Jakarta, Senin.
Untuk itu, kata dia, Indonesia harus benar-benar mewaspadai kombatan
WNI yang "mudik" dari Suriah dan Irak. Saat ini masih ada 500 WNI di
Raqqa, Suriah.
"Ini harus diantisipasi dan jangan pernah memandang sebelah mata
keberadaan para kombatan tersebut. Mereka telah terlatih dan mendapat
latar motivasi, juga didoktrinasi dengan wawasan ideologis ISIS," kata
Pray, sapaan akrabnya.
Pray yakin terkait dengan aksi terorisme di Indonesia, ISIS
menyerahkan ke orang Indonesia sendiri seperti Bahrun Naim, Bahrumsyah,
dan Abu Jandal yang diyakininya masih hidup dan memimpin Khatibah
Nusantara.
Pada 2016, sel-sel terorisme di Indonesia masih banyak dan muncul di
bawah kendali Bahrun Naim dari Raqqa seperti bom Thamrin, aksi lone
wolf (pelaku tunggal) di Medan dan Tangerang, serta rencana teror bom di
Bintara, Bekasi.
Sejauh ini memang belum diketahui adanya dukungan dana besar lewat Bahrun Naim ke sel-selnya di Indonesia.
Ia juga mengingatkan agar media sosial diwaspadai karena kelompok
teroris mudah sekali menyusup di media sosial melalui pemberitaan,
gambar, dan video.
"Saya juga mengkhawatirkan Bahrun Naim ini mampu memotivasi sel-sel
tidur di sini untuk melakukan aksi teror lone wolf. Aksi teror ini
sangat sederhana. Mereka bisa beraksi tanpa bom atau senjata, cukup
dengan senjata tajam," kata Pray.
Selain itu, Pray juga menggarisbawahi peran media. Menurutnya, aksi
terorisme sangat mengharapkan diberitakan besar-besaran oleh media
massa.
"Aksi terorisme tidak ada artinya tanpa diberitakan media. Karena
itu, media harus menyadari dan tidak terlalu membesarkan aksi terorisme.
Intinya, media harus bijak dalam menyikapi aksi terorisme," kata dia.
Pengamat: potensi ancaman terorisme 2017 lebih besar
Senin, 9 Januari 2017 22:52 WIB