Jakarta (ANTARA GORONTALO) - Para antropolog yang tergabung dalam Gerakan
Antropolog untuk Indonesia yang Bhineka dan Inklusif (AUI) mengungkapkan
tiga faktor yang memicu intoleransi di bangsa Indonesia.
"Pada intinya yang kami sampaikan intoleransi yang berkembang saat
ini multidimensi. Banyak faktor yang menyebabkannya, tapi kami
menekankan ke Presiden untuk memberikan perhatian kepada tiga persoalan
utama," kata Yando Zakaria, antropolog dari AUI dalam konferensi pers
seusai menemui Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Kantor Presiden Jakarta,
Senin.
Ada 12 orang antropolog yang tergabung dalam AUI menemui Presiden
Jokowi pada hari Senin. Mereka menyampaikan petisi mengenai kondisi
bangsa Indonesia yang dinilai mengalami darurat Pancasila. Petisi itu
ditandatangani 300 orang pakar.
"Pertama adalah dunia pendidikan, karena persoalan-persoalan
intoleransi ini, berdasarkan pengamatan kami dimulai dari tingkat
pendidikan paling dasar di tingkat PAUD (pendidikan anak usia dini)
hingga perguruan tinggi. Kami minta Presiden agar pelaksanaan dunia
pendidikan ini jangan sampai menjadi arena untuk memperkuat sektarian,"
tambah Yando.
Faktor kedua adalah terjadinya ketidakadilan dalam ekonomi termasuk pembagian pemanfaatan sumber daya alam.
"Kedua, intoleransi berpangkal pada ketidakadilan pada ekonomi,
termasuk pembagian pemerataan sumber daya alam. Dalam konteks ini kami
menyambut baik program Presiden Jokowi yang memproklamirkan reformasi
agrarianya dengan distribusi 12,7 juta hektare (kepada rakyat), tapi
kami juga ingin memastikan bahwa niat baik itu jangan sampai menimbulkan
persoalan baru pada belakangan hari agar orang-orang yang menerima
distribusi tanah benar-benar orang yang marginal," ungkap Yendo.
Pada Desember 2016 lalu, Presiden Jokowi memulai program reformasi
agraria dengan rencana pembagian 12,7 juta hektare lahan akan dibagikan
ke rakyat untuk menjadi konsesi tanah adat dan konsesi koperasi.
Namunhingga saat ini baru 13 tanah ada yang dibagikan.
"Ketiga, akar intoleransi berpangkal pada proses hukum baik
penegakan hukum dan banyak peraturan perundangan kita yang masih belum
mengimplementasikan semangat keberagaman," ungkap Yando.
Salah satu contoh yang disebutkan Yando misalnya para pemeluk
kepercayaan di luar enam agama resmi yang diakui negara masih tidak
mendapatkan ases ke pelayanan publik seperti para pemeluk agama yang
diakui negara.
"Hari ini dari sisi kepercayaan banyak saudara-saudara kita di luar
enam agama resmi menjadi terdiskriminasi tidak dapat pelayanan publik,
tidak dapat melanjutkan sekolah akibat kebijakan kita terhadap persoalan
agama. Jadi ada persoalan hukum yang kami lihat perlu disempurnakan,"
jelas Yando.
(Baca juga: Polri ungkap tiga tantangan kasus intoleransi)
Selanjutnya ada juga peraturan hukum yang perlu ditinjau seperti UU Penistaan Agama.
Aturan yang biasa digunakan dalam kasus penistaan agama yaitu
Undang-undang No 1/PNPS/1965 tentang Penodaan Agama dan pasal 156a dalam
KUHP. Aturan terakhir dipakai untuk menjerat Gubernur DKI Jakarta
nonaktif Basuki Tjahaja Poernama dalam kasus penistaan agama.
"(Agar pemerintah) berpikir ulang (mengenai) UU Penistaan Agama, ini
bukan persoalan sederhana atau dari perspektif antropologi ini menjadi
sangat begitu relatif dan sangat berbahaya ketika itu dipolitisasi,"
tambah Yando.
Yando juga menegaskan petisi itu tidak mewakili kelompok politik tertentu.
"Kami menggunakan basis antropologi, jadi kami bebas tidak terkait dengan kekuatan politik tertentu," ungkap Yando.
Tiga faktor ini picu intoleransi di Indonesia
Senin, 16 Januari 2017 20:45 WIB